23 August 2009

Tidak

Setiap kali Ramadan tiba, setiap kali itu pula saya merasa kita sedang merayakan kehadiran 'tidak', dan menjalani pendadaran untuk mengenal dan memaknai 'tidak'. 'Tidak' yang sangat menentukan posisi kemanusiaan kita.

Ramadan merayakan 'ketidakmauan'. 'Tidak mau' sama saja menunjukkan sikap. Saat manusia bersikap, maka sesungguhnya dia telah menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Sikap adalah bagian ikhtiar manusia menghadapi hidup yang dinamis, yang selalu berubah-ubah. Oleh karenanya, manusia tak selalu berkata 'ya', namun ada kalanya harus berani berkata 'tidak'.

Lebih mudah mengatakan 'ya' daripada 'tidak', saya kira. 'Ya' sebuah sikap bersetuju dan bersepakat dengan orang lain atau situasi yang kita hadapi. Memilih 'ya' memungkinkan kita terhindar dari potensi konflik yang menyulitkan. Karena dengan 'ya', kita bisa menyenangkan orang lain sekaligus memberi keuntungan pada diri sendiri.

Sikap 'ya' tidak butuh dilatih. Kita tak perlu berlatih untuk berkata 'ya' kepada korupsi jika untuk menggemukkan perut kita. Kita tidak perlu dilatih untuk berkata 'ya' kepada seorang perempuan cantik nan montok yang menawarkan kehangatan di kasur. 'Ya' adalah bagian dari ketundukan kita kepada passion, nafsu. Tunduk lebih mudah. Oleh sebab itu, barangkali Ramadan lebih banyak menghadirkan 'tidak': tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seks dengan istri sendiri di siang hari, tidak berbohong. Dengan 'tidak', kita mencoba asketik, zuhud, walau tak total. Asketisme di masa Ramadan adalah jeda bagi perayaan nafsu kita selama 11 bulan yang lain dalam setahun.

Namun, Ramadan bukan berarti perayaan terhadap 'tidak' bagi ketidakmampuan. 'Tidak mampu' bukan bagian dari peneguhan eksistensi manusia, melainkan pertanda ketidakberdayaan menghadapi situasi, sebuah 'tidak' yang negatif: kita tidak mampu bekerja dengan baik, kita tidak mampu berbuat adil, kita tidak mampu memberi derma. 'Tidak mampu' pada akhirnya membawa manusia pada posisi pasif, yang dikendalikan seolah-olah oleh sesuatu di luar dirinya, menyerah pada pilihan-pilihan.

Filsuf Prancis, Jean Paul Sartre, mengingatkan: manusia sendiri yang bertanggungjawab atas karakter dasar dirinya. Kita 'tidak mampu' berkata jujur (sebutlah: pembohong), bukan karena Tuhan atau faktor alam. Kita tidak mampu menunjukkan keberanian karena kita memilih begitu. Tuhan tidak pernah menciptakan 'ketidakmampuan', oleh karenanya ajaran moral agama menyediakan 'ikhtiar': usaha yang terus-menerus untuk mencapai tujuan. Berserah diri kepada Tuhan adalah bagian dari upaya agar kita tidak kecewa saat ikhtiar itu gagal.

'Tidak mampu' pada akhirnya sama negatifnya dengan 'ya' sebagai bagian memperturutkan nafsu. Ketidakmampuan adalah pernyataan 'menyerah terhadap situasi yang dianggap sulit'. Setelah kita menyatakan 'tidak mampu', kita memilih 'ya' agar terhindar dari kesulitan.

'Tidak mampu' juga menjadi dalih bagi 'ketidakmauan' yang negatif, 'ketidakmauan' yang menguntungkan diri sendiri: 'saya tidak mampu berderma karena ada kebutuhan lain lebih mendesak, menjadi alasan bagi ketidakmauan saya untuk berderma, dan menunjukkan 'penyerahan diri' saya terhadap keinginan untuk menggunakan uang itu selain untuk berderma'.

'Tidak' menjadi bagian dari ikhtiar menuju moral yang lebih baik. Immanuel Kant, filsuf Jerman, secara garis besar menyatakan bahwa moralitas adalah mengenai penolakan apa yang muncul secara alamiah, bukan melakukan apa yang muncul secara alamiah. Moralitas melibatkan kewajiban, bukan keinginan.

Kant menegaskan: menjadi orang baik dan berbuat bajik itu berat. Ini sebuah perjuangan mental memilih antara kewajiban dengan yang ingin dilakukan. Ada kalanya kita harus menyanggah kesenangan kita sendiri, untuk bisa melaksanakan kewajiban moral.

Namun, pada titik tertentu, kadang kita lupa perjuangan mental dalam Ramadan adalah perjuangan personal. Kita lupa bahwa puasa adalah ibadah privat, antara individu dengan Tuhan. Kita menjadikan Ramadan dan perjuangan mentalnya dalam kategori imperatif Kantian: bahwa kita menguniversalkan laku ibadah kita.

Padahal, seperti kata Sartre, pada akhirnya kita bebas memilih: moralitas berpusat pada kebebasan memilih, bukan apa yang dipilih. Islam tidak pernah memaksakan sebuah pilihan saat datangnya Ramadan. Jika Anda memilih tidak berpuasa dan lebih memilih 'ya' untuk bersenang-senang seperti biasanya, maka itu pilihan bebas Anda.

Dalam kitab suci, Tuhan menyeru bahwa puasa untuk orang yang bertakwa kepada-Nya. Dan saya kira, Tuhan tidak membutuhkan aparat Satuan Polisi Pamong Praja untuk menutup warung-warung atau tempat hiburan di siang bolong, agar seruan itu bisa dilaksanakan oleh hambanya yang bertakwa. [wir]

No comments: