12 June 2009

Buteeet...Butet...

Setelah nonton deklarasi damai calon presiden dan wakilnya di Komisi Pemilihan Umum, saya sudah berniat bertemu Butet Kertaredjasa. Saya bayangkan saya bertemu dengannya di sebuah warung kopi di salah sudut Jogjakarta, sembari makan 'nasi kucing' dan meneguk wedang jahe.

Saya akan bilang kepadanya: "Buteeeeeeet...Butet... Kamu ini lho, ya mbok jangan kurang ajar. Masa pesawat Indonesia dibilang tak bisa berperang, karena bakal jatuh sendiri. Kamu ini juga ya kok kurang ajar banget sih, masa bilang 'tidak sengaja kok terus-terusan', Menyindir KPU mbok ya jangan kebangetan."

"Buteeet...Butet...ngapain pula to lembaga survei juga disodok-sodok. Bener-bener kurang kerjaan kamu. Masa lembaga survei kamu bilang seperti restoran cepat saji. Nggak tahu apa ya, kalau orang-orang pintar itu sekolahnya di Amerika sana. Iri ya nggak bisa bikin lembaga survei sendiri?"

"Kamu kan tahu itu acara resmi. Masa kamu tidak menghormati Bapak Presiden. Nyindir ke sana kemari. Bisa kena pasal penghinaan kepala negara kamu. Itu loh, Pak SBY nggak ketawa lihat dagelanmu itu. Wuuuu... dasar ndeso...ndeso...."

Saya membayangkan, Butet, sembari tersenyum lebar dan meneguk wedang jahe, tidak mendebat saya. Dia cuma bilang dengan nada suara berat yang pasti dikenali oleh Prabowo Subianto: "Saya jelasken daripada maksud monolog saya adalah tak ada maksud menyinggung siapa saja, tidak bermaksud mengganggu stabilitas. Sebagai pelawak daripada yang berdasarken Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kita harus berupaya untuk jujur, adil, dan berusaha menyenangken hati rakyat."

Masih dalam bayangan saya, Butet mendadak berdiri dan mengubah nada suaranya seperti orang berorasi dalam sebuah unjuk rasa. "Sesungguhnya, setiap komedi politik adalah perlawanan terhadap kekuasaan mapan yang manipulatif. Ketidaksopanan selalu dibutuhkan, untuk mengusik sesuatu yang sudah pakem. Ketidaksopanan adalah lalat yang membuat terganggu, dan mengajak orang untuk memikirkan ulang apa yang dianggap normal, apa yang seharusnya."

Saya terperanjat. "Wadalah, Tet, kok kamu mendadak pinter. Kesurupan apa sih kowe?"

Butet seolah tak mendengar saya. Lalu jarinya mengacung ke atas. "Tugas sang pelawak adalah menghibur sang raja, bukan menjadi raja," katanya gagah.

"Artinya, Tet?" saya penasaran dengan ulahnya.

Butet mendelik. "Kamu ini ya ternyata goblok nggak ketulungan, to Ryz. Katanya baca buku, katanya sarjana, katanya wartawan, katanya calon presiden...."

Saya nyengir. "Masih katanya, kan?"

Butet lalu duduk kembali di atas lincak, sembari mengetuk-ketuk dahinya dengan telunjuk. "Inget ya, Ryz, perlawanan seorang komedian adalah menghadirkan ketidaksopanan untuk melawan kemapanan. Di sebuah negara demokratik, ketidaksopanan mencegah penyeragaman dan keseragaman. Ia menghindarkan kita dari kultus dan mitos, karena dalam komedi tak ada satu pun yang suci."

"Indonesia dulu juga tidak akan merdeka, kalau Bung Karno sopan saat membacakan pledoi di hadapan pengadilan kolonial Belanda, di Bandung."

"Kamu harus ingat popok," kata Butet.

Giliran saya mengernyitkan dahi. Tidak mengerti.

Butet tersenyum lebar lagi. Katanya, "Pemerintahan sebuah negara itu seperti popok yang harus diganti dengan alasan yang selalu sama setiap waktu. Aku ini nggak mau jadi popoknya. Aku cuma ingin jadi orang yang mengingatkan kapan popok itu harus diganti. Lha, kalau popoknya sudah basah kena pipis, masa mau dibiarin."

Saya tidak sempat menjawab. Tiba-tiba di tangan saya sudah ada senjata M-16, dan saya todongkan ke dada Butet. "Tidaaaaakk...," saya mau berteriak, suara tak keluar.

"Saya tak mau membunuh Buteeeeeetttttt... Jangan kembali ke zaman dulu..."

Mata saya mendadak melek. Saya terbangun dari tidur.

Hari sudah pagi.

Butet, saya jadi teringat anak-anak saya yang masih kecil. Kamu memang kurang ajar. [wir]

No comments: