08 May 2009

Machiavelli Dagang Sapi

Mereka yang menyukai intrik dan ketegangan main tebak strategi-taktik politik, tentu akan menyukai apa yang terjadi di jagat politik Indonesia. Ribut-ribut koalisi, cari pasangan serasi. Misteri calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tarik-ulur di tubuh Golkar. Konflik di tubuh PAN. Politisi PKS yang ngambek. Blok Teuku Umar. Manuver Prabowo. Semua seru, dan menjanjikan kejutan.

Apa yang terjadi hari-hari ini di jagat politik Indonesia jelas menunjukkan: kita mengutuk Machiavelli di bibir, tapi diam-diam mengimani dan mengamini apa yang dirisalahkannya. Kasak-kusuk koalisi di negeri ini memang tak ubahnya filsafat 'Machiavelli berdagang sapi'.

Niccolo Machiavelli adalah sosok politisi, filsuf, dan pejabat sekaligus. Ia dilahirkan di Firenze, Italia, pada abad 15, di tengah sebuah keluarga kaya raya. Ia diangkat menjadi sekretaris Dewan 10 dan wakil kanselir Republik Firenze pada 1498. Ia menjadi saksi pergolakan politik di Italia, dan sempat dipenjara oleh Keluarga Medici setelah Republik Firenze runtuh.

Nama Machiavelli diidentikkan dengan 'politik menghalalkan segala cara' dan disebut Machiavellisme. Gereja Katolik sempat melarang buku karyanya berjudul Il Principe (Sang Pangeran), karena bertentangan dengan filsafat politik resmi.

Menurut Machiavelli, partai-partai hanya menguntungkan raja di waktu damai, karena raja bisa menggunakannya untuk mengendalikan rakyatnya dengan lebih mudah.

Menjelang pemilihan presiden di Indonesia, pemilihan partai-partai sekutu agaknya tak gampang. Pergolakan internal partai dalam menentukan kawan koalisi dan mondar-mandirnya satu pemimpin partai atau kandidat presiden dari satu partai ke partai lain menjadi indikasi bahwa menentukan sekutu tak mudah membalik buku.


Dalam perspektif Machiavelli ini, kandidat presiden hari-hari ini akan memilih partai yang memiliki pengaruh paling besar pada rakyat untuk diajak berkoalisi. Tujuannya, tentu saja, penciptaan kestabilan pemerintahan. Partai-partai sekutu dalam pemerintahan nanti yang mengendalikan konstituennya agar tidak menyerang kebijakan.

Kesediaan Demokrat dan SBY menerima Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa sebagai sekutu, bisa dipahami dalam konteks pengendalian konsituten. PKS sudah terbukti memiliki massa loyal, kendati tak mencapai 10 persen. Namun menggandeng PKS sama halnya dengan mengendalikan sekian persen rakyat yang mendukung partai itu. Begitu pula dengan PKB. Partai ini boleh dilanda konflik internal. Namun dengan perolehan lima persen sekalipun sudah menunjukkan, bahwa partai ini punya massa pendukung loyal.

Machiavelli mengingatkan, pemimpin harus tegas. Dalam sebuah konflik, memilih tidak berpihak adalah kesalahan dan bisa menghancurkan. Pemimpin harus memilih salah satu, dengan risiko menang atau kalah. Jika ternyata sang sekutu menang, maka sekutu tersebut akan merasa berutang budi. "Jika Anda menang, sekutu akan di bawah kekuasaan Anda," tulis Machiavelli.

Namun, kata Machiavelli, "Seorang pemimpin jangan pernah masuk persekutuan yang agresif dengan seseorang yang lebih kuat daripada dirinya sendiri, kecuali memang terpaksa."

Bersekutu dengan pihak yang lebih kuat dan agresif, menurut Machiavelli, "akan membuat Anda menjadi tawanan sekutu Anda. Pemimpin harus sekuat tenaga tidak dikuasai orang lain."

Dalam perspektif ini, bisa dipahami mengapa Susilo Bambang Yudhoyono happy saja bercerai dengan Jusuf Kalla. Jusuf Kalla boleh dibilang sosok yang lebih kuat dan agresif daripada Yudhoyono. Selama mereka berduet, ada yang menyebut Kalla sebagai The Real President.

Di lain pihak, dalam perspektif Machiavelli keputusan Kalla memilih bercerai sangat bisa dipahami, karena tak ingin menjadi tawanan SBY dan Demokrat. Golkar tak ingin disamakan dengan partai lain yang memberikan sekian nama alternatif cawapres kepada SBY, karena dengan demikian koalisi itu tidak dibangun dalam kondisi sejajar.

Dalam perspektif Machiavelli, politik dikalkulasi benar dengan keuntungan dan kerugian, apa yang bisa dicapai. Di Indonesia, ini diterjemahkan menjadi politik dagang sapi. Ideologi bukan lagi pertimbangan utama. Jika pun ada retorika yang mengatakan bahwa koalisi dibangun dengan kesamaan platform, itu patut diragukan. Bagaimana mau membangun koalisi dengan kesamaan platform, jika dari partai-partai yang berkoalisi lebih sibuk menyodorkan nama calon presiden atau wapres, ketimbang menyodorkan program kongret strategis pembangunan ke depan?

Saat ini, semua kandidat presiden, wapres, dan partai hanya mempertontonkan kepiawaian membangun lobi politik kepada rakyat. Tidak terdengar, program kongret apa yang akan mereka lakukan saat berkoalisi dan kemudian berkuasa, seperti: bagaimanakah kebijakan pajak diterapkan, bagaimanakah kebijakan negara menginsentif industri besar dan kecil, dan sebagainya.

Bahkan ada kecenderungan calon presiden maupun partai politik tak sanggup menghadirkan perdebatan mengenai program kongret pemerintahan. Rakyat sempat disuguhi perdebatan bagus mengenai bantuan langsung tunai saat kampanye pemilu legislatif. Sayangnya, perdebatan itu tak berlangsung lama.

Alih-alih menghadirkan program untuk menandingi BLT, PDI Perjuangan justru 'balik kucing' dan cenderung seolah-olah sepakat dengan BLT. PDI Perjuangan terhantam taktik Machiavelli yang digunakan pemerintahan SBY: 'berikan apa yang menjadi hak rakyat sebelum rakyat memintanya, sehingga pemberian itu seolah-olah merupakan kebaikan hati kamu."

Saya khawatir, bangsa kita mengulangi kesalahan yang sama. Semua berkoalisi memperturutkan petuah Machiavelli. Semua berpolitik dagang sapi. Setelah sapi dimiliki, kita kemudian sama-sama sibuk membuat sapi itu gemuk untuk dinikmati sendiri, dan lupa jika sapi itu harus disembelih untuk kepentingan rakyat. Lebih parah lagi, jika kemudian di tengah jalan, para pemilik sapi itu berkelahi untuk mencari cara menggemukkan sang sapi atau berebut mengklaim siapa yang paling absah memiliki sapi itu.

Oh...sapi. Ah... dasar sapi! [wir]

No comments: