21 June 2009

Sartre

Jika Jean Paul Sartre masih hidup, hari ini, Minggu, 21 Juni 2009, ia akan berusia 104 tahun. Andai berkesempatan mewawancarainya, saya akan bertanya: seberapa jauhkah sebaiknya kaum intelektual yang terlibat dalam dunia politik dan kekuasaan, jujur dan mengakui preferensi ideologisnya.

Seumur hidupnya, Sartre didera berbagai ketidakberuntungan: ayahnya mati saat ia berusia satu tahun; wajahnya berjerawat, matanya juling, dan tubuhnya pendek untuk ukuran orang Prancis (160 centimeter!). Hasil ujiannya untuk masuk jurusan filsafat di Universitas Sorbonne jeblok. Keinginannya masuk Sorbonne tertunda, setelah ia menduduki peringkat terakhir di kelas agregation.

Namun, sepanjang hidupnya pula, Sartre menunjukkan, bahwa seorang intelektual memilih dalam dunia politik dengan akal sehat dan keinginan untuk berkorban, bukan mencari keuntungan. Sikap dan ideologi bukanlah harga mati dan konstan, karena ini menyangkut objektivikasi relasi diri dengan orang lain.

Sartre memilih membela warga Aljazair daripada negaranya sendiri, saat Prancis merangsek masuk ke negeri itu. Ribuan veteran perang menyerukan agar dia dibunuh, dan tak butuh waktu lama bagi Sartre agar apartemennya diserang dengan bom.

Tahun 1964, Sartre menolak hadiah Nobel untuk bidang sastra. Ia dituduh sebagai aktor intelektual pemberontakan mahasiswa di Paris tahun 1968. Ia mengutuk pemerintah sayap kanan dan juga Partai Komunis Prancis. Ia menolak dasi dan jas seumur hidupnya, sebagai tanda dukungan untuk gerakan politik radikal.

Pada satu titik, Sartre menjadi pemuja Marxisme yang taat. Ia mengawinkan aliran eksistensialisme yang membuat namanya melambung dengan Marxisme, dalam buku Critique of Dialectical Reason. Ia terpesona dengan Stalin, dan membela Revolusi Kuba.

Namun, pada titik yang lain, Sartre dengan keras menyatakan, "Aku bukan lagi Marxis." Ia kecewa, melihat Soviet dan mesin komunis yang diidamkannya gagal membawa perubahan sebagaimana dijanjikan. Menurutnya, mesin itu sudah tak dapat diperbaiki dan sebaiknya dihancurkan saja.

Keberanian Sartre melakukan pergeseran sikap dalam politik adalah bagian dari keyakinan filsafat eksistensialisme: adanya kesadaran reflektif dan non reflektif. Kesadaran reflektif menempatkan diri kita ('aku') sebagai subyek kesadaran. Namun, 'aku' tidaklah tetap, dan terus-menerus dibentuk serta diciptakan kembali melalui pilihan-pilihan kita sendiri. Ditentukan oleh kehadiran orang lain.

Tak selamanya kita bisa menjadikan orang lain sebagai objek dalam kesadaran kita. Kita tak akan bisa sepenuhnya menjadikan orang lain sebagai objek, karena ada kalanya, orang lain justru membuat kita merasa menjadi objek bukan subjek. Inilah dilema yang dihadapi para cendekiawan Indonesia yang mengimani liberalisme ekonomi.

Dalam kontestasi pemilihan presiden Indonesia saat ini, kaum intelektual dan cerdik-cendekia kita itu menjatuhkan pilihan-pilihan politiknya dalam cakrawala kesadaran reflektif. Mereka yang berpikiran liberal dan membela ekonomi pasar menyatakan keberpihakannya dengan jelas jauh-jauh hari. Namun, begitu kontestasi pemilihan presiden tiba dan muncul benturan wacana antara neoliberalisme dan ekonomi kerakyatan, mendadak tak satu pun intelektual liberal bersuara membela ideologi mereka.

Dalam bahasa Sartre, para penganut liberalisme pasar ini agaknya berada situasi "berada-bagi-orang-lain": mereka dipaksa memberi penilaian kepada diri kita sendiri sebagai objek. Mereka tak bisa lagi menjadi subjek. Akhirnya, berlakulah apa yang dikatakan Sartre dalam situasi ini: "Neraka adalah orang lain."

Para penganut liberalisme pasar ini, dalam perspektif eksistensialisme Sartre, tak ubahnya orang yang tertangkap basah mengoceh sendiri: agar tak malu, orang yang tertangkap basah ini lantas berpura-pura bersenandung dan pergi dengan bersikap sewajar mungkin. Lihat saja, bagaimana tiba-tiba meluncur wacana tentang konsep 'Ekonomi Jalan tengah' dan 'Kapitalisme Rambut Hitam' yang tak jelas arahnya.

Jika mengikuti apa yang dikatakan Sartre, para cendekiawan neoliberal yang terjun dalam kontestasi politik presiden memiliki keyakinan yang buruk. Sartre mendefinsikan keyakinan buruk ini sebagai kabur dari penderitaan, dari kebebasan, dan dari tanggung jawab. Mereka bisa berbohong kepada orang lain tentang apa yang diyakini, tapi mereka tak akan bisa menyembunyikan apa yang sebenarnya dari diri mereka sendiri.

Mengapa para cendekiawan ini tak berani jujur mengampanyekan paham kebebasan yang mereka bela? Begini kira-kira jawaban Sartre: 'Kebebasan adalah beban. Kebebasan bukan anugerah, karena manusia dihukum untuk bebas. Kita tidak perlu mengeluh atau mengutuk, karena kita sendiri pencipta konsekuensi dari tindakan-tindakan kita.'

Saya pikir, para cendekiawan yang mati-matian membela liberalisme, mempercayai dalam alam bawah sadar mereka, bahwa ideologi kebebasan pasar yang mereka agungkan adalah sebuah beban.

Jika kita konsisten mengimani paham ekonomi liberal dalam perspektif Sartreian, maka rakyat tak boleh mengeluh dan mengutuk tentang adanya ketidakadilan ekonomi akibat persaingan pasar yang memang timpang. Kita tak boleh berteriak menuding adanya persekongkolan ekonomi yang mematikan usaha rakyat kecil dan menggangsir Indonesia, sebagaimana dikatakan John Perkins dalam bukunya, atau dalam film dokumenter The New Rulers of the World karya John Pilger.

Di negeri ini, eksistensi pasar bebas telah mendahului esensi yang harus dijelaskan kepada masyarakat. Banyak toko-toko tradisional yang mati akibat serbuan ritel modern. Perusahaan-perusahaan tambang multinasional yang banyak merugikan rakyat dan hanya membayar sedikit untuk negara. Para petani yang kembang-kempis karena produknya tak bisa bersaing dengan komoditas pertanian negara lain.

Saya kok khawatir, para cendekiawan neoliberal tak menampakkan diri terang-terangan karena jika itu mereka lakukan, mereka harus menjelaskan apa esensi pasar bebas yang eksistensinya telah merusak itu. Rasanya, konyol bersusah-payah menjelaskan ini jika itu kemudian berisiko membuat calon presiden idaman mereka tak terpilih.

Jadi, marilah kita berterima kasih kepada Sartre, yang telah membuat kita bisa memahami mengapa para pemeluk teguh liberalisme itu hari-hari ini membisu. Selamat ulang tahun, Jean-Paul. Semoga arwahmu tenang di sana. [wir]

No comments: