17 August 2009

Ia yang Memegang Ekor Naga

Hari Kemerdekaan, Saudara-saudara. Dan saya tidak teringat kepada Soekarno, Hatta, atau Sjahrir. Saya mendadak teringat Udin, seorang wartawan yang mati di Jumat sore.

Arief Budiman, cendekiawan cum aktivis, menggambarkan Udin dengan ungkapan yang karikaturistik: Udin menggali sebuah lubang dan menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya, yang tanpa sadar, sesuatu yang menarik itu adalah bagian tubuh naga raksasa yang tengah terlelap di dalam lubang. Udin terus menggali karena tak tahu, dan sang naga pun bangun dengan marah.

Rumah Sakit Bethesda Jogjakarta, 16 Agustus 1996. Pukul lima sore kurang tiga menit. Marsiyem meraung: 'Salahmu apa, Mas? Mengapa mereka membunuhmu?'

Tak ada yang bisa memastikan saat itu. "Apa yang bisa kulakukan? Ini kebenaran. Apa yang aku tulis adalah benar. Jika memang aku harus mati karenanya, aku sudah siap," kata Udin kepada Marsiyem. Udin pun menyongsong kematian itu.

64 tahun sejak Soekarno membacakan teks pendek proklamasi. Selama itu pula, kita tahu, naga raksasa yang digambarkan Arief Budiman itu masih bersemayam dalam perut Indonesia. Kemerdekaan, kata Soekarno, adalah jembatan emas bagi keadilan dan kemakmuran. Namun sesungguhnya kemerdekaan tak ubahnya kuda troya berisi naga raksasa yang hidup dan tidur lelap.

Saya suka dengan metafora naga raksasa. Naga adalah makhluk buas yang hanya hidup dalam hikayat dan cerita-cerita. Naga menjadi sesuatu yang terasa purba yang seakan 'nan jauh di sana', namun sesungguhnya dekat dalam kesadaran kita. Dalam dunia mitologi, naga selalu dipertarungkan dengan pendekar atau pangeran, karena naga meminta daging manusia sebagai sesajen atau menahan seorang putri.

Setelah beratus tahun hidup di bawah kaki 'Barat', kita berasumsi: kemerdekaan adalah kunci utama untuk hidup lebih baik. Kita sudah tak sudi lagi menjadi sesajen 'naga yang rakus'. Tapi apakah hidup yang lebih baik itu? Agaknya kita tak siap untuk memberikan jawaban pasti. Dan memang bagaimana pula kita memastikan detail sebuah cita-cita: yang lebih baik adalah sesuatu yang sejahtera, berdiri dengan kaki sendiri, dan tak bergantung dari apapun karena ketergantungan adalah awal keterjajahan.

Kita sepakat. Namun, pada akhirnya, kita seperti lupa bahwa setiap kaum tertindas akan mengadaptasi laku sang penindas. Kita ternyata diam-diam mengagumi dan merindukan perilaku 'naga', dan kita menumbuhkannya secara terus-menerus sehingga lebih rakus.

Naga raksasa itu bisa siapa saja, bisa apa saja. Ia ada di tubuh birokrasi. Di meja-meja hakim. Di ruang-ruang pelayanan publik. Kantor polisi. Markas tentara. Sekretariat partai politik. Di organisasi-organisasi keagamaan. Bahkan, di tengah korporasi media. Naga itu kita lahirkan dan kita biakkan dengan perilaku kita sendiri.

Kompeni hancur karena korupsi di tubuhnya sendiri, dan kita pun mengadaptasi laku mereka dengan lebih parah dan celaka. Mereka memperbudak rakyat kita untuk membuat jalan pos dan pabrik-pabrik gula. Kita menirunya dengan memperlakukan semaunya para buruh di perusahaan kita, seolah kemerdekaan mereka adalah milik kita.

Para meneer Belanda memanfaatkan para bangsawan untuk memadamkan perlawanan dan melahirkan teror. Para bangsawan menjadi pejabat dan menumpuk harta dari pajak, dan minta dilayani. Jajaran pamong praja kita kini menirunya: gaji yang didapat dari pajak naik terus, tapi perilaku 'minta dilayani' tak bergeser.

Mulut para politisi kita tak ubahnya mulut naga, yang menyemburkan api: membakar amarah siapa saja. Lalu berlalu begitu saja, setelah lawan menjadi arang.

'Naga raksasa' itu pun dipelihara selama 64 tahun, dalam kesadaran kita. Udin menjadi satu dari sedikit orang yang terus menggali, untuk mencari apa yang dianggapnya benar: sesuatu yang ditutupi oleh tubuh besar sang naga.

Lalu Udin mati. Namun seperti kata Iwan Fals: kematiannya bukanlah kematian kebenaran. Setiap pencarian kebenaran memang membutuhkan martir. Namun persoalannya, di zaman merdeka ini, martir tak selamanya dihargai. Ia mudah dilupakan, atau setidaknya mereka yang bersedia menjadi martir dianggap sebagai Don Kisot: seorang pendekar gila yang dianggap tak bisa membedakan kincir angin dengan naga.

Maka, saya ragu, di masa ini, akankah kita memiliki martir yang terus-menerus menggali seperti Udin. Kita diseru-serukan 'berhentilah menggali dan mencari apa yang benar, karena 'yang benar' hanya ada di surga.'

Apakah sebaiknya kita berhenti saja, karena kita lebih suka memperbincangkan kemiskinan dan laku manipulatif di kafe-kafe atau restoran, sembari menggigit sepotong ayam goreng Kentucky dan meneguk Espresso Capuccino.

Kemerdekaan dan pencarian kebenaran, hari ini, rasanya tak lebih dari lowongan pekerjaan yang tak diminati rakyatnya sendiri. [wir]

No comments: