01 June 2009

Hikayat Manohara

Saya membayangkan Manohara Pinot memiliki kesamaan dengan saya, semasa kecil. Kami sama-sama suka membaca buku-buku cerita kanak-kanak yang diawali dengan kalimat: 'pada suatu hari' atau 'pada dahulu kala', dan ditutup dengan kalimat 'putri dan pangeran akhirnya menikah, dan hidup bahagia selama-lamanya'.

Saya pernah membaca kritik terhadap dongeng kanak-kanak. Kritik itu mempertanyakan: mengapa kisah pangeran dan putri harus diakhiri dengan pesta pernikahan, dan tidak ada yang menceritakan bagaimana mereka menjalani pernikahan, beranak, bercucu, dan mati di masa tua.

Saya tidak tahu persis bagaimana jawaban atas kritik itu. Namun, saya duga, menjalani pernikahan tak cocok dijadikan cerita anak-anak. Anak-anak kita hanya butuh yang indah-indah, bahwa dunia tak kejam. Menceritakan kehidupan pernikahan sama saja membenturkan anak-anak dengan realitas hidup yang penuh dengan kemungkinan.

Apa kata anak-anak kita jika Putri Salju dan sang pangeran akhirnya bercerai di tengah jalan? Apa pula kata dunia, jika ternyata Putri Yasmin meninggalkan Aladin, gara-gara keduanya berselingkuh?

Saya membayangkan, Manohara Pinot menerima Fahri, sang pangeran Kelantan, sebagai suami dengan imajinasi seindah kisah Putri Salju. Apa yang bisa diharapkan dari remaja berusia 16 tahun, dari keluarga kalangan sosialita yang serba ada, kecuali kisah hidup berbunga-bunga?

Lalu kita tahu, Manohara menjadi hikayat tentang teror dan horor. Pulang ke Jakarta, ia menyodorkan sederet cerita yang cocok ditulis oleh raja penulis horor Stephen King: disilet, muntah darah, disekap, jidat disetrika. Saya membayangkan, pangeran Kelantan itu tak ubahnya Hannibal Lecter, psikopat dalam buku Silence of The Lamb yang sudah difilmkan itu.

Kita seolah menonton film suspense, setelah mendengar penuturan Manohara bagaimana dirinya melarikan diri. Menegangkan. Jika ini resensi film, maka saya tak ragu memberikan 'two thumbs up' (acungan dua jempol).

Namun hikayat ini juga bikin hati saya meleleh. Apa yang terjadi pada Manohara sekali lagi menunjukkan, bagaimana pemerintah Indonesia gagal melindungi warganya. Janji bahwa negara akan mengayomi warga mulai dari ayunan hingga liang lahat tak terbukti. Yang terbukti sekali lagi adalah kelambanan gerak birokrasi Kedutaan Besar Indonesia. Cerita bahwa Manohara berhasil lari dan dilindungi oleh polisi Singapura dan Biro Investigasi Federal Amerika Serikat seharusnya menampar wajah pemerintah kita.

Jika ada alasan, bahwa urusan Manohara adalah urusan rumah tangga yang tidak bisa diintervensi, argumentasi ini dengan mudah bisa dipatahkan. Rumah tangga memang masuk ranah privat. Namun dugaan kekerasan domestik menjadi wilayah hukum.

Lambannya gerak kedutaan RI di sejumlah negara untuk melindungi warganya juga pernah saya dengar dari mantan buruh migran. Dalam sebuah seminar, seorang mantan buruh migran bercerita, bagaimana kedutaan di negara tempatnya bekerja tidak menanggapi laporannya. Ada kecenderungan petugas kedutaan justru meremehkan laporan buruh migran yang sudah bersusah payah melepaskan diri dari siksaan majikan.

Saya kira, memang sudah saatnya kedutaan besar Indonesia, terutama di negara-negara tujuan migran, dievaluasi dan mendapat taklimat khusus dari pemerintah. Kita tidak tahu apakah yang membuat kedutaan tak responsif. Semoga saja ini bukan dikarenakan adanya anggapan, bahwa bertugas di kedutaan tak ubahnya menjadi orang buangan, setelah tak terpakai di pusat pemerintahan negara.�

Dalam kaitan ini, kita seharusnya menghargai langkah Manohara dan keluarganya yang hendak mengadukan persoalan ini kepada Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Jika pemerintah gagal melindungi Manohara, bagaimana pula hendak melindungi seorang buruh migran yang bekerja di perkebunan Malaysia.

Kita berharap pemerintah Indonesia mengirimkan nota protes kepada pemerintah Malaysia. Cukuplah kita membiarkan diri tak ubahnya anak kecil yang diganggu di perairan Blok Ambalat. Kita tentu tak ingin membiarkan diri kita kehilangan harga diri, karena tak mampu melindungi warga sendiri.

Tidak perlu malu meneladani Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Obama mengeluarkan pernyataan keras, begitu ada warga negaranya yang ditangkap pemerintah Iran dengan tuduhan spionase.

Jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih enggan, segan, atau bimbang untuk melakukan langkah serupa Obama, biarlah Kalla yang melakukannya. Toh, Kalla selama ini dikenal dengan kemampuannya bertindak cepat, lugas, dan efektif.

Tak selamanya wakil presiden menjadi ban serep atau bemper bukan? [wir]

No comments: