12 May 2009

Antasari dan Yang Tak Tersentuh

Tuan dan Puan, izinkan saya bicara tentang membangun kembali harapan yang hampir dipatahkan. Ada masa di mana kita tidak mempercayai siapa-siapa. Birokrasi terlampau korup. Politisi bersekutu dengan pengusaha hitam menggangsir uang negara. Polisi dan jaksa berbisnis pasal. Pedang keadilan di ruang-ruang sidang menghantam ke bawah, bukan ke atas.

Ada masa di mana kita benar-benar putus asa. Masa di mana kita tak merasa sekadar cukup dengan doa. Laku dan proses tak lagi penting, karena ada cemar di sana-sini. Kita butuh jawaban cepat: sosok seperti Eliot Ness.

Eliot Ness, kita tahu, adalah bagian dari sebuah kelompok Yang Tak Tersentuh. Ia membuat Al Capone, mafioso legendaris itu, seperti mati angin. Ness dan kawan-kawan menjadi antitesis penegak hukum Amerika Serikat saat itu: tak mempan sogok. Tak gentar menghadapi intimidasi. Tegas. Keras. Tidak ada kompromi.

Ness akhirnya bisa memenjarakan Capone, setelah berkali-kali bos dunia hitam itu lolos dari sergapan hukum. Orang-orang lega, karena neraca keadilan ditegakkan lagi. Harapan itu hidup kembali.

Saya kira, kita sedikit banyak terpikat dan terinspirasi dengan Ness. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kita bentuk dengan harapan menjadi Yang Tak Tersentuh.

Tapi apakah Yang Tak Tersentuh itu? Mendadak kita seperti tak yakin. Harapan kita seperti terpatahkan, setelah hari-hari ini melihat Antasari Azhar tak lagi gagah dengan jas dan suaranya yang berat, bicara soal siapa lagi koruptor yang bakal masuk bui. Antasari sendiri kini yang terancam melangkah mendekam di balik jeruji.

Sadarlah kita, bahwa Yang Tak Tersentuh tak begitu saja turun dari langit. Dia (atau mereka) tumbuh bersama kita, dalam sebuah sistem yang sudah berkubang lumpur, yang kita pun sendiri bingung dari mana harus membersihkan. Dia (atau mereka) bukan Yudistira, seorang raja yang selalu berkata jujur, dalam kisah Mahabarata. Bahkan seorang Yudistira pada suatu masa tak mampu menahan godaan untuk bertaruh melawan Kurawa.

Mereka yang mengharapkan Yang Tak Tersentuh adalah seorang yang zuhud, bak petapa yang asketis, harus bersiap kecewa lebih dini daripada siapapun. Asketisme, demikian kata seorang penulis Barat, menimbulkan kelelahan. Dan oleh karenanya, kezuhudan pun memiliki godaannya sendiri. "Ya Tuhan, berilah aku kesucian dan kendali diri, tapi jangan sekarang," kata Saint Agustinus.

Kita lalu disadarkan kezuhudan, itu bukan soal utamanya. Yang penting adalah sejarah. Siapapun yang ingin membentuk Yang Tak Tersentuh untuk menjadi sapu yang membersihkan lantai yang kotor, harus memperhatikan sejarah hidup.

Kita harus pandai memindai masa lalu dan rekam jejak orang-orang yang mewakili harapan kita di lembaga seperti KPK: Benarkah wajah mereka sebersih apa yang ditunjukkan selama ini.

Antasari anggaplah saja memang tak membunuh Nasruddin. Namun kasus yang tengah membekapnya saat ini menunjukkan, ia memiliki sejarah yang bisa menjadi celah untuk dihantam siapapun. Jika tidak sekarang, bisa kapan saja.

Yang Tak Tersentuh memang tak harus zuhud. Tapi selain tak mempan disogok, tahan intimidasi, seharusnya ia mampu mengendalikan birahi. Urusan syahwat bisa bikin gawat. Bill Clinton akan lebih dikenang sebagai presiden yang nyaris runtuh karena sejarah skandal seksnya daripada prestasinya.

Birahi memang menjadi awal dosa paling purba di bumi. Sejarah birahi sama pentingnya dengan sejarah ekonomi seseorang yang menduduki jabatan publik.

Lalu pertanyaannya berikutnya: bagaimana negara bisa menyortir orang-orang pilihan dengan memperhatikan sejarah birahi dan ekonomi mereka. Kita tidak bisa. Kita percaya negara ini tak boleh menjadi negara intel yang selalu mengawasi warganya dengan semena-mena, seperti dalam novel 1984 karya George Orwell.

Namun di sinilah kita sadar pentingnya membuka ruang publik seluas-luasnya bagi pemilihan orang-orang yang duduk di lembaga pemangku kepentingan publik, seperti KPK. Jangan pernah serahkan semata proses pemilihan mereka kepada lembaga parlemen yang menjadikan proses politik tak ubahnya laku para bakul di pasar: berdasarkan untung dan rugi.

Semakin banyak dan luas orang yang mencermati rekam jejak orang-orang pilihan, semakin sempitlah celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan dari orang-orang itu kelak. Para calon pejabat publik pun tak perlu susah-susah menyiapkan pupur untuk menutup codet atau bopeng di wajah sendiri yang dibentuk oleh sejarah laku mereka sendiri.

Tentu saja, terbukanya ruang publik lebih luas bagi penilaian rekam jejak juga mensyaratkan hal lain: tiadanya amnesia sejarah. Jamak kita sadari, rakyat Indonesia kerap terserang amnesia sejarah. Kita bukan segolongan orang yang 'bisa memaafkan tapi tak bisa melupakan'.

Tuan dan Puan, kini saatnya kita semua menjawab: akankah kita menjadi bagian yang terkena amnesia sejarah? [air]

No comments: