12 June 2009

Membedah Seni Kepemimpinan SBY

Saat peresmian jembatan Suramadu, Rabu (10/6/2009), para undangan dan wartawan menerima sebuah bingkisan sederhana: buku karya Dino Patti Djalal. Buku berjudul 'Harus Bisa!' ini cukup bagus untuk menjelaskan bagaimana seni kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono selama menjabat presiden.


Cepat Bebaskan Wartawan Metro, Berani Naikkan Harga BBM

Dino adalah juru bicara SBY. Buku ini ditulis berdasarkan pengalamannya mendampingi SBY dalam menghadapi berbagai persoalan. Gaya bertutur membuat buku ini enak dibaca.

Beritajatim.com akan mencoba menukil buku tersebut secara bersambung, untuk memberikan gambaran bagaimana sebenarnya sosok SBY. Ada enam bab dalam buku itu: memimpin dalam krisis, memimpin dalam perubahan, memimpin rakyat dan menghadapi tantangan, memimpin tim dan membuat keputusan, memimpin di pentas dunia, dan memimpin diri sendiri.

Dalam tulisan bersambung ini digunakan kata 'saya', yang merujuk pada Dino Patti Djalal sebagai penulis.

***

Tanggal 19 Februari 2005. Saya mendapat telpon mengenai perkembangan penculikan dua wartawan Indonesia di Irak, Budianto dan Meutya Hafid. Mereka dikabarkan diculik oleh sekelompok orang bersenjata, di wilayah Ramadi, sekitar 150 kilometer dari Baghdad, ibu kota Irak.

Malam itu juga saya menelpon ajudan presiden untuk disambungkan dengan SBY. Alhamdulillah, walaupun sudah larut malam, telpon tetap diangkat oleh Kolonel Didit. "Tolong Pak Didit sambungkan saja dengan Bapak. Ini benar-benar kepentingan nasional yang urgent," kata saya.

Pukul 01.25, saya sudah tersambung hubungan telpon dengan SBY. Saya kemudian memberikan laporan situasi kepada Presiden SBY sekaligus analisis intelijen mengenai pola penculikan di Irak selama ini. Kesimpulannya: hope for the best, but expect the worst.

"Bagaimana kalau saya segera membuat statement, yang intinya mencoba mengetuk hati para penculik untuk membebaskan mereka. Rakyat Indonesia kan tidak terlibat dalam konflik Irak. Coba segera diatur, sekarang, di Istana Merdeka di ruang credential," kata SBY.

Butuh waktu kurang satu jam untuk untuk menyiapkan semua. Associated Press dan Al-Jazeera merekam penampilan Presiden SBY. "Saya Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan bahwa kedua wartawan itu benar-benar sedang menjalankan tugas profesinya. Mereka sama sekali tidak melibatkan diri dalam masalah politik ataupun masalah konflik yang sekarang sedang terjadi di Irak," kata SBY dalam pidatonya.

"Oleh karena itu sekali lagi, saya mengetuk hati dan minta agar kedua wartawan itu dapat dibebaskan dan kemudian dapat kembali ke Indonesia dengan selamat," lanjut SBY.

SBY berbisik ke telinga saya: "Bismillah saja Din, jangan putus asa. Kita terus berusaha. Mudah-mudahan berhasil." Alhamdulillah, dalam waktu tak terlalu lama, Meutya dan Budianto dibebaskan oleh para penculik dalam keadaan selamat tanpa disakiti sedikit pun.

Dalam masa krisis di mana situasi begulir dengan cepat, satu elemen yang sangat penting adalah respons yang real time. Real time di sini berarti tepat waktu dan tidak tertinggal oleh roda-roda perkembangan kejadian. Kaliber seorang pemimpin di masa krisis juga dapat diukur dari kemampuannya membuat keputusan yang berani.

Dari semua keputusan Presiden SBY, ada dua keputusan besar yang menurut saya sangat berani. Pertama, keputusan SBY untuk memulai kembali perundingan dengan GAM di awal 2005. Kedua, adalah tindakan SBY yang menurunkan subsidi dan menaikkan harga BBM. Apapun yang terjadi dalam kurun waktu 2004-2009, paling tidak dua keputusan besar ini sudah menjadi sejarah capaian Presiden SBY.

Masalah BBM sudah ada di benak Presiden SBY sejak awal. Ketika Presiden SBY dilantik, subsidi BBM melonjak tinggi sampai Rp 70 triliun. Dan defisit APBN 2004 membengkak dari Rp 26,3 triliun menjadi Rp 38,1 triliun. Perubahan memang sulit dilakukan, karena rakyat Indonesia terlalu lama dimanjakan dengan minyak murah.

Era 70-an, produksi minyak kita sempat mencapai 1,7 juta barel per hari, dan sebagian besar diekspor karena kebutuhan domestik waktu itu relatif kecil. Situasi ini mulai berubah di tahun 2004 dan setelahnya. Harga minyak naik terus, hingga USD 60 per barel pada awal 2005. Sementara, produksi minyak Indonesia turun jadi 1,18 juta barel per hari, dan konsumsi dalam negeri melonjak drastis karena semakin banyak orang yang memiliki motor dan mobil. Indonesia kini harus mengimpor minyak rata-rata 400-500 ribu barel per hari.

Subsidi BBM sebagian besar dinikmati kelas menengah ke atas yang tidak berhak menerimanya. SBY melihat masalah subsidi BBM sebagai kebijakan yang tidak rasional, salah kaprah, dan salah sasaran. SBY punya dua opsi: tetap memberikan subsidi seperti tahun 2004, atau mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM.

Di sinilah kepemimpinan SBY diuji. SBY akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM. "Pilihan ini adalah pilihan sulit, amat sulit dan pahit. Namun di sini kita harus memilih, mana yang lebih penting dan dibutuhkan rakyat banyak: subsidi BBM atau subsidi kebutuhan pokok," katanya.

Langkah Presiden SBY yang 'ekstrim' itu banyak menarik perhatian, sehingga ada negara yang ingin belajar dari keberhasilan Indonesia menangani masalah BBM. Setelah mengambil keputusan ini, SBY bukannya jatuh namun justru semakin mapan.

Akhir Januari 2008, dunia diguncang krisis ganda: melonjaknya harga pangan dan minyak dunia. Peningkatan tajam harga BBM dunia menyebabkan melonjaknya harga pangan. Majalah The Ecnomist menjuluki krisis pangan kali ini sebagai The Silent Tsunami.

Presiden SBY lantas menulis surat kepada Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa Ban Ki-Moon, Ketua KTT G-8 Yasuo Fukuda, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Dalam semua korespondensi itu, SBY selalu menekankan bahwa Indonesia berbeda dengan dunia lainnya, pada saat ini tidak mengalami krisis pangan. Produksi beras Indonesia mencukupi, bahkan surplus.

Presiden SBY menekankan berkali-kali perlunya mengubah krisis menjadi peluang. "Pendekatannya harus crisis action management. Kita harus memiliki mental 'mesti bisa' dan 'harus lebih baik'."


SBY Diminta ke Dukun Agar Bencana Berhenti

Mei 2006, bulu kuduk saya sempat merinding ketika diminta pindah ke Bina Graha menempati ruang yang dulu adalah ruang kerja Presiden Soeharto. Namun itu lebih disebabkan bobot sejarah dari kantor itu. Walau begitu semenjak saya berkantor di sana, semakin banyak orang yang membisikkan takhayul yang berhubungan dengan keris, pusaka, dan lainnya. Istana Bogor dan Cipanas yang sangat agung itu diselimuti oleh kisah misteri.

Banyak orang yang mencoba masuk ke lingkaran pembuat keputusan menawarkan jasa-jasa yang berbau mistik, sebagian karena motivasi keuangan. Alhamdulillah, saya sama sekali tidak pernah melihat gejala ini dalam proses kebijakan SBY.

Dari pembicaraan dengan Presiden atau staf lainnya, saya tahu banyak sekali orang yang mencoba melalui berbagai pintu, menawarkan kekuatan mistik atau solusi magis kepada beliau. Ada yang meminta SBY terbang ke daerah tertentu selama sekian jam untuk bertemu orang pintar.

Ada yang meminta SBY melakukan ritual-ritual tertentu dengan dukun-dukun terkenal untuk mencegah meluapnya lumpur Sidoarjo, atau agar rentetan bencana alam berhenti. Ada yang meminta SBY berkeliling mengunjungi beberapa makam keramat demi kesuksesan pemerintahan. Atau harus menerima berbagai benda pusaka untuk mempertahankan kekuasaan.

SBY biasanya akan mendengar semua nasehat ini dengan santun, namun beliau selalu menolak dengan bijak nasehat, anjuran, dna permintaan yang tidak rasional. Saat hendak mengunjungi para pengungsi di kaki Gunung Kelud, Presiden SBY mendapat peringatan untuk tidak datang ke Kediri. Sudah menjadi legenda di daerah itu, bahwa setiap penguasa yang datang ke Kediri akan jatuh dari tampuk kepemimpinannya. Tapi beliau tetap datang dan bahkan bermalam di tenda bersama masyarakat yang mengungsi di Gunung Kelud yang hampir meletus.

SBY juga sangat tidak suka adegan-adegan sinetron berbau mistik yang banyak ditayangkan televisi. "Tayangan seperti itu bisa mmbuat persepsi yang salah tentang Islam itu sendiri. Apalagi, jika cerita tersebut disampaikan secara berlebihan, di luar kepantasan. Hal-hal berbau mistik itu bisa merusak keimanan," katanya.

"Pemikiran mistik mencerminkan mentalitas jalan pintas, orang yang tidak mau bekerja keras, tidak mau berencana, dan hanya mengharapkan solusi dengan cara gaib. Mistik membuat orang malas, tidak ulet dan tidak bermental tangguh," tambahnya.

Sejak dilantik menjadi presiden, Oktober 2004, saya melihat ada empat transformasi pada diri SBY. Pertama, SBY mentransformasi dirinya menjadi ekonom. Beberapa saat sebelum dilantik menjadi presiden, ia meraih gelar doktor dari IPB, dan menulis disertasi panjang mengenai ekonomi pertanian.

SBY sangat gemar berdebat dengan ekonom mapan -- Boediono, Sri Mulyani, Mari Pangestu -- serta bertukar pikiran dengan pelaku-pelaku pasar. Saya mencatat analisa SBY lebih condong pada ekonomi politik, karena sebagai presiden, SBY harus melihat segala sesuatunya --fiskal, inflasi, energi, investasi, komoditi, sembako, pajak, dan lain sebagainya -- dari sudut pandang makro.

Dalam membaca maupun berdiskusi, Presiden SBY juga tidak menyukai teori-teori abstrak atau akademis: SBY biasanya lebih suka pembahasan yang policy-oriented mengenai isu-isu yang berdampak riil bagi rakyat.

Transformasi kedua, adalah transformasi menjadi 'crisis leader', saat menghadapi bencana Tsunami. Transformasi ketiga, semenjak menjadi presiden, SBY mendudukkan dirinya di atas kepentingan golongan. Masyarakat mencatat meskipun SBY Dewan Pembina Partai Demokrat, tapi dengan tegas ia mengutamakan kepentingan pemerintah dan negara.

Transformasi keempat adalah transfromasi SBY menjadi negarawan internasional. SBY menjadi semacam juru bicara tsunami di pentas internasional. Misalnya, ketika SBY diundang CNN untuk memberikan pidato teleconference mengenai tsunami dalam acara ulang tahun CNN ke -25 di Atlanta. Status SBY sebagai negarawan internasional terus berkembang: sebagai pemimpin ASEAN, promotor millenium development goal (MDG's), sebagai peace-maker di Aceh yang bahkan sempat dicalonkan sebagai pemenang nobel, dan yang paling menonjol sebagai tuan rumah UN Conference on Climate Change di Bali, Desember 2007. [wir]

No comments: