19 May 2009

Yang Terhormat Walikota Surabaya...

Saya menulis surat ini dengan hati meremang. Setelah Siti Khoiyaroh, bocah itu, akhirnya harus menyerah kepada nasib.

Tidak, saya tidak menangisi Siti. Saya percaya, Tuhan memberikan bocah itu tempat yang lebih baik: di mana tak ada lagi wajah garang yang membuatnya ketakutan. Tak ada lagi teriakan-teriakan berang, dan jerit-tangis tak berdaya ibundanya.

Saya menangisi harapan-harapan yang remuk. Kematian Siti sekali lagi menghancurkan harapan tentang masih adanya keadilan sosial di negeri ini. Menghancurkan harapan tentang masih adanya wajah kekuasaan yang ramah yang tak perlu meremas yang lemah.

Demi Tuhan, saya tidak bisa memahami: atas nama keteraturan, satu jiwa koyak. Apakah yang teratur? Apakah yang tertib itu? Bagaimana Anda mengukur yang teratur di atas logika takdir dan hidup yang tak pernah tertib?

Saya teringat pada Michel Foucault. Pak Wali, izinkanlah saya memperkenalkan dia: seorang filsuf Prancis yang mengingatkan kita, bahwa keteraturan mengandung logikanya sendiri yang menyingkirkan 'Yang Lain (The Others). 'Yang Lain' bisa siapa saja: dia bisa Siti Khoiyaroh.

Menurut Foucault, wacana soal apa yang teratur dan apa yang tertib bisa berubah-ubah di setiap masa, pada setiap waktu. Perubahan wacana ini menunjukkan bahwa kekuasaan tidaklah tunggal, namun menyebar bisa dimiliki siapa saja.

Anda bingung, Pak Wali? Marilah saya perjelas. Para petugas satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bisa saja punya kuasa untuk menegakkan wacana 'ketertiban' dengan menggusur rombong bakso milik Samariyah dan Mat Naki. Namun, jelas mereka tak berdaya menegakkan wacana yang sama terhadap ratusan retail yang tak berizin di Surabaya.

Jadi, siapakah sebenarnya yang punya kuasa untuk menentukan 'apa yang tertib' dan 'apa yang tak tertib'? Saya bingung.

Pak Wali yang terhormat, saya percaya Anda orang yang baik, bijak-bestari. Ayah saya pernah bercerita, bagaimana Anda tanpa kawalan protokoler apapun datang ke kedai di kampung saya, menyapa dan mengajak bicara semua yang hadir. Anda tak segan mentraktir barang secangkir dua cangkir kopi lawan bicara Anda.

"Dia orang yang egaliter," demikian ayah saya memuji Anda. Saya yakin ayah saya itu benar.

Karena itulah, seiring dengan surat ini, izinkanlah saya berharap: Anda juga menangis, ketika mendengar Khoiyaroh meninggal dunia. Bukan, bukan untuk menangisi kematiannya. Namun, menangis untuk harapan-harapan Anda tentang wajah Surabaya yang hijau, bersih, dan manusiawi, yang mungkin remuk.

Setelah tangis itu reda, saya percaya, hari-hari selanjutnya di Surabaya tak akan sama. Semoga saya tidak terlalu berharap banyak. [wir/air]

No comments: