20 July 2009

Mat Bomber Kesepian

Tukang ledak bom alias mat bomber selalu bermain dengan kontradiksi. Di satu waktu, ia tak ubahnya seorang petapa yang tenang dan sabar, menanti saat yang tepat untuk memencet tombol itu, dan pada saat bersamaan, mengetahui konsekuensi-konsekuensi dari dentum bomnya. Saya tidak bisa membayangkan, ada seorang yang bisa begitu bersabar tanpa grusa-grusu melakukan tindakan yang membuat malaikatul maut bekerja cepat.

Seorang mat bomber, juga harus bermain-main meredam keinginan untuk melihat hasil karyanya dari dekat. Ia dibicarakan, ia terkenal. Tapi ia tak bisa mengklaim hak paten untuk 'adikarya maut' itu. Ia harus meredam keinginan untuk melihat wajah korban. Wajah korban yang berdarah-darah mungkin akan mengakibatkan 'chaos' dalam kejiwaannya, dan membuat ketenangan dan kesabarannya menjadi kacau. Sebagian mat bomber malah memilih mati bersama ledakan bom itu.

Mat bomber sebenarnya menciptakan apa yang disebut Marshall McLuhan sebagai 'medium is a message'. Bom adalah medium penyampai pesan: bahwa ada yang tidak beres dalam hidup kita. Ada ketidaksetimbangan dalam laku sehari-hari. Masalahnya, apa yang tak beres itu? Apa yang tak setimbang tersebut? Mengapa ada orang yang rela memilih 'jalan pedang' untuk membereskan apa yang dipandangnya tak beres?

Kita tidak pernah benar-benar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Selama ini, dalam setiap peristiwa teror, kita lebih sibuk mencari dan mengurai sang penyampai pesan: mat bomber. Kita tak pernah berupaya mengurai pesan itu sendiri. Kita lebih menyukai pandangan: tangkap saja semua pembawa pesan, habis perkara.

Andaikata pun kita berusaha mengungkap pesan di balik sebuah ledakan bom, kita hanya berpusing-pusing pada upaya menerka-terka berdasar apa yang disebut informasi intelijen: ada upaya pendudukan kantor Komisi Pemilihan Umum, foto-foto orang-orang bertopeng mengarahkan bedil ke wajah presiden (yang saya tidak paham, kenapa orang-orang itu tida diciduk saja), upaya menggagalkan pelantikan presiden terpilih.

Berdentumlah apa yang disebut simulakra: kita tidak bisa membedakan apakah ketidaktenteraman pasca peledakan bom disebabkan oleh para mat bomber itu atau justru karena spekulasi-spekulasi berdasar data intelijen. Jangan-jangan spekulasi ini memunculkan 'chaos' lebih dahsyat daripada sebuah ledakan bom: minimal orang tak berani lagi mempersoalkan kecurangan-kecurangan pemilu.

Pada sebuah hari di tahun 1995, sebuah ledakan bom terjadi di sebuah gedung di Oklahoma. Pengamat dan media massa berspekulasi: ini hasil kerjaan teroris Arab. Ternyata, mat bomber adalah seorang kulit putih biasa yang tidak ada kaitannya dengan Timur Tengah.

Tak pelak, mat bomber adalah seorang yang kesepian. Ia hanya melihat kematian sebagai jalan sunyi, dan bukan kehidupan. Ia tidak menyukai ramai, dan oleh karenanya ia harus menghadapi segala kemungkinan spekulasi dan penafsiran. Ia hanya bisa melemparkan pesan, tanpa berwenang memberi penjelasan atas pesan itu.

Ia tidak menyukai kebebasan, karena sebagaimana kata filsuf Prancis Jean-Paul Sartre, kebebasan adalah beban. Kebebasan bukan anugerah, karena manusia dihukum untuk bebas. Kita tidak perlu mengeluh atau mengutuk, karena kita sendiri pencipta konsekuensi dari tindakan-tindakan kita. [wir]

No comments: