17 June 2009

Sukiman Mati, Senin Pagi

Sukiman mati di Senin pagi, dan saya menyadari: satu orang baik telah pergi. Sukiman, dia polisi biasa. Pangkat terakhirnya komisaris, dan menjabat kepala bagian administrasi di kepolisian Kota Blitar. Sebuah serangan terhadap jantungnya yang uzur, ia berusia 54 tahun, mengakhiri hidupnya pagi itu.

Sukiman mati dalam tugas. Namun, ia tidak tengah berhadapan dengan segerombolan bandit. Ia kelelahan, setelah menghalau sekelompok siswa sekolah menengah atas yang sedang berkonvoi merayakan kelulusan. Episode hidup Sukiman berakhir. Ironi dunia pendidikan kita berlanjut.

Saya tidak tahu, apa yang hendak dicapai oleh sistem pendidikan kita sebenarnya. Di Jawa Timur, sekitar 15 ribu siswa SMA tidak lulus dalam ujian nasional. Standar nilai kelulusan dinaikkan, dan mendadak ada satu sekolah yang harus gulung tikar karena tak mampu meluluskan siswanya sama sekali.

Pengamat berteriak: Departemen Pendidikan Nasional telah gagal. Pemerintah menampik, menyalahkan guru kurang profesional dan murid kurang siap, sembari membesarkan hati: kita tidak terlalu buruk. Orang tua siswa pusing tujuh keliling. Mungkin juga ada yang menangis dan merasa kehilangan harapan.

Tapi tidak ada yang menangisi Sukiman, polisi yang baik hati dan mati di Senin pagi. Kematian Sukiman, kematian nilai-nilai pendidikan, kaburnya garis demarkasi di sekolah tentang nilai-nilai tentang apa yang boleh dan tidak, tentang apa yang lazim dan tak normal.

Saya boleh jadi terlalu berlebihan. Tapi saya masih belum bisa memahami, bagaimana setiap tahun, sebuah pesta kelulusan dengan model yang sama selalu terjadi: sebuah konvoi sepeda motor menguasai jalanan, dengan derum keras dan asap knalpot tebal, tak ubahnya gangster-gangster dalam film Amerika.

Kepolisian harus selalu mengerahkan petugas lebih banyak untuk berjaga di jalanan: seakan-akan mereka tengah menghadapi serbuan bandit dan musuh masyarakat.

Para pelajar ini, saya percaya, jelas mereka bukan berandalan. Namun di jalanan pula korban-korban bertumbangan karena kehadiran mereka. Saya tidak tahu angka persis kecelakaan di jalanan di Jawa Timur selama konvoi berlangsung. Namun di Jember, seorang ibu hamil nyaris kehilangan bayinya, setelah becak yang ditumpanginya ditabrak oleh seorang pelajar yang ngebut karena tertinggal konvoi kawan-kawannya.

Setiap kali melihat sebuah pesta kelulusan, saya selalu seperti melihat para narapidana yang meluapkan keriangan setelah bertahun-tahun dalam bui. Adakah sekolah kita adalah penjara? Entahlah. Tapi jika nilai-nilai elementer pendidikan --kejujuran, penghormatan, keberanian, dan harga diri-- tak lagi dipahami, sekolah memang tak ubahnya seperti penjara.

Di penjara, hanya ada nilai kepatuhan yang diajarkan dalam sebuah praktik yang disebut filsuf Michel Foucault sebagai panoptikon. Kepatuhan diajarkan melalui pendisiplinan berbasis ketakutan. Ada empat menara di empat penjuru dengan lampu menyala setiap malam, menyoroti sel-sel para napi. Para petugas tak selamanya memicingkan mata selama sehari penuh mengamati laku mereka. Tapi para napi ini akan selalu merasa terawasi, terkontrol, dan pada akhirnya tertaklukkan.

Di sekolah, nilai-nilai kepatuhan dan pendisplinan diajarkan melalui panoptikon berupa angka-angka di rapor. Angka-angka di atas kertas ujian. Kita semua memuja angka-angka, karena kita meyakini, angka-angka itulah menjadi acuan keberhasilan sebuah pendidikan. Maka, apa yang normal dan abnormal didefinisikan dan didisplinkan melalui angka-angka: 'Hei, Bujang, bodoh betul kamu punya nilai di bawah lima; hei, Upik, alangkah pandainya kau dengan nilai di atas delapan'.

Pada akhirnya, nilai-nilai direduksi menjadi angka-angka.

Saya tidak menolak sebuah standar. Saya tidak menolak angka-angka. Namun saya menolak angka-angka itu menjadi tuhan (dengan t kecil), menjadi berhala baru yang membuat kita seperti manusia-manusia dalam penjara. Pemujaan terhadap angka-angka membuat kita gelap mata, melakukan apa saja untuk memenuhi apa yang disebut normal dan menampik yang tak normal. Kita bersedia melakukan apa saja, termasuk mengajarkan para murid untuk bermain mata, melanggar aturan dan nilai kejujuran.

Saya menolak menuhankan angka-angka, karena tak selamanya sebuah talenta bisa diukur dengan angka. Sistem pendidikan kita menampik apa yang berbeda, yang unik, dan yang ganjil: anak-anak dengan bakat khusus yang tak terkait dengan angka.

Angka-angka membuat kita lupa, bahwa alam juga memiliki logikanya sendiri untuk melahirkan anak-anak luar biasa yang tak selalu bisa didefinisikan dengan merah-biru angka di rapor. Kita lupa bahwa kecerdasan dan kepandaian adalah dua hal yang berbeda, di mana yang pertama tak akan pernah bisa diukur secara kuantitatif. Kecerdasan ditumbuhkan oleh hidup, oleh lingkungan, dan pengalaman. Entahlah, kenapa kita hanya bisa menghargai apa yang pandai, bukan yang cerdas.

Saya curiga, kebiasaan kita mendewakan angka adalah karena cara pandang kita yang terlampau linier tentang hidup anak-anak kita. Guru, orang tua, pemerintah, tak terlampau imajinatif memandang bagaimana hidup berjalan.

Kita membayangkan anak-anak kita melewati fase-fase hidupnya dalam rangking-rangking yang beraturan: luluslah kau sekolah dengan angka tinggi agar kau bisa kuliah; kuliahlah kau hingga dapat angka kumulatif luar biasa agar kau bisa kerja enak.

Kita tak pernah membayangkan hidup tak selamanya lurus, tapi acak. Saat hidup berkelok barulah kita sadar: bukan angka yang kita butuhkan, tapi nilai-nilai. Nilai-nilai tentang kejujuran, keberanian, harga diri, perjuangan, kemandirian.

Dan nilai-nilai itu, apa boleh buat, mati bersama Sukiman, seorang polisi yang baik hati, di Senin pagi. [wir]

No comments: