04 June 2009

Surat untuk Prita

Ibu Prita Mulyasari, selamat pagi. Apa kabar Ibu hari ini? Bagaimana perasaan Ibu, saat harus melangkah memasuki ruangan itu: sebuah ruang dengan tiga hakim yang kita harapkan adil dan bijak-bestari di balik meja besar.

Ibu Prita yang baik, saya tidak tahu apa yang bakal terjadi di ruang sidang Pengadilan Negeri Tangerang, Kamis (4/6/2009) pagi ini. Saya membayangkan, Ibu mencium kedua anak Ibu dengan penuh sayang. Mungkin juga haru.

Namun, Ibu berjalan masuk ke ruang itu dengan langkah tegap dan kepala mendongak bangga. Karena Ibu tahu, bahwa Ibu tengah menyelamatkan hak semua orang. Hak yang diberi Tuhan sejak lahir: hak berbicara.

Saya sudah membaca surat elektronik Ibu yang mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit Omni International. Dan, saya pun bertanya-tanya: mengapa di negeri ini sebuah keluhan tentang pelayanan publik menjadi dosa yang berganjar penjara.

Hampir setiap waktu, kita semua mengeluh tentang air yang mampet, listrik yang padam tak tentu waktu, perawat rumah sakit yang galak, dokter yang tak beretika. Keluhan yang seharusnya dipahami bukan sebagai fitnah atau itikad buruk, namun pemaknaan tentang begitu pentingnya sebuah lembaga pelayanan publik yang bermartabat dan menghargai manusia.

Keluhan menunjukkan bahwa tempat-tempat pelayanan publik itu masih bekerja, seberapapun buruknya. Dan, justru itu yang penting: tempat-tempat itu masih bekerja karena masyarakat masih mempercayainya. Sebuah keluhan adalah bentuk lain sebuah optimisme, sebuah keyakinan, bahwa yang buruk masih bisa diperbaki.

Ibu Prita yang baik, izinkanlah saya bercerita tentang Socrates. Ia seorang filsuf di Athena, Yunani, yang lahir tahun 469 sebelum masehi. Ia seperti lalat yang berputar-putar dan membuat orang gelisah dan kembali mempertanyakan apa yang selama ini dianggap benar.

Penguasa mulanya membiarkan Socrates, hingga pada suatu titik: ia tak bisa lagi ditoleransi. Seorang penyair, politisi, dan orator bersatu untuk mendakwanya: "Socrates telah merusak generasi muda, karena tidak mengakui dewa-dewa kota."

Pengadilan mengetok palu. Socrates bersalah. Ia bisa saja mendapat keringanan hukuman, jika mau bertobat dan mengakui kesalahan itu. Namun, Socrates menolak. Di pengujung hari, kita semua tahu, Socrates akhirnya mati setelah diperintahkan menenggak secawan racun cemara.

Ibu Prita yang baik, Ibu tentu bukan Socrates. Tapi saya percaya: Ibu, Socrates, dan kita semua sama-sama percaya, bahwa asumsi-asumsi yang mendasari sebuah kebenaran masih bisa dipertanyakan. Socrates mempertanyakan kebenaran tentang para dewa, sama seperti halnya Ibu mempertanyakan 'apa yang diyakini Rumah Sakit Omni Intenational sebagai sebuah prosedur yang benar'.

Selama bertahun-tahun, dunia kesehatan dan institusi rumah sakit tak ubahnya dewa dalam kehidupan masyarakat modern. Kita datangi mereka, menyerahkan harapan dan doa tentang sebuah kesembuhan. Sebagian besar dari kita akhirnya, syukurlah, tersembuhkan. Namun, sebagian dari kita justru terbunuh harapan di bangsa-bangsal dan kamar-kamar rumah sakit.

Tidak, kita tidak sedang memperdebatkan takdir hidup dan mati yang menjadi milik Tuhan. Kita hanya mempertanyakan, mengapa kita sering mendengar rumah sakit yang membunuh harapan pasien-pasien ini sebelum ajal datang?

Pelayanan yang buruk, dokter yang tak mampu berkomunikasi dengan baik, kesalahan-kesalahan tindakan medis, perlakuan terhadap pasien yang disesuaikan dengan tebal-tipisnya kocek: semuanya mematikan harapan, justru sebelum Tuhan menentukan apakah mereka bakal tetap hidup atau mati.

Perlakuan-perlakuan yang mematikan harapan ini tak pernah diadili secara benar. Di negeri ini, keluhan terhadap mereka yang membunuh harapan itulah yang diadili. Seakan-akan keluhan akan merusak kredibilitas institusi dan dunia kesehatan.

Ibu Prita yang baik, saya tidak tahu apa yang bakal terjadi di ruang sidang pengadilan Kamis pagi ini dan nanti. Saya, seperti halnya orang-orang lain, hanya bisa berdoa Ibu akan melalui hari-hari panjang itu dengan tenang. Berharap pedang keadilan tak mengayun ke arah yang salah.

Ibu mungkin menangis. Sedikit. Tapi saya yakin, Ibu akan berjalan terus dengan kepala tegak, dengan harapan di hati. Karena yakinlah, Ibu tak akan pernah berjalan sendiri. [wir]

No comments: