07 August 2009

Willy Mati Malam Tadi...

Nak, Willy mati malam tadi Adakah ia menitipkan wasiatnya kepadamu?

Aku tidak tahu, Mak. Setahuku ia hanya menitipkan ini: hidup yang tak ubahnya prosa, dan akhir hayat yang bak selarik puisi.

Nak, apa yang kau ingat dari Willy?

Aku tak mengenalnya dekat, Mak. Tapi aku mengenal amarahnya saat berkata: Revolusi pemimpin adalah revolusi dewa2. Mereka berjuang untuk syurga dan tidak untuk bumi. Revolusi dewa2 tak pernah menghasilkan lebih banyak
lapangan kerja bagi rakyatnya.

Kenapa maksud baik dilakukan tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya.
Tanah - tanah di gunung telah dimiliki orang - orang kota perkebunan yang luas,
hanya menguntungkan segolongan kecil saja. Alat - alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.

Nak, kau terdengar marah seperti Willy juga. Kau marah? Jangan bodoh: ini Indonesia, anakku. Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya. Kesukaran selalu ada.
Itulah namanya kehidupan. Apa yang kita punya sudah lumayan. Asal keluarga sudah terjaga, rumah dan mobil juga ada, apa lagi yang diruwetkan?

Kita mesti santai. Hanya orang edan sengaja mencari kesukaran. Memprotes keadaan, tidak membawa perubahan. Salah-salah malah hilang jabatan.

Tapi aku tidak bisa begitu, Mak. Aku bukan Manusia Indonesia seperti yang dikatakan Mochtar Lubis. Aku bertanya tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet, dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang. Tanpa pilihan.
Tanpa pepohonan. Tanpa dangau persinggahan. Tanpa ada bayangan ujungnya.

Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala dan menghayati persoalan yang nyata.

Aku mendengar suara jerit hewan yang terluka. Ada orang memanah rembulan.
Ada anak burung jatuh dari sangkarnya. Orang-orang harus dibangunkan
kesaksian harus diberikan agar kehidupan dapat terjaga...

Dan, aku bersaksi, Emakku sayang, bahwa Willy bukanlah burung merak. Dialah sang rajawali.

Rajawali adalah pacar langit, dan di dalam sangkar besi rajawali merasa pasti,
bahwa langit akan selalu menanti. Langit tanpa rajawali adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma. Tujuh langit, tujuh rajawali, tujuh cakrawala, tujuh pengembara. Sebuah sangkar besi tidak bisa mengubah rajawali menjadi seekor burung nuri. Rajawali terbang tinggi membela langit dengan setia,
dan ia akan mematuk kedua matamu, wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka.

Kau benar, Nak. Malam tadi Willy telah pergi. Dan Indonesia jauh dari selesai.
Namun, ia tidak pergi dengan sia-sia, karena telah memberitahu kita
bahwa Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata

Aku juga tak mengenal Willy dekat, Nak. Tapi seperti katamu: orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan. [wir]

Tulisan ini dibuat untuk mengenang Willibrordus Surendra Broto Rendra, yang meninggal Kamis malam, 6 Agustus 2009. Tulisan ini terdiri atas petikan-petikan puisinya yang berjudul: Paman Doblang; Bersatulah Pelacur-pelacur kota Jakarta; Sajak Pertemuan Mahasiswa; Sajak Rajawali; Sajak Potret Keluarga; Kesaksian; Sajak Sebatang Lisong.

No comments: