11 August 2009

Hiroshima

Toshio Nakamura menceritakan sebuah bom dengan nada riang, seolah tengah menceritakan pengalaman liburan sekolah. Usianya baru 10 tahun, saat Little Boy, sebuah bom atom, dijatuhkan oleh pesawat B-29 Enola Gay ke jantung Hiroshima, 6 Agustus 1945.

Setahun setelah hari celaka itu, Toshio menulis sebuah esai untuk gurunya di Sekolah Dasar Nobori-Cho. "Sehari sebelum bom meledak, aku pergi berenang. Pagi itu aku sedang makan kacang. Aku melihat cahaya. Aku terlempar ke ranjang adik perempuanku. saat aku diselamatkan, aku hanya melihat sejauh trem."

"Ibu dan aku sendiri mulai mengepak barang-barang kami. Para tetangga yang terbakar dan berdarah berjalan di sekeliling kami. Hataya-san memintaku untuk berlari bersamanya. Aku berkata, kalau aku ingin menunggu ibuku. Kami pergi ke taman. Sebuah angin puting beliung datang. Pada malam hari, sebuah tangki bahan bakar terbakar, dan aku melihat bayangannya di sungai."

"Kami tinggal di taman selama satu malam. Keesokan harinya, aku pergi ke Jembatan Taiko dan bertemu dengan teman perempuanku yang bernama Kikuki dan Murakami. Mereka sedang mencari ibu mereka. Tapi Ibu Kikuki terluka dan Ibu Murakamik, sayang sekali, sudah tewas."

Jadi, apa sebenarnya tujuan sebuah bom? Menakuti? Meneror? Membunuh? Menaklukkan? Hari itu, sekitar 100 ribu orang dari 245 ribu warga Hiroshima tewas dan sekarat. Lalu bom kedua dijatuhkan di Nagasaki. Kekaisaran Jepang menyerah. Baiklah, jika itu memang tujuan sebuah bom diledakkan: sebuah penaklukkan, maka Little Boy sudah menjalankan tugasnya dengan baik.

Namun sebuah bom selalu menghadirkan pertanyaan, gugatan, tak sekadar pada urusan penaklukkan. Ia tak berhenti pada statistik: berapa jumlah mereka yang tewas, luka-luka, berapa bangunan yang hancur, berapa miliar dollar kerugian yang ditanggung. Bom itu juga tak berhenti pada pernyataan-pernyataan sains: seberapa jauh daya ledaknya, daya radiasinya, titik lelehnya (konon, bom Hiroshima memanggang orang hingga bisa berbentuk belang-belang di tubuhnya).

Seberapa patutkah sebuah bom diledakkan? Di manakah etika diletakkan? Filsuf utilitarian berpesan: motif manusia tidak bisa diukur, tapi konsekuensinya dapat. Tak penting benar apa motif pemerintah Amerika Serikat menjatuhkan Little Boy, selama kemaslahatan lebih besar bisa dicapai. Artikel mantan Menteri Pertahanan AS Henry Stimson menyebutkan alasan bom itu digunakan: perang berhenti, jutaan nyawa prajurit Amerika terselamatkan.

Persoalannya, siapa pula yang punya otoritas untuk menentukan ini maslahat, dan itu tidak? Bagaimana kita bisa memeringkatkan penderitaan rakyat Hiroshima dengan serdadu Amerika? Memperbandingkan penderitaan seorang anak 10 tahun seperti Toshio yang nyaris mati, dengan penderitaan seorang bocah Amerika yang menjadi yatim, karena sang ayah tewas di medan tempur Pasifik?

Saya tidak bisa menilai, walau pada akhirnya Indonesia mengambil keuntungan setelah dua bom dijatuhkan di Jepang. Mungkin tepatnya saya tidak berani menilai: termasuk menilai mana yang lebih menderita, antara rakyat Hiroshima dengan rakyat Indonesia pada hari bom itu dijatuhkan. Benarkah Indonesia tidak akan merdeka, seandainya dua bom itu tidak menghabisi nyawa ratusan ribu orang Jepang yang tak ikut berperang.

Saya merasa setiap bom yang diledakkan adalah bom yang menyejarah. Ia menjadi politis, dan melupakan yang etis. Setiap sejarah, selalu ditulis kembali oleh para pemenang, dan ketika ia ditulis dan ditafsirkan kembali, maka yang terjadi adalah sebuah penyederhanaan persoalan: kita atau mereka, kita melawan mereka. Kita tak bisa membedakan bahwa 'mereka' juga majemuk, tak satu sikap.

Kita tidak pernah bisa ajeg menjaga sikap terhadap apa yang kita sebut sebagai 'kekerasan universal terhadap umat manusia'. Di satu waktu, kita mengutuk kekerasan, sebuah bom yang meledak. Namun di waktu yang lain, kita mendiamkannya, seolah-olah mengamininya. Mungkin, saya menduga, itu karena kita kadang juga memetik keuntungan dari 'sebuah laku kekerasan'.

Kita tidak pernah ajeg, karena kita tidak pernah menggunakan imajinasi dalam etika sebagaimana dipetuahkan Robert Hare. Jika memang kita meyakini sesuatu itu universal (akibat ledakan bom adalah sama saja di semua tempat dan setiap waktu), maka seharusnya kita membayangkan diri sebagai korban, bukan berlaku bak pedagang yang bersiap memetik laba dari sebuah laku kekerasan.

Namun saya tak yakin kita siap membayangkan diri sebagai korban. Setiap 17 Agustus, kita merayakan kemerdekaan dengan suka cita, dan anak-anak kita bermain perang-perangan di mana tak satu pun yang mau berperan menjadi tentara Jepang. Karena tentara Jepang pasti kalah, dan harus mati. Sementara pada bulan yang sama, di Jepang, orang-orang berkumpul, menyalakan lilin, mendoakan mereka yang telah mati dalam lipatan sejarah.

Seorang ilmuwan Proyek Manhattan, sebuah proyek yang menciptakan bom atom Amerika Serikat, pernah menulis surat kepada salah satu kawannya. Ia telah membaca majalah The New Yorker yang memuat artikel panjang berjudul Hiroshima, hasil reportase John Hersey. Ia menangis, saat membaca artikel itu.

"Aku merasa malu mengingat semangat whoopee kita... saat kita kembali dari makan siang, dan mencari kawan-kawan kita yang kembali dengan mengabarkan pemboman Hiroshima. Petang itu kita makan malam, menuangkan sampanye... bangga dengan akhir perang, dan bangga dengan betapa efektifnya bom itu. Dan pada saat yang sama para korban bom berjuang untuk hidup. Kita tidak menyadarinya, Aku heran jika kita baru menyadarinya."

Demi kemanusiaan: pada akhirnya perdebatan atas bom apapun, teror apapun, di mana pun, selayaknya berhenti pada tafsir nurani. Klise. Tapi apa boleh buat, yang klise tak selamanya salah dan harus dikubur. Demi kemanusiaan. Demi Toshio. [wir]

No comments: