29 July 2009

Apa Sisi Oposisi

Kesimpulan pertama: oposisi adalah terma yang paling rumit, kontradiktif, dalam sejarah dan praktik politik kenegaraan kita. Di satu sisi, ia menjadi representasi dan manifestasi semangat perlawanan terhadap kekuasaan yang diasumsikan menindas. Di sisi lain, ia dianggap menjengkelkan dan cerewet.

Dalam konteks perlawanan terhadap 'yang menindas', Partai Demokrasi Indonesia sudah membuka pintu terhadap kata 'oposisi' masuk dalam ranah politik kita. Peristiwa penyerbuan brutal preman-preman yang diduga tentara ke markas PDI di Jalan Diponegoro, 27 Juli 1996, menandai 'radikalisasi oposisi partai'.

Lalu muncullah istilah 'Mega-Bintang' pada pemilu 1997 sebagai bentuk perlawanan terhadap Partai Golkar. Pemerintah yang takut melakukan pembungkaman habis-habisan, yang akhirnya menciptakan sejarah kemenangan Golkar dengan angka persentase suara tertinggi yang belum terpecahkan hingga saat ini.

Namun, 'oposisi' di masa Orde Baru hanya berhenti sampai pada heroisme. Oposisi tidak terlembagakan dengan benar. Kekuatan oposisi luar parlemen justru lebih menguat.

Selebihnya, yang berlaku dalam urusan oposisi adalah tafsir yang terakhir. Rakyat tak menyukai oposisi karena dianggap bikin ruwet. Indra Jaya Piliang, politisi muda Partai Golkar, mengatakan kepada saya: "Rakyat sejauh ini kurang memberikan hati kepada partai oposisi, karena dianggap tidak sopan, kurang santun atau barisan sakit hati."

Dalam kehidupan sosial masyarakat, oposisi juga tak dikenal. Dalam kehidupan di kampung dan sebuah rukun tetangga, warga yang berani berbeda dan kritis dikatakan 'banyak bicara'. Kita dibiasakan dengan 'musyawarah' sebagai jalan damai. Akhirnya, apapun dimusyawarahkan: mulai dari tawar-menawar harga di pasar, kena tilang di jalan, konsensi-konsesi bisnis, biaya mengurus usaha, kasus-kasus hukum.

Sebuah 'Negara Teater' seperti Indonesia lebih menyukai sosok pemimpin tunggal yang berkuasa penuh dan tak direcoki. Pemimpin adalah simbol kerja keras. Sebuah kritik dari pihak yang tak bersepakat akan dihantam dengan kata-kata yang kira-kira begini: 'jangan protes saja dong, kasih solusi'. Aneh juga, mengingat kritik sendiri adalah bagian awal dari munculnya solusi. Tanpa kritik, boleh jadi, kita akan silap karena tak sadar bahwa ada yang keliru dengan yang kita perbuat. Tanpa kritik, saya kira, para aparat pemerintah akan lupa bahwa mereka dibayar dengan pajak rakyat untuk bekerja.

Maka, tak pelak, membicarakan oposisi sebagai sikap politik dalam jangka waktu lima tahun ke depan, setelah Susilo Bambang Yudhoyono terpilih lagi sebagai presiden, menyisakan problem gampang bikin gamang. Apakah partai-partai pengusung calon presiden yang kalah dalam pemilihan presiden harus memosisikan diri sebagai pihak yang berseberangan dengan pemerintahan 2009-2014? Ini tidak sekadar membutuhkan jawaban 'ya' atau 'tidak'.

Masalah utama politik kenegaraan Indonesia adalah sejarah yang tak mengenal peran oposisi. Praktis, kata ini hanya hidup dalam jangka waktu pendek, di masa demokrasi parlementer yang penuh uji coba, sebelum akhirnya diakhiri oleh Soekarno yang mendadak seperti menjadi orang tua yang tak sabaran menghadapi anak-anak nakal.

Masa Orde Baru praktis tak menyediakan ruang bagi perbedaan. Golkar partai pemerintah, dan dua partai lainnya adalah 'mitra' pemerintah. Kendati mitra-mitra itu juga ditekan tak boleh berbeda. Selama 32 tahun, kita menjalani politik eufemisme. Soeharto tergila-gila dengan harmoni yang menjadi bagian dari kultur Jawa. Tak peduli harmoni itu harus diciptakan dengan opresi, sehingga rentan pecah.

Singkat kata: oposisi itu buruk. Ia punya tendensi menjatuhkan, bukan memperbaiki. Ia adalah manifestasi ketidakbesaran hati. Oleh sebab itu, oposisi selayaknya dijauhi.

Nurcholish Madjid, seorang intelektual muslim, memahami benar kultur itu. Maka, ia kemudian memperkenalkan apa yang disebut sebagai 'oposisi loyal'. Dalam sebuah negara demokrasi, oposisi dibutuhkan sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah agar yang berkuasa tak terpeleset dalam kediktatoran. Namun mereka yang berseberangan tak perlu bersusah-payah menjatuhkan mereka yang berkuasa, selama tak ada persoalan yang prinsip dan bertentangan dengan konstitusi.

Oposisi loyal sebenarnya bisa menjawab kegalauan partai yang merasa berdiri di atas dua kaki. Partai-partai seperti Golkar dan PDI Perjuangan mungkin tak duduk di pemerintahan pusat, namun di pemerintahan daerah banyak kader-kader mereka yang duduk sebagai eksekutif. Sebagai bagian dari satu kapal besar birokrasi negara, oposisi akhirnya bukan harga mati, ia tak permanen. Oposisi permanen sama saja mematikan kader-kader partai sendiri yang duduk di pemerintahan daerah. Tidak setiap kebijakan pemerintah pusat bisa ditentang habis, apalagi jika itu menguntungkan bagi daerah.

Sejenak, kita berbesar hati dengan terobosan Cak Nur. Namun, masa Reformasi 'membunuh' konsep ini sebelum berkembang, ketika Abdurrahman Wahid diturunkan dari kursi kekuasaan. Para politisi di parlemen sendiri yang memberi nama buruk bagi oposisi.

Rakyat pun melihat oposisi tak lebih dari sekumpulan orang rakus yang juga ingin kebagian jatah kekuasaan di negeri ini. Andai kita lebih bersabar, seperti yang diharapkan Cak Nur, dan tak mendongkel Gus Dur di tengah jalan, saya yakin kultur oposisi akan tumbuh dan terlembagakan dengan baik. Terus terang, saya melihat gaya pemerintahan Gus Dur memungkinkan sebuah kultur oposisi berkembang dalam politik kenegaraan kita.

Lima tahun ke depan, kita membutuhkan kehadiran oposisi lebih dari yang kita bayangkan. Dengan legitimasi SBY-Boediono yang begitu perkasa (60 persen suara rakyat dalam pilpres dan dominasi koalisi parlemen hingga lebih 50 persen), oposisi kita perlukan untuk memastikan otoritarianisme tak hadir lagi.

Pertanyaannya, mau bentuk oposisi yang bagaimana lagi? Dengan senang hati, saya menyambut model oposisi yang ditawarkan kader-kader Golkar muda macam Yuddy Chrisnandy dan Indra Jaya Piliang: sebuah oposisi yang bercorak individual dan kehendak rakyat. Oposisi ini mirip konsep oposisi loyal milik Cak Nur. Tidak semua kebijakan pemerintah harus ditentang, selama itu memang menguntungkan rakyat. Kebijakan harus dihantam habis, saat memang menepikan kepentingan rakyat.

Oposisi ini berbasis personal, tak terlembagakan dalam partai. Oposisi berbasis personal malah memungkinkan seorang anggota parlemen berbeda sikap dengan partai tempatnya berasal. Inilah yang saya kira benar, karena pada dasarnya pertanggungjawaban seorang anggota parlemen adalah pada hati nuraninya dan konstituen yang diwakilinya. Konsep anggota parlemen sebagai wakil rakyat, bukan wakil partai, pernah pula dicetuskan oleh politisi muda PAN, Charles Honoris.

Namun konsep oposisi seperti ini pun tak mudah pula. Kendati sering menyebut diri sebagai bagian dari tatanan demokrasi, partai seringkali justru menjadi lembaga yang paling otoriter dan menerapkan sistem komando. Biru kata dewan pimpinan pusat, biru pula kata para kader di bawah. Mempertanyakan apakah keputusan itu dikeluarkan oleh sekumpulan orang yang buta warna, hanya akan berujung pada sanksi dan pemecatan.

Undang-undang kita juga lebih memberi keleluasaan kepada partai untuk memberhentikan kader-kadernya di parlemen. Seorang legislator bisa dipecat, hanya karena berbeda pendapat dengan kebijakan partai.

Tantangan lain konsep oposisi berbasis personal adalah godaan politik uang. Tak ada yang bisa menjamin dukungan atau penolakan terhadap kebijakan pemerintah tidak dilandasi motif material. Maka, oposisi berbasis personal ini harus benar-benar dikontrol oleh kekuatan-kekuatan lain di luar parlemen.

Kesimpulan kedua: oposisi memang rumit, tapi kita tetap memerlukannya. Jadi, belum saatnya kita patah arang terhadap kehadiran oposisi. Saya menjadi bagian dari mereka yang merindukan sebuah oposisi yang kuat, yang tak asal beda, dan berani berkata tidak. Karena saya tak ingin kembali ke masa kelam itu. [wir]

No comments: