08 May 2009

7 Tahun= 4.245 Bencana + 180.858 Orang Tewas

Rentang tujuh tahun, sejak 2002 hingga 2008, telah terjadi 4.245 kali bencana yang menewaskan 180.858 orang di Indonesia. Kerugian material mencapai Rp 110,4 triliun.

"Masyarakat luar negeri menyebut Indonesia adalah supermarket of disaster (pasar swalayan bencana). Tapi saya bilang ini laboratorium, yang menantang putra-putri Indonesia bertindak yang terbaik," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Dr. Syamsul Maarif, dalam kuliah umum di Universitas Jember, Jumat (8/5/2009).

Negara Indonesia memang tak pernah mendefinisikan dirinya dalam perspektif bencana. Maarif mengatakan, Undang-Undang Dasar bicara bentuk negara dalam bentuk batas-batas.

"Tidak dikatakan kita di perbatasan simpang lempeng yang selalu bergerak dan mendesak Indonesia. Tak disebutkan kita hidup di negara dengan 160 gunung berapi yang aktif. Kita tidak bicara hazard (bahaya) yang kita hadapi," katanya.

Padahal, warga Indonesia yang hidup di sebuah kawasan rawan bencana, harus bisa hidup harmonis dengan bencana. "Baru setelah itu kita harus tahu bagaimana memenej bencana," kata Maarif.

Maarif mengajak semua pihak menggunakan pandangan holistik dalam menghadapi bencana. Pendekatan holistik menekankan pada adanya bahaya, kerentanan, dan risiko, serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya dan risiko.

Masyarakat tidak hanya bisa bergantung kepada pemerintah dalam menangani bencana. "Jika kita hanya menunggu pemerintah, dipastikan lambat. Di Jogja dan daerah-daerah lain, yang tangkas melakukan penanganan darurat adalah masyarakat di sekelilingnya," kata Maarif.

Walaupun tidak boleh menjadi alasan untuk tidak berbuat maksimal, pemerintah terkendala sejumlah persoalan, terutama masalah geografis. Sebenarnya, masyarakat sudah memiliki kearifan lokal saat menghadapi bencana.

"Saya pernah mendatangi suku terasing di Papua saat bencana. Saya menduga, suku ini sudah habis, tewas semua. Tapi ternyata mereka semua masih hidup. Justru yang tidak selamat adalah kita-kita yang terdidik dan berada di kota. Suku terasing itu justru bisa berkompromi dengan alam," kata Maarif.

Kearifan lokal inilah yang perlu disentuh pemerintah. "Pemerintah perlu mengintervensi dalam artian mengembangkan kemampuan warga," kata Maarif.

Selain itu, Maarif berharap pemerintah daerah membuat peta rawan bencana lebih teliti. "Bencana secara manajerial harus dilihat dari keputusan pembangunan. Bukannya mau ikut campur, misalkan ada jalur lintas selatan dan dibuka penambangan, ini harus dipikirkan," katanya. [wir/kun]

No comments: