24 July 2009

Bukan Soal Menang-Kalah

Komisi Pemilihan Umum akhirnya mengumumkan hasil rekapitulasi manual pemilihan presiden. Hasilnya, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono memenangkan pilpres dengan mendulang sekitar 73 juta suara pemilih, jauh meninggalkan Megawati-Prabowo dan Muhammad Jusuf kalla-Wiranto.

Kita bersyukur, sidang pleno penghitungan suara manual tingkat nasional tidak mengalami hambatan. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai adanya upaya pendudukan kantor KPU dan perlawanan terhadap hasil pemilihan presiden melalui jalan 'revolusi' tak terbukti. Dua pasangan capres pesaing SBY ternyata tidak menempuh cara tak terhormat untuk merusak kemenangan SBY.

Namun, harus diakui, ada dinamika dalam proses rekapitulasi tingkat nasional itu. Kubu Mega dan JK sama-sama mempersoalkan daftar pemilih tetap (DPT), salah satunya di Jawa Tengah. Tim JK-Wiranto menemukan penggelembungan jumlah pemilih di lapangan hingga sekitar 7 juta orang, jika dibandingkan dokumen elektronik atau softcopy DPT yang diberikan KPU. Mereka juga menengarai adanya pelanggaran pemilu yang masif.

Sejak awal, pemilu 2009 memang menuai kontroversi. Persoalan daftar pemilih tetap sudah menjadi mambang (hantu) yang bikin senewen. DPT menjadi penanda betapa kusutnya urusan data penduduk di negeri ini. Belasan juta nama dalam DPT pilpres ternyata bermasalah. Sementara, ada banyak warga lainnya yang tidak terdata sebagai pemilih.

Bukan sulap bukan sihir, bukan pula data intelijen atau rumor, jika DPT itu bersumber dari data kependudukan pemerintah. Jadi, tak ada yang salah jika kemudian muncul anggapan bahwa pemerintah secara tak langsung ikut bertanggungjawab.

Puncak dari kontroversi DPT, tentu saja, putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan kartu tanda penduduk sebagai syarat untuk menggunakan hak pilih, bagi mereka yang tak masuk dalam DPT. Sayang, keputusan ini harus 'dikalahkan' waktu.

Mega dan JK menunjukkan kebesaran jiwa sebagai kontestan yang kalah. Mereka tak mempersoalkan kemenangan SBY, yang memang mutlak. Namun, persoalan-persoalan selama pemilu tidak bisa dibiarkan terus berlanjut, memang. Retorika 'pemilu berjalan aman, tertib, lancar, dan damai' tidak dengan sendirinya menggugurkan realitas 'pemilu mengalami sederet persoalan akut'. Hasil polling sementara beritajatim.com menunjukkan, bahwa 56,52 persen pembaca atau pengakses situs ini menganggap pemilu 2009 lebih buruk daripada pemilu 2004.

Maka, mempersoalkan kesemrawutan pemilu ke Mahkamah Konstitusi adalah pilihan yang benar. Jangan sampai pembiaran dan ketidakpedulian membuat pemilu 2009 menjadi standar pemilu berkualitas pada pemilu lima tahun mendatang. Jika pemilu 2009 adalah sebuah pesta, maka ini pesta yang tak dipersiapkan dengan baik.

Gugatan secara hukum bukanlah pertanda Mega dan JK takut kalah atau tidak berbesar hati menghadapi kekalahan. Memilih jalur hukum justru menunjukkan sifat kenegarawanan kedua tokoh ini: mereka masih mempercayai hukum di Indonesia. Ini sebenarnya secara tak langsung juga 'suntikan' positif bagi aparat penegak hukum di Indonesia, bahwa mereka masih bisa dipercaya. Khusus untuk Mega, kredit positif layak disematkan kepadanya dalam urusan sikap kenegarawanan, karena ia mau menghadiri sendiri panggilan Badan Pengawas Pemilu terkait dugaan pelanggaran kampanye. Ini seharusnya ditiru oleh kandidat lain yang dipanggil Bawaslu.

Kita sendiri percaya, MK akan menyidangkan gugatan-gugatan pemilu dengan sebaik-baiknya. Kita yakin keputusan MK akan didasarkan pada pemenuhan rasa keadilan masyarakat.

Pada akhirnya, pemilu bukanlah sebuah pertandingan sepakbola. Ia tak pernah berhenti pada urusan menang atau kalah. [wir]

No comments: