29 August 2009

Danny

Januari 2002. Di salah satu sudut Pakistan, prasangka melompat-lompat menembus sekat kemarahan dan ketakutan. Tepatnya di Karachi: ras dan kewarganegaraan bisa menjadi sumber kesialan, bukan peruntungan.

"Para teroris Islam militan boleh saja meledakkan bom di segala tempat di dunia, tapi jantung jaringannya ada di sini, di wilayah ini, dan bekerja di sini amatlah menakutkan," tulis Mariane Pearl dalam buku A Mighty Heart: The Inside Story of The Al-Qaeda Kidnapping Daniel Pearl.

Ini bukan surga bagi orang asing. Ini neraka stereotip yang muncul bak wabah penyakit menular di seluruh dunia, setelah George W. Bush mendeklarasikan perrang global melawan teror. Jika Anda orang Amerika berarti Anda musuh kami. Jika Anda wartawan Amerika, berarti Anda agen CIA. Dan jika Anda kebetulan Yahudi dari Amerika, dan juga seorang wartawan pula (kesialan apalagi yang lebih dari ini di Pakistan), maka Anda bukan saja CIA, tapi agen Mossad dan itu berarti tamat.

Daniel Pearl, kepala biro Asia Selatan koran The Wall Street Journal, memiliki kesialan itu: wartawan, Yahudi, Amerika. Dalam sebuah jebakan perjalanan dan janji wawancara dengan seorang tokoh Islam radikal, ia diculik, dijadikan sandera. Lalu mati dipancung.

Kerja jurnalisme boleh jadi adalah kerja yang sederhana: mencari berita, bertanya kepada orang-orang, dan menuliskannya dalam beberapa paragraf agar dibaca orang. Namun apa yang sederhana bukan berarti lantas mudah dipahami. Jurnalisme melanjutkan sebagian tugas zaman kenabian: menyampaikan apa yang benar, menyingkap apa yang sengaja ditutup-tutupi, dan yang terpenting, membuka kesempatan semua orang berdialog. Jika kemudian itu bukan lagi urusan seorang jurnalis, apa lagi yang tersisa dari urusan seorang jurnalis?

Namun, wasangka memang acap lebih kuat dibandingkan apapun. Stereotip tidak hanya eksklusif milik kelompok-kelompok yang disebut radikal, tapi juga menjadi milik mereka yang menyatakan diri beradab. Danny sempat marah, saat The Wall Street Journal tidak mau memuat tulisannya mengenai tesis Yahudi di balik peledakan World Trade Center tahun 2001. Sebuah tesis yang populer di kalangan umat Islam.

"Tulisan itu mungkin menghina pembaca Yahudi kami, mungkin aku hanya paranoid, atau terlibat dalam teori konspirasi Yahudiku sendiri," tulisnya dalam sebuah surat elektronik kepada seorang teman.

Ancaman stereotip dan kecurigaan yang tak berpangkal akan semakin tebal, saat dimunculkan dari dan oleh otoritas negara. Stereotip oleh negara tak jarang menempatkan korban sebagai bagian dari yang perlu diwaspadai. "Tiga ribu jurnalis datang saat perang di Afghanistan dan tak satu pun dari mereka yang mendapat masalah," kata Menteri Dalam Negeri Pakistan Moinuddin Haider dengan pandangan mencela kepada Mariane yang tengah berupaya mencari bantuan untuk Danny.

"Apa yang sedang dilakukan suamimu? Kenapa dia harus bertemu dengan orang-orang itu? Ini bukan urusan seorang jurnalis!"

Pernyataan Haider itu membuat derajat pemerintah Pakistan sama dengan kaum teroris yang hidup dalam imajinasi stereotip. Oleh karenanya, saya senang, Mariane dengan gagah berani menjawab Haider: "tergantung dari apa yang kau sebut sebagai jurnalis."

Hari ini, Saya membayangkan, para pengelola Arrahmah.com, sebuah situs berita dunia Islam, yang digerebek kepolisian Indonesia memiliki keberanian seperti Mariane. Logika tindakan polisi yang menggeledah dan menyita alat-alat kerja kantor media tersebut, dan sempat membuat media itu tak nongol di dunia maya, sama seperti logika Haider yang harus dipertanyakan ulang.

Tindakan polisi yang membuat Arrahmah terberangus, segaris dengan tindakan kelompok radikal yang membunuh dan menawan Danny Pearl: menghalangi ikhtiar pencarian kebenaran sebagai bagian dari jurnalisme.

Memberitakan satu dua berita yang cenderung berpihak pada kelompok Islam garis keras, tidak kemudian serta-merta bisa dijadikan bukti keterlibatan Arrahmah dalam terorisme. Satu dua berita soal kelompok Islam radikal di Arrahmah, sama derajatnya dengan satu dua berita yang membela zionisme di harian The New York Times, Amerika Serikat. Jika kita mempercayai demokrasi di negeri ini, maka kita tak bisa membungkam orang hanya karena apa yang dipikirkan, dan bukan apa yang senyata-nyata dilakukan. Polisi membutuhkan lebih banyak bukti dan tak hanya berpangkal pada isi media untuk membubuhkan stempel 'media teroris' di punggung Arrahmah.com.

Namun, stereotip tak pernah membutuhkan jawaban. Stereotip pada akhirnya membuat 'teror' bergerak melampaui maknanya sendiri. Ia menjadi motivasi untuk teror terhadap sesuatu yang dianggap berbeda. Musuh kita bukanlah pelaku teror itu sendiri, tapi mereka yang kita anggap liyan (the others), sesuatu yang asing karena yang asing adalah ancaman. Stereotip ini begitu kuat, begitu alot sehingga ada pernyataan seorang petinggi militer yang mengimbau pengawasan terhadap orang asing yang berjenggot.

Menghapuskan stereotip adalah bagian dari perjuangan yang perlu dilakukan untuk membuat bumi ini lebih baik. Semuanya tergantung pada: maukah kita berbicara kepada 'yang asing', 'yang liyan' itu. Jurnalisme membuka pembicaraan kepada 'yang asing', menghargai apa yang dianggap berbeda. Maka memberangus jurnalis dan media, sama halnya dengan mematikan peluang menciptakan bumi yang lebih damai. [wir]

No comments: