05 June 2009

JK: BHMN Harus Jamin Biaya Pendidikan Tinggi Lebih Murah

Tingginya ongkos pendidikan tinggi negeri (PTN) sebenarnya tidak akan memunculkan diskriminasi terhadap masyarakat miskin, selama manajerial perguruan tinggi bagus. Oleh sebab itu, pengelola PTN harus mulai mengubah kultur dari birokrasi yang kental ke arah kewirausahaan (enterpreneurship).

Demikian intisari dari pendapat dua pengamat dan praktisi pendidikan nasional, Prof Dr. Arif Rahman dan Prof. Eko Budiharjo MSc, Jumat (5/6/2009). Undang-Undang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bukanlah penghambat, namun harus diaplikasikan dengan pandangan positif.

"Perguruan tinggi harus bisa dijangkau dengan seleksi akademis. Mereka yang memenuhi persyaratan harus bisa masuk, tanpa diskriminasi," kata Arif Rahman.

UU BHMN yang sempat memunculkan pro-kontra karena dianggap membuat biaya pendidikan makin mahal. Saat ini uang gedung di PTN saja sudah menyaingi perguruan tinggi swasta, termasuk untuk perguruan tinggi favorit. Di salah satu PTN, untuk masuk Fakultas Kedokteran, orang tua siswa harus menyediakan dana segar Rp 150 juta.

Menurut Prof. Budihardjo, UU BHMN memang mempunyai cacat bawaan yakni multitafsir. "Tergantung penyelenggara pendidikan, apakah rektor-rektor di kampus mengambil tafsir dengan pikiran positif," katanya.

Prof Budihardjo menyarankan, agar rektor-rektor melihat aturan yang ada dengan itikad baik. "Niatnya adalah education for all, pendidikan untuk semua. Implementasinya dilandasi niat baik, segenap lapisan masyarakat bisa menikmati perguruan tinggi," tambahnya.

Wakil Presiden yang juga Calon Presiden nomor urut 3, Muhammad Jusuf Kalla (JK), menyatakan, alokasi anggaran pendidikan dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun 2004 anggaran pendidikan Rp 16 triliun, tahun 2005 sebesar Rp 23 triliun. Tahun 2007 sebesar Rp 44 triliun, dan tahun 2008 sebesar 49 triliun. Alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar itu bukan termasuk gaji guru yang tak dimasukkan dalam anggaran pendidikan secara langsung.

Namun, anggaran sebesar itu tidak cukup jika diperuntukkan subsidi semua tingkat pendidikan sehingga biaya pendidikan menjadi murah. Maka PTN mulai harus melakukan sistem subsidi silang untuk menghidupi diri mereka sendiri. JK mengakui, dia tak menutup mata pada kritik atas makin mahalnya biaya pendidikan di PTN. Ada yang khawatir, program independensi PTN ini akan membuat pendidikan tinggi didominasi orang kaya.

"Kekhawatiran tersebut, sejauh yang saya tangkap, dipicu kecurigaan bahwa penetapan PTN menjadi badan hukum milik negara (BHMN) akan membuat para pengelolanya menaikkan uang kuliah sesuka hati," kata JK.

JK menjelaskan, dengan status BHMN, PTN akan beroperasi mirip perusahaan komersial. Dalam arti, para pengelolanya diberi keleluasaan untuk mencari sebagian dana yang dibutuhkan untuk membiayai kegiatan akademik dan non-akademik.

"Tapi, saya menolak bila BHMN akan membuat biaya pendidikan di PTN menjadi mahal. Sebab, PTN itu tetap berkewajiban menerima dan mendidik mahasiswa dari kalangan keluarga tak mampu, termasuk melalui sistem subsidi. Saya percaya BHMN bisa membuat biaya pendidikan lebih murah. Sebab, sistem ini memaksa PTN bekerja seefisien dan seefektif mungkin, dengan prinsip dasar biaya sekecil mungkin dengan hasil setinggi mungkin," tegas JK.

Menurut JK, dengan status BHMN, kampus-kampus akan bersaing sesamanya untuk memberikan layakan pendidikan yang paling berkualitas dan biaya yang murah. Ini berarti sebuah reformasi pendidikan yang menyeluruh di perguruan tinggi, yang harus dilakukan agar semua pihak--pengelola dan mahasiswa-- diuntungkan.

Arif Rahman membenarkan, BHMN dimungkinkan pelaksanaannya jika rektor dan staf-stafnya adalah manajer yang tangguh. "UI, ITB, dan UGM jauh lebih baik dan bisa membantu mahasiswa yang miskin saat ini," ungkapnya.

Namun, tentu saja membentuk mentalitas sebagai manajer ini tak mudah. Menurut JK, telah berpuluh-puluh tahun PTN hidup dengan mengandalkan subsidi pemerintah. Akibatnya, mereka tak pernah dirisaukan masalah persaingan dan urusan bisnis. Di bawah rezim BHMN, para pengelola PTN harus memperhatikan aspek persaingan dan bisnis agar bisa bertahan hidup.

Arif Rahman menyarankan, di setiap PTN ada pembinaan manajemen yang baik. Rektor-rektor perlu ditatar mengenai pengelolaan manajemen perguruan tinggi. Ia menampik untuk menyatakan, apakah secara umum manajemen PTN di Indonesia
sudah baik. "Itu butuh penelitian. Saya pikir, yang bisa mengukur adalah Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) Depdiknas," katanya.

Sementara itu, Prof. Budihardjo menilai, sudah saatnya pengelola PTN mengubah kultur yang birokratis menjadi enterpreneur. "Perguruan tinggi negeri harus membuka peluang-peluang enterpreneurship. Rektor harus memberi contoh. Mahasiswa sendiri saya pikir lebih senang diajar oleh dosen yang punya pengalaman sebagai praktisi daripada hanya teori," kata mantan rektor Undip Semarang ini.

Arif dan Budihardjo sama-sama sepakat perubahan ini tak boleh mengubah kultur pendidikan yang tidak diskriminatif. Pendidikan tinggi negeri harus bisa diakses oleh siapapun, termasuk yang miskin.

"Mereka yang miskin harus memiliki kesempatan sama dengan orang kaya dalam dunia pendidikan. Tak boleh ada orang yang putus sekolah karena hanya tak punya uang. Saya akan berjuang terus agar anggaran pendidikan nasional benar-benar diarahkan untuk membuka peluang seluas-luasnya bagi kaum miskin agar memperoleh pendidikan yang layak," kata JK.

Arif Rahman mengatakan, di perguruan tinggi harus ada beasiswa, subsidi, pencicilan, dan orang tua asuh untuk mereka yang miskin. Menurut Prof Eko Budihardjo, biaya pendidikan haruslah berkeadilan. "Mereka yang kaya raya, seperti direktur bank, saya rasa tak akan keberatan mengeluarkan banyak uang untuk anaknya kuliah di PTN daripada mereka kuliahkan anak ke luar negeri. Uang ini yang nantinya akan menyubsidi mereka yang miskin," kata Prof Eko Budihardjo. (wir/bj0)

No comments: