08 June 2009

Abrakadabra!

Mereka berkumpul pada suatu malam untuk mengharamkan The Master, sebuah program pencarian bakat para magician, para pesulap, di layar televisi. Para pesulap itu melakukan hal-hal di luar kemampuan manusia umum, yang tentu saja, patut dicurigai mengandung sihir.

Sihir. Magik. Saya khawatir orang-orang tak mampu membedakannya. Sihir selalu mengandung magis. Namun tak selamanya daya magis adalah sihir.

Saya lalu teringat Cutter, seseorang yang bertahun-tahun mendampingi ilusionis Robert Angier. Dari Cutter dan Angier, saya menyadari: yang magis mungkin mempesona, namun, sains punya potensi lebih berbahaya.

Dari mereka berdua, saya tahu, bagaimana magik memang tak ada urusannya secara langsung dengan hal-hal yang bajik. Namun, magik yang dipanggungkan dari teater ke teater, ditonton ratusan atau ribuan orang tiap malam, tak lantas membahayakan moral.

"Mereka pesulap, Tuan. Mereka hidup dari rekayasa kenyataan hidup sehari-hari untuk menghibur, memukau," kata Cutter.

Pertunjukan magik selalu mengikuti tiga babak sebagai prosedur baku: the pledge, saat sang pesulap memperkenalkan apa yang hendak dilakukannya; the turn, saat ia menghilangkan benda. Namun menghilangkan benda tidaklah cukup, jika ia tak mampu mengembalikannya. Dan inilah puncak itu, the prestige, saat sang pesulap mengembalikan benda yang hilang dengan dramatis.

Saya tidak tahu, apakah para kiai yang mengharamkan tontonan pencarian bakat pesulap 'The Masters' di stasiun televisi RCTI, pernah menonton film The Prestige. Film itu menunjukkan, bagaimana semua yang tampaknya seram, tak rasional, dan mungkin memukau, bisa dijelaskan. Tanpa kemenyan. Tanpa mantra. Magik, sulap, adalah urusan tipuan mata. Tak lebih.

Ketakjuban kita kepada sesuatu yang ganjil di atas panggung sulap adalah konsekuensi yang bukannya tak disengaja dari ketidak-kritisan kita. Kita datang ke sebuah pertunjukan dengan itikad menyerahkan diri untuk dihibur, untuk ditipu, tanpa mau repot-repot mempertanyakan bagaimana itu bisa terjadi. Misteri dan teka-teki yang mengundang rasa ingin tahu, sangat menggairahkan. Kita bertanya-tanya tanpa berniat serius membongkar rahasia di baliknya, karena jika demikian, yang magis lagi tak menggetarkan.

Namun, misteri sesuatu yang magis tak abadi. Pergerakan sainslah yang abadi. Dari abad ke abad, para pesulap mencari berbagai trik baru, tipuan yang menghibur, namun tak pernah bisa lepas dari tiga tahap yang diterangkan Cutter.
Tidak demikian halnya dengan sains, yang bergerak liar, kadang melampaui imajinasi manusia yang paling banal sekalipun. Orang boleh bermimpi para majisian melenyapkan seorang gadis dari teater, atau menyabetkan pedang ke dalam sebuah kotak berisi manusia tanpa ada luka. Namun, manusia pertama yang berjalan di bulan bukanlah seorang pesulap yang berjubah hitam dan membawa tongkat sembari bilang 'simbasalabim'.

8 Februari 1899. Robert Angier berjalan menembus salju di Colorado, Amerika Serikat. Dari malam ke malam, dengan nama panggung Great Danton, ia memukau banyak orang dengan pertunjukan sulapnya: the transported man, pria yang berpindah dengan cepat dari satu kotak tertutup ke kotak tertutup yang lain tanpa terlihat bergerak. Namun itu semua tak cukup. Ia butuh lebih. Sesuatu yang meyakinkan. Sesuatu yang ilmiah, dan seorang saintis bernama Nikola Tesla yang bisa menolongnya.

Di dunia nyata, Tesla adalah perintis elektromekanik dan daya listrik. Ia mendemonstrasikan listrik tanpa kabel pada 1893, dan mengumumkan revolusi industri kedua. Dalam film The Prestige, Angier meminta Tesla membuat sebuah mesin yang memungkinkannya berpindah tempat dengan lekas.

Tesla berhasil membuat mesin tersebut. Namun, ia berpesan kepada Angier: "hancurkan mesin itu. Tenggelamkan. Lupakan." Tesla seakan menyadari, tak ada yang tak mungkin dalam sains, termasuk menumbuhkan ambisi yang sesat.

Angier menampik saran Tesla. Mesin itu bekerja baik. Dengan bantuan mesin Tesla, Angier membelah dirinya menjadi dua kembar yang identik, yang memungkinkan dirinya melakukan tipuan berpindah dari satu kotak ke kotak lain dengan kecepatan cahaya. Setiap malam tepuk sorak diterimanya. Setiap malam pula, ia harus membunuh saudara kembarnya yang dicetak dari rahim mesin itu: kemasyhuran tak membutuhkan dua nama.

Kecemasan Cutter terbukti: sulap mungkin mempesona. Namun, sains lebih berbahaya. Ia memutuskan pisah jalan dengan Angier, karena pada suatu titik mesin Tesla tak hanya membuat kembaran bagi Angier, tapi juga memisahkan seorang ayah dengan seorang anak. Adalah sahabat yang akhirnya menjadi pesaing berat Angier di panggung, Alfred Borden, yang harus dihukum gantung setelah didakwa membunuh Angier. Orang-orang tidak tahu, Borden membunuh kembaran Angier, bukan membunuh Angier sendiri.

Perpaduan sains dan ambisi yang dicapai Robert Angier sehingga membuat Borden mati di tiang gantungan, memudarkan apa yang menjadi semangat sulap para majisian sejak awal: menghibur. Sebuah penghiburan membuat hidup kita tetap manusiawi, dan optimistis.

Saya khawatir, apa yang diputuskan para alim-ulama di Pesantren Abu Dzarrin, Bojonegoro, Jawa Timur, juga melupakan semangat awal para pesulap itu. Semangat awal ini menjadi penting, karena ini akan membedakan apa yang dilakukan para majisian seperti Romi Rafael dan Joe Sandy, dengan katakanlah, seorang yang melemparkan ilmu pelet atau seorang anggota pasukan berani mati yang mendadak kebal, setelah minum air yang dirajah dengan kertas bertuliskan abjad Arab.

Semangat penghiburan dalam sebuah panggung majisian, jelas lebih manusiawi dan altruistik daripada seorang pasukan berani mati yang membuat dirinya kebal agar tak mudah ditikam lawan. Saya merasakan aroma pengabdian dan dedikasi untuk membuat orang lain bahagia pada kelompok pertama. Sementara, pada kategori kedua, saya mencium adanya ego dan ketakutan berlebihan. Pada kelompok yang kedua ini, hidup tak pernah rehat dari ancaman, dan sebuah ilmu, entah itu majis, sihir, atau keajaiban, hanya untuk dirinya sendiri.

Saya tidak tahu seberapa jauh fatwa yang mengharamkan The Master akan berdampak pada para pesulap, dan mereka yang berbakat untuk menghibur orang dengan kecepatan tangan dan ilusi. Namun, saya berharap, fatwa itu tak akan seperti keputusan hakim yang mengakhiri hidup Alfred Borden.

"Apa pesan terakhirmu?" tanya petugas eksekusi, sebelum Borden digantung.

Ada jeda. hening. Dengan wajah dingin, Borden pun berkata: "Abrakadabra."

Borden mati. Semangat penghiburan itu pada akhirnya mati bersamanya. [wir]

No comments: