10 July 2009

Republik Harry Potter

Sudahkah Anda menelpon pesaing Anda? Sudahkah Anda ditelpon rival Anda? Dua pertanyaan itu, saya kira, paling populer di kalangan wartawan, terutama televisi, pasca pemilihan presiden. Dalam dunia politik kita yang terbiasa dengan pertempuran yang keras dan memasuki zona zero sum game (yang satu mengeliminasi yang lain), urusan telpon-menelpon memang termasuk baru.

Telpon dalam komunikasi politik menjadi penanda bagi kenegarawanan dan kebesaran hati: menerima kekalahan dan menyambut kemenangan pihak yang lain. Ini mengadaptasi kultur pemilihan presiden di sejumlah negara demokrasi lainnya, seperti Amerika Serikat. Sebuah adaptasi yang memang sangat diperlukan oleh bangsa ini.

Pengamat politik Hermawan Sulistiyo pernah mengatakan, bahasa di nusantara tidak pernah mengenal kosakata 'sportif'. Jika bahasa adalah refleksi mentalitas budaya, maka dengan sendirinya masyarakat kita tak mengenal apa itu arti sportivitas. Akhirnya, yang menang jumawa, yang kalah dongkol dan menyimpan dendam. Maka, dalam konteks ini, telpon menjadi penting, karena ini penanda baru dalam budaya politik kita.

Pertanyaan itu akhirnya terjawab Kamis (9/7/2009). Di hadapan sorotan kamera televisi dan para wartawan yang menyodorkan alat perekam suara, SBY berbicara dengan JK melalui ponsel. Suara JK tak terdengar, dan SBY lebih banyak mendominasi pembicaraan. Namun dari situ terbaca: seorang rival mengucapkan selamat kepada pihak yang menang.

Orang tertawa senang. Politisi dan pengamat beramai-ramai memuji kenegarawanan dua sekawan yang kemudian menjadi seteru itu. Pertarungan pilpres tidak kebablasan ternyata. Jika ini film Hollywood: ini happy ending. Perang telah selesai. Kain layar diturunkan. Tamat.

Abraham Lincoln, seorang Presiden Amerika Serikat, sebagaimana dikutip Barack Obama, mengatakan: 'Kita bukanlah musuh tapi teman. Meskipun mungkin sangat bersemangat, kita tidak boleh kebablasan sehingga merusak persahabatan kita.'

Tapi apakah yang 'kebablasan' itu? Di Amerika Serikat, menurut Evan Thomas dari Newsweek, bagi rakyat yang sudah bosan dengan pertikaian partisan, kata-kata Obama tersebut menerbitkan harapan saat disampaikan di malam pemilihan.

Namun di Indonesia, 'kebablasan' menjadi tafsir karet yang justru melupakan realitas pemilu sebagai proses politik yang karut-marut dan sengkarut di sana-sini. Meminjam dari posmodernis Prancis, Jean Beaudrillard, realitas politik pemilu Indonesia saat ini tak ubahnya simulakra: satu realitas berduplikasi dan menumpuki realitas sebelumnya, sehingga realitas paling mendasar tak lagi tampak di permukaan.

Layar televisi adalah lokomotif penciptaan jagat simulakra politik Indonesia. Begitu hasil hitung cepat menempatkan pasangan SBY-Boediono, media massa, terutama televisi, beramai-ramai memproduksi 'drama': suasana kegembiraan kubu SBY di berbagai penjuru nusantara, suasana di kubu JK dan Mega, SBY memberikan pidato bernada kemenangan, dan dipungkasi dengan tontonan 'ucapan selamat dari JK untuk SBY'.

Layar televisi membuat rakyat seperti terkena amnesia, bahwa sebelum pemungutan suara digelar, kita diributkan oleh masalah ketidakberesan daftar pemilih tetap. Ada setidaknya 11 juta nama bermasalah dalam DPT di 70 kota di Jawa saja. Sebuah angka yang luar biasa, yang seharusnya membuat kita bertanya dan terus menggali: benarkah ini kesilapan belaka atau memang kesengajaan sistematis. Namun pertanyaan ini seperti agaknya cenderung diabaikan, dan televisi lebih suka menayangkan 'drama' perseteruan kubu SBY melawan JK dan Mega, di mana pihak pertama menuding dua seteru lainnya sudah kebablasan dan tak siap kalah.

'Drama' hitung cepat juga membuat orang lupa, bahwa substansi demokrasi bukan pada urusan menang-kalah. Pemilihan presiden memang pada akhirnya harus menyediakan satu pasang pemenang. Namun, itu seharusnya tidak lantas membuat orang alpa, untuk mengamati persoalan-persoalan yang terjadi di TPS-TPS. Tertangkapnya pemilih ganda, pemilih bawah umur, orang-orang yang gagal mencontreng, 'serangan fajar', semuanya justru tenggelam di bawah gegap-gempita drama 'kemenangan dahsyat SBY-Boediono dalam hitung cepat'.

Repotnya, para pengamat politik malah terlarut dalam drama ini, dengan lebih tertarik bicara soal mengapa SBY-Boediono menang telak, gagalnya NU-Muhammadiyah mendukung JK, atau urusan angka menang dan kalah ketimbang, misalnya, mengingatkan bahwa sebagai proses politik, pemilu kali ini menyimpan persoalan serius.

Terus terang, saya khawatir dengan drama-drama yang menciptakan jagat simulakra politik. Dalam sebuah masyarakat yang tidak kritis, apatis terhadap kehidupan politik, dan lebih menyukai citra sebuah tontonan, drama-drama itu berpotensi menciptakan kesadaran palsu.

Noam Chomsky, seorang akademisi 'kiri' Amerika Serikat, mengatakan, apa yang ditayangkan media massa bukan hanya desain sadar, tapi juga konsekuensi dari tuntutan bisnis mereka. Media lebih suka menyajikan apa yang menguntungkan bisnis mereka, dengan meminggirkan gambaran akurat tentang bagaimana realitas sesungguhnya.

Di Indonesia, media massa melakukan apa yang disebut Chomsky sebagai manufacturing consent, melakukan fabrikasi kesadaran, sehingga publik memandang bahwa pemilu sudah berjalan sebagaimana harusnya. Itu lebih menguntungkan, karena menjaga stabilitas pemerintahan yang baru lebih bagus bagi bisnis, daripada menjadikan media sebagai alat untuk membangun kesadaran kritis terus-menerus dalam demokrasi.

Pada akhirnya, kesadaran hasil pabrikasi media melalui drama-drama ini akan memunculkan kategorisasi politik yang tak mendidik. Di satu sisi, setiap upaya untuk menunjukkan penyimpangan dalam pelaksanaan pemilu akan dianggap sebagai kecerewetan dan ketidakbesaran hati menerima kekalahan. Di sisi lain, 'drama telpon politik antara SBY-JK' adalah simbol kesantunan dan keberadaban yang semestinya. Padahal, kategorisasi tersebut menyimpan kontradiksi: penyimpangan proses pemilu tak ada kaitannya dengan kebesaran hati menerima kekalahan. Itu dua hal yang jauh berbeda, namun orang sering mengaitkannya secara serampangan.

Jadi, saya kira, semua pihak memang harus berbesar hati menerima kemenangan SBY-Boediono dan mengucapkan selamat kepadanya. Namun itu tidak kemudian membuat kita kehilangan nalar kritis dan melupakan, bahwa pemilu kali ini memiliki persoalan besar dalam proses penyelenggaraannya. Menjaga nalar kritis menjadi penting sebagai dasar bagi kita, untuk mengantisipasi pemilu lima tahun mendatang agar tak mengulang kesalahan serupa.

Dalam konteks ini, saya sebetulnya lebih suka, jika Jusuf Kalla atau Mega memberikan ucapan selamat kepada SBY-Boediono, setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil penghitungan resminya. SBY juga tak perlu terburu-buru bikin pidato bernada kemenangan di hadapan televisi. 'Lebih cepat lebih baik' tak selamanya tepat jika dilakukan dalam persoalan ini, dan justru ketenangan serta ketepatan momentum akan sangat bagus bagi pendidikan politik rakyat.

Pertama, saling mengucapkan selamat dan berpidato kemenangan setelah penghitungan suara resmi selesai, akan menjaga reputasi KPU sebagai lembaga resmi yang dibentuk dengan undang-undang. Seburuk-buruknya kinerja lembaga ini, kita tak boleh meruntuhkan reputasinya dengan memilih melakukan tindakan politik berdasarkan hasil hitung cepat lembaga survei. Meruntuhkan reputasi KPU sama saja meruntuhkan reputasi pemerintah sendiri, mengingat KPU dan pemerintah bekerjasama dalam satu sistem yang terintegrasi.

Kedua, ini untuk membiasakan siapapun agar bersabar menjalani sebuah proses politik. Ini akan membuat kita semua kembali paham: bahwa berdemokrasi tak ubahnya orang bikin roti, yang tak bisa sekali jadi hanya dengan meneriakkan mantera atau sihir. Indonesia bukan Republik Harry Potter. [wir]

No comments: