15 July 2009

Tak Patuh kepada Dawuh

Kekalahan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto dalam pemilihan presiden menghasilkan koor besar para pengamat politik dan bahkan tokoh Islam. Semua koor bernada sama: hilangnya politik aliran, wa bil khusus politik santri. Koor yang tak jarang bernada sinis ini dihantamkan pada dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Kendati tidak menyatakan secara tersurat alias tak resmi mendukung Kalla, preferensi politik NU dan Muhammadiyah, termasuk pengurus struktural, tampak terang ke arah saudagar asal Makassar itu. Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi bahkan sempat 'repot-repot' membacakan tujuh poin amanah kepada Kalla, saat berkunjung ke Pondok Pesantren Tebuireng.

Sejumlah ulama besar di Jawa Timur membuat semacam 'Manifesto Mei' yang merupakan hasil bahsul masail di Surabaya. Intinya, mereka sepakat mendukung JK-Wiranto dalam pilpres.

Sementara itu, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin tidak seterang Hasyim. Namun ia melemparkan banyak isyarat, bahwa dirinya mendukung Kalla. Terakhir, ia menyediakan kantor Pengurus Pusat Muhammadiyah untuk dijadikan pertemuan JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo Subianto untuk membahas masalah daftar pemilih tetap (DPT) yang amburadul. Pertemuan di kantor Muhammadiyah ini terbilang sukses, karena pada akhirnya Mahkamah Konstitusi mengizinkan penggunaan kartu tanda penduduk sebagai tanda bukti untuk menyontreng saat pilpres.

Dukungan dua ormas tersebut membuat JK mulai diperhitungkan. Diperkirakan, dukungan tersebut akan menggelembungkan pundi-pundi suara JK-Wiranto. Namun, ada juga yang ragu, bahwa dukungan itu akan membuat suara JK bertambah. Beberapa pengalaman politik yang lalu menunjukkan, preferensi kiai dan pemuka agama bisa berbeda dengan preferensi politik umat.

Keraguan itu terbukti. JK-Wiranto tumbang. Bahkan di kandang NU pun, mereka rontok. Orang pun mulai ramai bicara soal 'dawuh' (perkataan) kiai yang tak lagi bikin umat patuh. Seorang pengamat politik dengan nada sinis kepada saya mengatakan, NU-Muhammadiyah telah terlibat permainan 'ecek-ecek' alias sepele. Agaknya, pengamat ini ingin menegaskan, dukungan terang terhadap JK adalah hal remeh-temeh yang bisa meruntuhkan kredibilitas tokoh agama.

Benarkah koor itu? Benarkah politik santri sudah mati? Betulkah NU-Muhammadiyah telah remuk-redam?

Satu hal yang perlu ditegaskan di sini, saya tidak sepesimis dan sesinis para pengamat politik. Politik santri merupakan bagian dari penafsiran tesis Clifford Geertz, seorang antropolog, yang meneliti kehidupan masyarakat Jawa di Pare, Kediri, Jawa Timur. Ia membagi tipologi masyarakat Jawa: abangan, priyayi, dan santri. Dalam dunia politik, tesis ini lantas diperluas (atau justru dipersempit?) menjadi kelompok nasionalis (abangan dan priyayi) dan santri tradisionalis (NU), dan santri modernis (Muhammadiyah dan Masyumi).

Sebuah perluasan (atau penyempitan?) yang rentan sebenarnya, karena tidak ada jaminan seorang priyayi tidak bakal menjadi santri atau sebaliknya, dan tak ada garansi seorang abangan tak merasa diri menjadi warga NU. Lagipula, bagaimana bisa kita menjamin optik Jawa-sentris digunakan untuk membaca preferensi politik di Indonesia? Boleh jadi, ini yang bikin kita sering salah baca terhadap kehidupan politik Indonesia yang memang warna-warni.

Saya juga menilai, politik santri bukanlah arus mayoritas rakyat Indonesia. Pemilu 1955, saat pertarungan ideologi masih begitu kuat, gabungan suara partai-partai berwarna Islam atau santri hanyalah sekitar 43,7 persen. Ini artinya, suara terbesar justru dipegang partai-partai berbasis non santri, seperti Partai Nasional Indonesia, Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, dan partai-partai lainnya. Di Konsituante, partai Islam selalu kalah dalam memperjuangkan agendanya. Artinya, sejak awal disadari, agenda-agenda politik santri memang dianggap ancaman oleh kelompok lain karena selalu dikaitkan dengan kekuasaan.

Perjalanan selanjutnya, api politik santri terus berusaha dipadamkan oleh rezim yang berkuasa, terutama Orde Baru. Tidak bisa padam, negara menjaganya agar tetap kecil saja, sebagai legitimasi bagi kekuasaan. Dalam konteks strategi dan taktik politik, politik santri dibiarkan bebas bergerak dalam kerangka yang telah disediakan negara.

Kalangan muda santri mencoba melakukan perlawanan melalui dua jalan, frontal dan kompromistis. Mereka yang memilih menolak negara Orde Baru, menggunakan masjid dan kelompok-kelompok pengajian sebagai penumbuhan benih-benih oposisi. Mereka yang mencoba berkompromi disemangati oleh gagasan Nurcholish Madjid, pemikir dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam, yang menyatakan: 'Islam Yes, Partai Islam No'. Terlepas dari pro-kontra, gagasan Cak Nur berhasil membuat rezim 'abangan' Soeharto mulai bisa menerima laku Islam ritual, bukan politik. Para birokrat berangsur-angsur berani menunjukkan identitas keislaman melalui simbol-simbol seperti salat di masjid saat jam istirahat kantor, berjilbab, dan lain-lain. Mobilisasi vertikal birokrasi dari kelompok santri pun lebih leluasa, kendati pada akhirnya, Islam berangsur-angsur pula tak lagi menjadi identitas politik, namun identitas ritual.

Di parlemen, Partai Persatuan Pembangunan sebagai representasi kelompok Islam masih terus berupaya memperjuangkan agenda-agenda umat, kendati tak lagi menyentuh urusan ideologi negara. Rezim Orde Baru melihat politik santri menjadi ancaman, terutama setelah PPP menang telak di Jakarta. Intervensi mulai dilakukan, dan intervensi terbesar tentu saja mengubur asas Islam, dan menunggalkan semua asas organisasi sosial-politik menjadi Pancasila.

Sebagian kelompok Islam melawan: HMI pecah, dan Pelajar Islam Indonesia bubar. Namun peristiwa monumental tentu saja adalah penerimaan NU terhadap Pancasila, dan kesepakatan NU kembali ke khittah sebagai organisasi sosial keagamaan tanpa campur tangan urusan politik. Politik santri yang direpresentasikan PPP pun gembos.

Sejak kembalinya NU ke khittah dalam Muktamar Situbondo tahun 1984, maka praktis politik santri dalam arti pergerakan struktural politik terputus dari umatnya. Politik lepas dari urusan identitas agama, karena agama adalah sakral dan politik adalah hal yang banal. Namun di lain sisi, kelompok-kelompok pengajian dan masjid masih memegang kukuh ideologi politik santri, dan pada akhirnya tampak terang saat Reformasi 1998 melahirkan partai seperti Partai Keadilan.

Kendati tak lagi merambah pada urusan politik struktural, para pemuka agama ini, dari NU dan Muhammadiyah, justru menjadi rujukan umat untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan negara. Ketika partai politik dimandulkan, kita tahu Gus Dur saat menjadi ketua umum PBNU menjadi acuan kaum oposisi. Muhammadiyah menyediakan Amien Rais yang bersuara lantang terhadap Soeharto. Di kota-kota kecil, para kiai lokal menjadi panutan.

Zaman berubah cepat. Soeharto jatuh. Politik identitas yang dulu ditinggalkan lama, mendadak kembali ke permukaan. Partai-partai politik memainkan simbol-simbol 'jadul' (jaman dulu). Namun untuk politik santri, hanya NU melalui Partai Kebangkitan Bangsa yang berhasil memanggil 'umatnya' untuk 'kembali ke kandang'. Kelompok modernis yang masih berupaya menampilkan simbol Masyumi justru gagal total. Golkar tak runtuh, dan justru menjadi raja di daerah yang dulu menjadi basis Masyumi.

Kembalinya politik santri ke arena politik kekuasaan tidak dengan sendirinya membuat elite politik santri, terutama NU, siap. PKB justru dilanda pertarungan internal tiada akhir. Para anggota partai ini seperti dikutuk untuk bertarung terus-menerus di antara sesamanya. Sementara, elite Muhammadiyah tak siap menghadapi keterbelahan ideologi kelompok santri modernis, dengan hadirnya Partai Keadilan (Sejahtera).

Di satu sisi, perubahan angin politik yang lebih bebas pasca rezim Suharto jatuh, menjadikan organisasi-organisasi massa Islam ini tak lagi menjadi rujukan satu-satunya perjuangan politik. Orang bebas berserikat, bahkan untuk memperjuangkan tanahnya, mereka membangun kelompok sendiri. Pemuka agama memang kadang masih menjadi rujukan, walau tak seintensif dulu dan tak lagi dilekatkan dengan latar belakang ormas sang pemuka tersebut. Reformasi membuat hubungan antara masyarakat dengan pemuka agama lebih personal, tanpa ada keterikatan latar belakang organisasi, preferensi politik, atau ideologi.

Sisi lainnya, Reformasi yang melahirkan persoalan ekonomi terus-menerus, membuat masyarakat berpikir lebih pragmatis. Perjuangan politik dalam pandangan masyarakat adalah perjuangan untuk menjaga agar kebutuhan hidup tetap stabil. Dalam pandangan seperti ini, stabilitas politik menjadi penting, tidak peduli apakah kehidupan ekonomi-politik yang dimunculkan adalah semu: bantuan langsung tunai yang dibiayai dengan uang utang bukan menjadi persoalan; privatisasi silakan jalan terus, toh yang rebutan orang-orang kaya; atau ancaman terhadap kemerdekaan berbicara seperti kasus Prita terancam pun bukan urusan, karena kebebasan berbicara dianggap berisik dan merepotkan.

Dari titik ini, saya berbeda pendapat dengan sebagian pengamat politik kita yang menuduh para petinggi agama NU dan Muhammadiyah terlibat politik 'ecek-ecek' dalam pilpres. Saya justru tertarik untuk mengamati ini bukan dari perspektif kekalahan Jusuf Kalla. Yang menarik justru adalah bersatunya pemuka-pemuka agama itu, NU dan Muhammadiyah, dalam satu barisan mendukung Kalla.

Apa yang membuat para pemuka NU-Muhammadiyah rela berdiri di belakang calon presiden 'yang sudah sangat benderang bakal kalah'? JK berangkat dari tingkat elektabilitas hanya 3 persen pada bulan Mei. Bandingkan dengan SBY yang sejak awal elektabilitasnya sudah 70 persen. Mengapa para pemuka agama ini tidak memilih berdiri saja di belakang SBY, mengikuti jejak partai-partai berbasis umat Islam seperti PAN, PKB, atau PKS?

Apa pula yang membuat seorang Din Syamsuddin repot-repot menyediakan kantor Muhammadiyah sebagai tempat pertemuan dua pasang capres-cawapres, untuk membahas masalah data pemilih tetap yang amburadul? Bukankah lebih nyaman bagi Din dan Muhammadiyah untuk tak ikut campur urusan yang sejak awal memang ruwet dan penuh intrik itu?

Pertanyaan-pertanyaan ini sayangnya tidak (atau lalai) diapungkan ke publik. Justru hari ini yang diapungkan adalah analisis mengenai tergerogotinya politik santri yang ujung-ujungnya membuat anjlok integritas dua ormas itu.

Saya sendiri melihat persoalan materi bukanlah alasan yang membuat mereka bersatu. Urusan 'maskawin politik' tidak cukup argumentatif, karena pada pemilihan langsung kepala daerah, para pemuka agama ini juga terpecah. 'Maskawin politik' semakin tak argumentatif, karena kasat mata anggaran politik JK justru bukan yang terbesar, dan justru kalah jauh dibandingkan SBY-Boediono. Dari jumlah tayangan iklan televisi saja, salah satu patokan pengeluaran kampanye politik, SBY unggul.

Saya justru melihat, pemuka agama NU dan Muhammadiyah tengah mengembalikan politik santri sebagai kekuatan kritis terhadap negara. Sejak awal, SBY-Boediono sudah diramalkan bakal meraih kursi pemimpin negara dengan kekuatan cukup absolut. Hasil sementara pilpres versi hitung cepat, menunjukkan SBY-Boediono menang dengan persentase 60 persen pemilih. Pasangan ini juga didukung koalisi partai yang besar. Partai Demokrat juga bakal memimpin parlemen dengan 25 persen kursi. Kekuatan Demokrat di parlemen hasil pemilu 2009 merata di mana-mana, mulai dari pusat hingga ke daerah.

Saya tidak bisa membayangkan, betapa semakin perkasanya legitimasi raksasa SBY-Boediono itu, jika para tokoh NU-Muhammadiyah ikut bergabung. SBY di kantor Harian Kompas pernah mengritik kekuasaan Komisi Pemberantasan Korupsi yang disebutnya 'sangat besar'. "The power must no go unchecked, kekuasaan itu jangan sampai tidak bisa disentuh," demikian kira-kira SBY saat itu. Saya kira, para tokoh NU-Muhammadiyah menyadari hal itu dalam konteks pemerintahan mendatang: kekuasaan besar SBY-Boediono jangan dibiarkan begitu saja tanpa kontrol.

NU, demikian juga halnya Muhammadiyah, tidak membela orang per orang, melainkan berdasarkan kesamaan ide, bahwa kekuasaan yang terlalu besar harus dikoreksi. Ide lainnya adalah gagasan kebangsaan, bahwa orang non Jawa juga bisa mencalonkan diri menjadi presiden. Perkara gagal atau berhasil, itu urusan belakangan. Namun, setidaknya, seperti kata pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Solahuddin Wahid, pencalonan JK adalah salah satu bagian dari langkah melengkapi identitas ke-Indonesia-an.

Jika melihat tujuh butir amanat NU yang dibacakan Hasyim Muzadi di hadapan Jusuf Kalla, jelaslah bahwa keberanian kalangan Nahdliyyin menjatuhkan dukungan kepada ketua umum Golkar itu didasarkan itikad politik kebangsaan.

Amanat NU antara lain meminta agar istigosah dan ibadah ditingkatkan; NU dan ahlussunnah wal jamaah di Indonesia agar dijaga; mengatasi krisis dengan kejujuran, kemandirian hidup yang halal, dan memberantas orang-orang bermuka dua,jangan sampai perekonomian Indonesia diperuntukkan asing; dan memulihkan martabat bangsa Indonesia yang sedang anjlok.

Dari butir-butir amanat itu, saya justru melihat kebersahajaan yang jauh dari ambisi politik kursi. Dengan keberanian menjatuhkan pilihan, NU justru sedang kembali ke khittah, bukan menjauh dari khittah sebagaimana diserapahkan sejumlah tokoh NU sendiri. Khittah NU adalah menjaga ke-Indonesia-an dan berpolitik kebangsaan. Ada kalanya netral adalah bagus. Namun, dalam suatu titik, bersikap bukanlah hal yang salah.

Dengan memilih pihak yang 'jelas kalah', NU dan Muhammadiyah sudah menetapkan hati menjadi kekuatan kontrol di luar parlemen. Saya yakini mereka akan menjadi kekuatan potensial, saat kekuatan parlemen nyaris tunduk kepada eksekutif, karena semua partai merapat ke Cikeas untuk minta jatah kursi kabinet. Kasus DPT adalah uji coba pertama kekuatan ekstra parlementer itu. Cetro memang menjadi lembaga pertama yang mengusulkan penggunaan kartu tanda penduduk untuk menyontreng dalam pemilihan umum. Namun, harus diakui, desakan politik yang diawali oleh pertemuan di kantor Muhammadiyah yang pada akhirnya membuat Komisi Pemilihan Umum 'tunduk'. Mahkamah Konstitusi pun mengesahkan penggunaan KTP itu.

Lima tahun ke depan, saya kira, kita semua menanti kembalinya politik santri sebagai kekuatan kritis terhadap pemerintah, sebagaimana yang sudah dipertontonkan di kantor Muhammadiyah. Isra Ramli, seorang pengamat politik mengatakan, ada dua kemungkinan dengan legitimasi raksasa pemerintahan SBY lima tahun ke depan: politik menjadi stabil dan program pembangunan terlaksana sehingga rakyat sejahtera, atau kembalinya otoritarianisme dengan wajah baru.

Kita membutuhkan NU-Muhammadiyah untuk memastikan kemungkinan pertama terjadi, dan kemungkinan yang terakhir bisa digagalkan. Yakinlah, belum saatnya NU-Muhammadiyah terkubur bersama politik santri. [wir]

No comments: