15 May 2009

Pidato GM: Politik 2009, Keganjilan dan Harapan

Pidato Goenawan Mohamad, di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, 15 Mei 2009.

Assalamuaikum wr.wb.
Salam sejahtera bagi kita semua.

Merdeka!

Para hadirin sekalian, kita ingat, di gedung ini, antara 22 Agustus sampai dengan 22 Desember di tahun 1930, Bung Karno diadili. Kita tahu, di bangunan yang dulu tempat peradilan negeri kota Bandung ini, Bung Karno membacakan pleidoinya yang kemudian jadi dokumen sejarah perjuangan kemerdekaan nasional: sebuah teks yang berjudul Indonesia Menggugat.

Teks itu adalah uraian yang tajam dan menggugah hati tentang apa itu “imperialisme”, khususnya “imperialisme” yang membelenggu rakyat Indonesia. Dalam kesempatan sore ini, saya tak bermaksud mengulang tesis-tesis termashur itu. Saya hanya ingin memakai kejadian 79 tahun yang silam itu untuk jadi pangkal percakapan tentang apa yang melibatkan perhatian kita di Indonesia hari ini.

Hari-hari ini adalah hari-hari pemilihan umum: kita hampir rampung menyelesaikan pemilihan anggota dewan legislatif, dan kita sedang akan memasuki tahap awal pemilihan presiden Republik dan wakilnya.

Tapi yang penting bukan itu semata-mata. Kita bertemu di sini karena kita merasa sesuatu yang ganjil tengah terjadi. Sesuatu yang ganjil dan mengandung harap.

Yang ganjil adalah bahwa hari ini kita menemukan seorang yang akan dicalonkan jadi wakil presiden – dan orang itu tidak datang dari kancah partai politik.

Boediono – tamu kehormatan kita sore ini — adalah seorang ekonom; ia ekonom yang bekerja dalam pengelolaan perekonomian Indonesia; ia seorang teknokrat. Ia bukan pemimpin partai. Ia bukan anggota dinasti pemimpin partai. Ia bukan tokoh terkenal dalam pasaran media seperti para bintang sinetron, komedian dan penyanyi. Ia bukan seorang vote-getter.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilihnya sebagai calon wakilnya karena Boediono memenuhi sejumlah syarat. Bagi saya, yang lebih penting ketimbang syarat-syarat itu adalah kenyataan bahwa Boediono dikenal sebagai seorang yang telah membuktikan dedikasinya untuk perbaikan kehidupan perekonomian bangsa; dan tak kurang dari itu, ia dikenal sebagai seorang pejabat dan pribadi yang bersih.

Di atas saya sebut, itulah sebuah “keganjilan” – dan di atas saya sebut juga, “keganjilan” itu membawa harap. Diakui atau tidak, ada yang merisaukan dalam kegaliban kehidupan politik kita. Kini SBY, dengan memilih Boediono, menunjukkan langkah kepemipinan yang berani – dan itu indikasi bahwa kita, sebagai bangsa, sanggup memperbaiki keadaan yang merisaukan itu.

Telah luas diketahui, hari-hari ini orang berpolitik dengan semacam sinisme yang gelap: di sebuah zaman ketika semua dapat diperjual-belikan, orang cenderung percaya bahwa bahkan partai harus juga dianggap sebagai komoditi.

Para calon anggota legislatif yang berkampanye ke daerah bisa bercerita, bagaimana ratusan juta rupiah dihabiskan untuk memperoleh suara. Sebaliknya ada juga cerita bagaimana para pemilih mengorgansiir diri jadi kelompok dan menawarkan dukungan agar dibeli.

Walhasil, ikatan yang terjadi bukanlah ikatan agenda dan cita-cita, melainkan ikatan antara penjaja dan pembeli.

Di tingkat elite politik, sinisme yang lebih gelap berlaku. Koalisi antarpartai dibentuk atau ditiadakan bukan berdasarkan program ataupun ideologi, bukan karena apa yang akan diperbuat bagi pemilih dan dengan prinsip yang jelas. Koalisi antar partai hampir sepenuhnya berkisar di sekitar kedudukan apa untuk siapa. Atau, lebih buruk lagi, rembugan koalisi berkisar di sekitar siapa yang membayar dan siapa yang dibayar.

Di tengah sinisme itu, di antara berisiknya tawar menawar yang seperti pasar ternak itu, pertanyaan pun tumbul: memang tidak adakah perilaku yang bukan jual-beli dalam politik? Adakah dalam politik prinsip tentang kebaikan dan kebenaran Benarkah semuanya untuk kepentingan subyektif, dan tak ada sesuatu nilai universal yang menggugah hati dan membentuk kesepakatan?

Saudara Boediono dan hadirin yang saya hormati.

79 tahun yang lalu, di ruangan ini, Bung Karno memulai pleidoinya dengan sebuah statement yang menarik. Sebuah statement yang menunjukkan betapa bisa palsunya klaim pemerintah kolonial, bahwa kebenaran dan keadilan yang hendak ditegakkannya – dalam tubuh hukum – adalah kebenaran dan keadilan yang universal.

Bung Karno menyebut apa yang salah dalam hukum yang dipergunakan hari itu. “Tuan-tuan Hakim”, katanya, “kami di sini didakwa bersalah menjalankan hal-hal, yang sangat sekali memberi kesempatan lebar pada pendapat subyektif….”

Adapun jaksa menyatakan Bung Karno bersalah berdasarkan pasal tentang “pemberontakan”. Tapi Bung Karno menunjukkan, pasal itu, seperti pasal yang menyebut diri “pencegah penyebaran rasa benci” (haatzai-artikelen), mengandung kata-kata yang bisa ditafsirkan seenaknya oleh yang membacanya, terutama para jaksa dan hakim kolonial. Bung Karno mengulang apa yang sering dikatakan tentang pasal-pasal seperti itu – yakni “aturan karet yang keliwatan kekaretannya.” Artinya aturan yang dapat direntang dan dikerutkan sesuai dengan kepentingan sepihak, atau apa yang disebut Bung Karno sebagai “subyektif”.

Apa yang tersirat dari pernyataan Bung Karno ialah bahwa keadilan dan kebenaran, yang seharusnya bersifat universal, telah direduksi jadi pasal-pasal. Dengan kata lain, yang universal, yang tak terhingga, telah dikuasai oleh bahasa yang berkuasa, oleh sistem simbolik yang terbatas kepentingannya.

Maka Bung Karno pada akhirnya dinyatakan bersalah. Ia dihukum empat tahun penjara dan dikurung di Sukamiskin. Tapi tak mudah menerima keputusan itu sebagai ekspresi keadilan. Pada saat palu diketuk, terasa benarlah apa yang selalu ditandaskan oleh Marxisme – bahwa keadilan dan kebenaran selamanya adalah keadilan dan kebenaran dari kelas yang bekrkuasa. Dengan kata lain, dalam rumusan tentang nilai-nilai selalu ada dimensi politik, pertarungan kekuasaan, dan perebutan hegemoni.

Memang, Marxisme adalah suara jaman modern, bagian dari apa yang disebut hermeneutics of suspiscion, yang meragukan bahwa ada kebenaran yang tak memihak, yang tak subyektif. Tetapi harus pula diingat, bahwa bahkan dalam Marxisme, kita senantiasa dirundung pertanyaan: benarkah politik hanyalah pergulatan kepentingan “subyektif” atau sepihak? Jika demikian, apa makna perjuangan kaum buruh untuk membebaskan manusia dari ikatan kepentingan kelas-kelas? Bila perjuangan politik tak bisa berangkat dari kebenaran dan keadilan yang berlaku bagi siapa saja, bagaimana ia bisa menggugah banyak orang, mengajak banyak orang, untuk bergerak?

Saya termasuk orang yang percaya, bahwa perjuangan politik justru perjuangan yang terdorong untuk melawan kepentingan-kepentingan yang sempit. Politik jelas berbeda dari pasar ternak. Ada yang universal dalam nilai-nilai yang membuat kita memenuhi panggilan politik.

Tapi yang universal bukanlah sesuatu yang sudah dirumuskan sepenuhnya. Menurut hemat saya, yang universal adalah apa yang justru dirasakan sebagai kekurangan. Keadilan jadi sesuatu yang seakan-akan hadir, memanggil-manggil, ketika ketidak-adilan merajalela. Kebenaran jadi mendesak semua orang ketika dusta menguasai percakapan. Dalam Indonesia Menggugat, Bung Karno mengutarakan ini dengan retorika yang memukau:

….Diberi hak-hak atau tidak diberi hak-hak; diberi pegangan atau tidak diberi pegangan; diberi penguat atau tidak diberi penguat, — tiap-tiap machluk, tiap-tiap ummat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti achirnja berbangkit, pasti achirnja bangun, pasti achirnja menggerakkan tenaganja, kalau ia sudah terlalu sekali merasakan tjelakanja diri teraniaja oleh suatu daja angkara murka!!”

Kebangkitan mereka yang teraniaya untuk mencapai keadilan dan kebebasan, itulah yang membuat sejarah. Tapi penting untuk kita ingat, bahwa sejarah tak pernah selesai.

Saudara Boediono dan hadirin yang terhormat,

Kita berada di awal abad ke-21, di sebuah zaman yang mengharuskan kita tabah dan juga berendah hati. Abad yang lalu telah menyaksikan ide-ide besar yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, namun akhirnya gagal membangun sebuah masyarakat yang dicita-citakan. Abad yang penuh harapan, tapi juga penuh korban. Abad sosialisme yang datang dengan agenda yang luhur, tapi kemudian melangkah surut. Abad kapitalisme yang membuat beberapa negara tumbuh cepat, tapi memperburuk ketimpangan sosial dan ketakadilan internasional. Abad Perang Dingin yang tak ada lagi, tapi tapi tak lepas dari konflik dengan darah dan besi. Abad ketika arus informasi terbuka luas, tapi tak selalu membentuk sikap toleran terhadap yang beda.

Dengan demikian memang sejarah tak berhenti, bahkan berjalan semakin cepat. Teknologi, pengetahuan tentang manusia dan lingkungannya, kecenderungan budaya dan politik, berubah begitu tangkas, hingga persoalan baru timbul sebelum jawaban buat persoalan lama ditemukan.

Kini makin jelaslah, tak ada doktrin yang mudah dan mutlak untuk memecahkan problem manusia. Tak ada formula yang tunggal dan kekal bagi kini dan nanti.

Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang menampik doktrin yang tunggal dan kekal. Kita harus selalu terbuka untuk langkah alternatif. Kita harus selalu bersedia mencoba cara yang berbeda, dengan sumber-sumber kreatif yang beraneka.

Saudara Boediono tentu sangat akrab dengan kesadaran itu. Seorang ekonom adalah seorang yang sangat dekat dengan kekurangan dan kelangkaan, dan seorang teknokrat adalah seorang yang harus bersua tiap kali dengan kerumitan. Itu sebabnya Boediono tahu, doktrin seperti “neo-liberalisme” tak akan pernah akan berhasil, sebagaimana “ekonomi yang etatis” tak akan pernah sampai di tujuan.

Tetapi sikap pragmatik itu, sebagai sebuah keniscayaan, tak berarti sikap yang hanya mengutamakan hasil, dan tak mempedulikan nilai-nilai, tak mengacuhkan apa yang baik dan yang benar. Seorang ekonom, terutama di Indoensia, tak mungkin mengabaikan persoalan korupsi, ketidak-adilan dalam aturan main, kemandirian lembaga yudikatif – dan last but not least — modal sosial yang dibangun dari sikap percaya mempercayai di masyarakat.

Modal sosial itu hanya bisa dibangun dengan kesetiaan yang tak habis-habis kepada cita-cita negeri ini – kesetiaan untuk tak mementingkan diri sendiri. Kita berbahagia, dan kita bangga, bahwa di antara kita ada Boediono, yang dalam hidup sehari-harinya tak pernah mementingkan diri sendiri dalam kerja – dengan keras tapi juga dengan rendah hati.

Maafkanlah jika tuntutan kami berlebihan. Tapi Indonesia — yang kadang-kadang membanggakan dan kadang-kadang merisaukan — bukan hanya tempat kita lahir dan menutup mata. Indonesia adalah sebuah amanat. Kami percaya, Mas Boed, bersama kami, anda tak akan menyia-nyiakan amanat itu.

Maka di ruang ini, di hari ini, izinkanlah kami mengucapkan selamat bertugas.

Merdeka,

Wassalamulaikum wr.wb.

No comments: