17 June 2009

Hikayat Bank Gakin (1)
Bank Keluarga Miskin Bermodal Saling Percaya

Awalnya adalah sebuah ketidakberdayaan. Sunarti: dia ibu rumah tangga biasa di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Selain mengajar di sebuah sekolah dasar, ia berbinis kecil-kecilan: membuat kue. Awal Januari 2006, banjir bandang mengubah hidupnya.

Banjir bandang yang turun dari lereng gunung Argopuro tak hanya menghabisi nyawa ratusan warga. "Perekonomian warga Dusun Krajan Desa Nogosari Kecamatan Rambipuji mati semua," kata Sunarti.

Mengawali bisnis kembali setelah bencana tak gampang. Sunarti tak berani meminjam modal dari bank formal. Penyebabnya klise: Ia tak punya apa-apa untuk dijaminkan. Ia mencoba patungan dengan sang adik. Uang yang terkumpul tak banyak.

Lalu datanglah, beberapa orang yang mengaku dari Dinas Koperasi dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) Jember yang melakukan survei. Sunarti, seperti halnya warga desa lainnya, tak terlampau antusias. Bencana mengundang banyak orang datang ke sana untuk mendata. Ada harapan, ada janji tentang bantuan. Namun sedikit yang benar-benar jadi kenyataan. "Jadi, waktu orang Dinas Koperasi turun, warga juga tidak percaya," katanya.

Sunarti salah kira. Agustus 2006, bersama sejumlah warga lainnya, mereka membentuk lembaga keuangan mikro masyarakat (LKMM). Dari LKMM inilah, para warga korban banjir kembali menggerakkan roda bisnisnya. Sunarti dan kawan-kawan menyebut LKM itu: Bank Gakin.

Bank Gakin pertama didirikan Oktober 2005. Nama 'Gakin' sebenarnya akronim dari Keluarga Indonesia. Tapi dalam perkembangannya, masyarakat miskin sendiri yang menyebut itu Bank Gakin, Bank Keluarga Miskin.

Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Jember, Mirfano, mengaku terilhami Grameen Bank bikinan Muhammad Yunus, ekonom Bangladesh. "Saya merasa Grameen Bank layak diaplikasikan di sini. Selama ini ada ketidakadilan ekonomi. Ada bank untuk orang mampu, tapi tidak ada bank untuk orang miskin," katanya.

Bank tidak memandang warga miskin sebagai nasabah potensial, dalam hal menabung dan kredit. Warga miskin punya terlalu sedikit uang. Untuk meminjam uang untuk usaha, warga miskin tak punya agunan. Sementara sistem perbankan menerapkan kehati-hatian dalam mengucurkan kredit.

Ketidakmauan bank mendekati warga miskin ini membuat warga miskin berpaling pada rentenir. Alhasil, hidup mereka terjerat hutang berbunga tinggi. "Bunga rente 30 persen seminggu selama 10 minggu, sehingga mereka tidak bisa mengembangkan usaha," kata Mirfano.

Sebagai awal, Dinas Koperasi mendirikan dua unit Bank Gakin di daerah miskin di kecamatan Patrang. Mulanya, Dinkop membuat survey di antara 200 warga di daerah tersebut tentang tokoh-tokoh masyarakat yang dipercaya di sana. Tokoh masyarakat inilah yang nantinya ditunjuk sebagai pengelola Bank Gakin.

"Awalnya Dinkop mencari 50 orang untuk angkatan pertama. Yang dicari memang masyarakat yang bisa dipercaya," kata Tutik Aspita, yang dipercaya mengurus Bank Gakin Wonosari di Kelurahan Mangli, Kecamatan Kaliwates.

Para orang pilihan ini lantas dilatih seputar manajemen keuangan dan administrasi. Ada yang bertugas sebagai koordinator, juru buku, juru tagih, kasir, analis kredit, dan pengawas. Pelatihan berlangsung selama dua bulan, hingga mereka bisa membuat neraca.

Mereka mengajak warga miskin di daerah sekitar untuk berhimpun dalam kelompok-kelompok. Per kelompok terdiri dari lima orang perempuan. Setelah beres, institusi LKMM 'Bank Gakin' dinotariskan dan diberi modal hibah Rp 25 juta oleh Pemerintah Kabupaten Jember pada tahun 2005. Dari modal ini, Bank Gakin memberikan pinjaman kepada para keluarga miskin yang menjadi anggota.

Nominal pinjaman beragam, mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 1 juta, tanpa agunan. Rata-rata digunakan untuk pengembangan usaha kecil seperti membuka usaha penjualan sayur-mayur dan bakso.

Pengembalian pinjaman dilakukan setiap pekan selama 10 pekan dengan bunga setengah persen dengan sistem tanggung renteng. Jika satu anggota tidak mengembalikan pinjaman, maka empat anggota lainnya menanggung beban pengembalian itu. Mereka juga baru boleh meminjam duit lagi, jika pinjaman sebelumnya telah dikembalikan.

"Modalnya memang kepercayaan. Sampai tahun 2009, baru dua orang yang tidak mengembalikan pinjaman. Itu pun karena mereka meninggal dunia," sahut Sunarti.

Sistem seperti ini cukup ampuh untuk menekan kredit macet. "Dari perputaran uang Rp 915 juta di Bank Gakin Wonosari, yang macet 0,22 persen," kata Tutik. Secara umum, kredit macet atau non performing loan di seluruh Bank Gakin masih di bawah lima persen.

Minimnya kredit macet ini dikarenakan sistem yang diterapkan Bank Gakin mengandalkan sanksi sosial. Seorang warga yang menjadi anggota kelompok bisa dikucilkan, jika nakal. Mereka bahkan bisa dikeluarkan dari kelompok. "Padahal, Bank Gakin ini sudah menjadi kebutuhan, daripada mereka pinjam ke 'bank titil' (rentenir)," kata Tutik.

Mayoritas keanggotaan perempuan, sekitar 99 persen, juga menjadi salah satu faktor minimnya kredit macet. Mereka menyukai pinjaman dengan pengembalian jangka pendek. Dick E.Bosselaar, dari PUM (Programma Uitzending Manager), sebuah lembaga swadaya masyarakat Plat merah di Belanda, punya kesan, para perempuan takut tidak bisa mengembalikan utang, bila dalam utang jangka panjang.

Dengan nada bercanda, Mirfano mengatakan, perempuan bisa lebih dipercaya dalam mengelola keuangan daripada laki-laki. Lagipula, perempuan menjadi pilihan karena memiliki nilai strategis. Keluarga miskin jika ingin berdaya, maka suami dan istri harus sama-sama bekerja. "Kemiskinan terjadi karena perempuan tak berdaya," katanya.

Berdasarkan hasil penelitian Bosselaar, 82 persen wanita peserta Bank Gakin bisa membaca tulis. Sementara itu 35 persen di antaranya sudah menikah selama lebih dari 10 tahun.

"Sekitar 60 persen dari mereka termotivasi oleh kredit, yang mereka anggap paling penting untuk menambah pendapatan. Selama ini lebih dari 50 persen sumber pendapatan mereka bergantung pada pasangan masing-masing," demikian hasil survei Bosselaar yang dilakukan terhadap 20 Bank Gakin. [wir]

No comments: