05 August 2009

I Love You Full...

Apa yang membuat kita menyukai Mbah Surip? Seorang kawan berkata kepada saya, selera orang Indonesia aneh. Lagu 'Tak Gendong' yang dianggapnya tidak jelas dan kurang indah malah populer, mengalahkan lagu kelompok musik manapun di Indonesia. Lagu itu sudah lama dibawakan oleh Mbah Surip. Namun kenapa pula baru sekarang bisa populer.

Saya tak hendak berbantah-bantah dengan kawan saya itu, atau orang lain. Urusan selera tak bisa digugat, termasuk jika ada filsuf atau akademisi yang punya semangat menyeret teks lagu itu dalam tafsir-tafsir filosofis atau politis. Absah saja, walau mungkin Mbah Surip sendiri waktu menciptakan lagu itu tak hendak membuatnya filosofis.

Saya sendiri mengira, bukan 'Tak Gendong' yang membuat Mbah Surip disukai banyak orang. Mbah Surip dicintai karena sosoknya. Seorang presiden pun menyebutnya sebagai sosok yang berdedikasi. Entahlah, mungkin Mbah Surip berhasil memunculkan kembali perenungan terhadap apa yang ditetapkan Mochtar Lubis sebagai 'manusia Indonesia'.

'Manusia Indonesia' adalah orasi budaya yang dibacakan wartawan senior Mochtar Lubis, di Taman Ismail Marzuki jakarta, 16 April 1977. Mochtar adalah wartawan 'jihad' yang memimpin Indonesia Raya, sebuah koran yang menjadi pelopor jurnalisme investigatif di Indonesia.

Mochtar mengatakan, ada lima ciri manusia Indonesia: munafik atau hipokrit; segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya; bersikap dan berperilaku feodal; percaya takhayul; artistik; tidak hemat, boros, serta senang berpakaian bagus dan berpesta.

Saya tidak mengenal Mbah Surip secara pribadi. Namun, saya menangkap, orang-orang menyukai penampilan Mbah Surip yang apa adanya. Sama seperti pelawak yang 'mendadak seleb' Tukul, Mbah Surip menjadi dirinya apa adanya. Ia tidak mirip sebagian seniman Indonesia yang berlagak menolak kemapanan sebagai bagian dari tren, namun diam-diam ikut merayakan kapitalisme. Ia pernah ke Amerika. Ia dikabarkan mendapat miliaran rupiah dari 'Tak Gendong', yang akan digunakannya untuk: 'beli gula, kopi, dan kirim-kirim'. Namun, popularitas mendadak tak menyanderanya dan mengubah pola hidupnya.

Mbah Surip menerabas tata krama kelas sosial yang diciptakan dalam perspektif mereka yang mapan. Ia bisa tidur di mana saja, tidak biasa makan makanan mahal, dan bisa sewaktu-waktu kongko di tepi jalan. Tidak senang berpakaian bagus sebagai simbol keberhasilan. Rambutnya gimbal konon dicuci dengan deterjen atau sabun cuci pakaian. Hidupnya berwarna, dan Mbah Surip 'tidak berada di langit': ia orang kebanyakan sebagaimana halnya kita.

Mbah Surip juga merepresentasikan sifat positif manusia Indonesia sebagaimana diungkapkan Mochtar Lubis: punya rasa humor serta dapat tertawa dalam penderitaan: "Ha ha ha ha...". Dia bukan sosok yang selalu minta dikasihani, atau memainkan lakon 'yang tertindas'. Bagi Mbah Surip, penderitaan bukan untuk dikabarkan agar memunculkan iba.

Kehidupannya di kalangan seniman dan sanak kerabatnya menunjukkan adanya ikatan saling tolong, hati lembut, dan pecinta perdamaian. "I love you full," katanya dalam lagu 'Tak Gendong'.

Mbah Surip, sebagaimana kata Mochtar Lubis, juga cepat belajar. Ia seorang bohemian. Namun, ia paham bagaimana pada akhirnya kapitalisme yang mengatrol namanya, sekilas melintasi langit hiburan Indonesia. Tak akan mengherankan juga jika kemudian kapitalisme akan mengabadikan namanya sebagai salah satu ikon, sebagaimana Che Guevara yang justru 'dibekukan' sebagai ikon perlawanan oleh sistem yang dilawannya sendiri.

Mbah Surip menjadi antitesis bagi semboyan manusia Indonesia: 'muda hura-hura, tua kaya-raya, mati masuk surga'. Di masa muda, dia menggelandang, dan kaya-raya di masa tua sebagai bagian dari hasil kerja keras dan konsistensinya selama ini. Masuk surga? Kita berdoa, semoga Tuhan berkenan memerintahkan para malaikat menggendong Mbah Surip masuk ke surga.

Adakah sifat negatif manusia Indonesia dalam diri Mbah Surip? saya yakin ada. Gaya hidupnya yang tak sehat menunjukkan betapa dia tak bisa bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Namun di sisi lain, janji dan rencananya untuk menikahkan sang anak pada pertengahan Agustus sebenarnya menunjukkan dengan jelas, ia adalah seorang ayah yang rela melakukan apapun untuk membahagiakan anaknya.

Kali ini, saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mbah, I love you full... [wir]

No comments: