05 August 2009

Setelah Banjir Datang…

Mengapa Anda butuh bank seperti BNI? Satu pertanyaan, banyak jawaban, tentu saja. Banyak motif untuk menabung ke BNI. Namun, bagi orang seperti Tutik, emak mertua saya, bank adalah ‘makhluk asing’ yang harus bisa menjawab satu hal mendasar: kepercayaan.

Tutik, perempuan sederhana. Sehari-hari dia menghidupi diri dan keluarganya dengan berdagang di sebuah toko kecil yang terletak di sebuah kampung tepi sungai, di Situbondo, Jawa Timur. Ia tidak bisa membaca dan menulis. Oleh karena itu, ia enggan berurusan dengan birokrasi. Namun, ia mampu memahami angka-angka: sebuah kebutuhan fungsional untuk bertahan hidup.

Tutik mempercayai dirinya sendiri untuk mengurus bisnis kecil itu. Ia menyimpan semua uangnya di sebuah kotak di lemari pakaian. Ia tidak menyukai bank: urusan birokrasi rumit. Mungkin juga, ia merasa minder. Istri saya berusaha meyakinkan emaknya itu berkali-kali. Sampai suatu saat, kami yakin, bahwa emak menanti itu: kepercayaan.

Lalu, datanglah banjir itu. Suatu malam, 8 Februari 2008. Sungai yang berjarak selemparan batu dari rumah mertua saya bergolak. Kami semua melarikan diri menuju bukit terdekat. Ini banjir kedua terbesar di Situbondo, setelah enam tahun sebelumnya. Emak mertua saya menyelamatkan apa saja yang bisa dibawa. Kotak berisi uang diambilnya dari dalam lemari. Malam terasa panjang di pengungsian. Untunglah, air cepat surut, dan kami kembali ke kampung, ke rumah kami yang sudah dipenuhi lumpur.

Banjir bandang di Situbondo diakibatkan oleh gundulnya hutan di kabupaten tetangga, Bondowoso. Letak Bondowoso secara geografis lebih tinggi daripada Situbondo. Maka, aliran air dari hutan yang tak terserap oleh tanah akan meluncur ke sungai-sungai kecil yang semuanya mengarah ke Situbondo. Banjir Situbondo, wajah alam yang rusak.

Emak mertua saya pulang dari pengungsian dengan pandangan yang berubah. Uang simpanannya selamat, namun banjir masih bisa datang sewaktu-waktu. Entah besok, entah lusa, atau tahun depan. Selama hutan di Bondowoso dibiarkan hilang, maka ancaman banjir akan menjadi bagian dari hidup emak mertua saya itu hingga akhir hayat.

Dia membiarkan adik saya mengurus administrasi untuk menjadi nasabah BNI. Saya dan istri saya menyarankan dia untuk menjadi nasabah BNI saja, sama seperti kami. Emak saya, memang tidak tahu apa-apa soal bank. Dia hanya menitipkan pesan, tentang kepercayaan, sebuah bank yang bisa dipercaya, yang tak mudah runtuh dilibas krisis saya rasa. Uang emak saya mungkin tidak besar. Namun saya bisa membayangkan betapa berartinya uang hasil berdagang itu.

Jujur saja, sebenarnya saya sendiri tidak tahu persis, secara akademis, bagaimana sebuah bank bisa dipercaya. Apakah kapitalisasi pasar yang besar adalah acuan sebuah bank bisa dipercaya? Saya kira, BNI bukan yang terbesar. Kapitalisasi BNI Rp 26,9 triliun, masih kalah dibandingkan bank empat lain di Indonesia.

Apakah karena gebyar hadiahnya? Terus terang saja, bagi saya dan keluarga, hadiah dan bonus mobil tidak masuk dalam pertimbangan untuk menciptakan kepercayaan. Apalagi, BNI dalam urusan gebyar hadiah relatif ketinggalan dibandingkan bank-bank lainnya.

Saya hanya percaya: kepercayaan ada, ketika kita merasa aman. BNI memang punya sejarah terpuruk tahun 1999, saat krisis ekonomi. Namun, bank ini dalam jangka waktu 10 tahun sudah mampu pulih. Kedua, saya lebih mempercayai negara dalam mengurus uang saya, daripada pemodal asing. Saya tidak anti-asing. Namun, BNI menjadi salah satu bukti yang menginspirasi saya: bahwa orang Indonesia masih ada untuk mengurus dirinya sendiri. BNI, bank pertama pemerintah kita masih ada.

BNI memfokuskan pemberian kredit kepada sektor usaha kecil menengah, seperti usaha emak mertua saya (58 persen kredit untuk usaha kecil dibandingkan kredit korporasi). Tentu saja, saya berharap, kelak emak mertua saya itu tak hanya sekadar menjadi penyimpan uang. Saya berharap, ia bisa memperbesar usahanya.

Satu hal lagi yang mungkin sangat berarti bagi seorang yang selalu terancam bencana seperti emak mertua saya. BNI memiliki program Green Living. Pemberian satu pohon utnuk setiap nasabah griya BNI menunjukkan kepedulian sebuah bank terhadap persoalan lingkungan. Mungkin emak mertua saya tidak akan dalam waktu dekat menjadi nasabah kredit perumahan dari BNI. Namun setidaknya sebuah kepedulian menunjukkan bahwa semua kehidupan betul-betul berarti: termasuk sebatang pohon. (*)

No comments: