22 May 2009

Hercules, Wajah Militer Indonesia

Kematian meluncur deras dari langit Magetan. Dan di daratan, kita mendadak membutuhkan penjelasan-penjelasan. Dalih-dalih. Mungkin juga kebohongan.

Maut di Magetan adalah yang kedua dalam dua bulan beruntun. Awal April silam, tepat sebelum pemilu, sebuah fokker limbung dan jatuh menghantam tanah di Bandung. Kita seperti tak pernah belajar, bahwa ada persoalan di tubuh militer kita.

Jatuhnya pesawat Hercules di Magetan menyisakan perdebatan tentang borok itu. Presiden Yudhoyono membantah, bahwa minimnya anggaran menjadi faktor pemicu. Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla memilih berterus terang tentang anggaran sebagai pangkal soal.

Otoritas militer berjanji melakukan investigasi, namun naga-naganya penjelasan sudah disiapkan: faktor cuaca. Soal puluhan warga sipil di atas pesawat yang akhirnya menjadi korban tewas, panglima TNI membantah adanya komersialisasi pesawat sebagai alasan banyaknya korban sipil.

Sementara, di media massa berkembang jawaban irasional dan berbau supranatural: Hercules yang hancur itu, dulu digunakan untuk mengangkut jenasah mantan Presiden Suharto. Nahas seakan-akan datang karena tuah Suharto.

Menyalahkan cuaca. Menyalahkan yang telah mati. Agaknya itu semua lebih nyaman daripada menuding muka sendiri.

Tragedi Hercules semestinya dilihat dalam perspektif dunia militer kita yang lebih luas. Akademisi Universitas Indonesia Andi Widjajanto menulis, minimnya anggaran membuat Departemen Pertahanan hanya bisa memenuhi 40-50 persen kebutuhan pertahanan. Terakhir, anggaran militer kita 0.69 persen dari produk domestik bruto. Sementara itu, di tengah keterbatasan itu, Angkatan Darat memperoleh porsi anggaran yang jauh mengangkangi Angkatan Udara dan Angkatan Laut.

Ini hal yang ganjil sebenarnya, mengingat Indonesia memiliki samudra lebih luas daripada daratan, dan langit yang membentang untuk dikawal. Akibatnya, kita dengar, para tentara kita beroperasi dengan pesawat atau kapal yang berusia lanjut, dan bahkan suku cadangnya mungkin harus dibongkarpasang alias dikanibal.

Ketidakseimbangan anggaran ini melanjutkan paradigma militer masa Orde Baru. Sejak masa Orde Baru, Angkatan Darat menikmati privelese paling besar. Anggaran mengguyur deras. Para prajurit kelas bawah tak mendapatkan kesejahteraan semestinya, sementara para jenderal dan perwira bisa berbisnis di mana-mana: mulai dari bisnis terang-benderang hingga bisnis kelabu. Para purnawirawan dan keluarga mereka direkrut menduduki jabatan-jabatan empuk negara, membangun usaha, dan ikut menciptakan konglomerasi.

Di masa damai, tentara-tentara yang disebut oknum menjadi beking diskotik dan bisnis terlarang. Di wilayah konflik, senjata dan peralatan perang ikut dibisniskan. Terutama di wilayah konflik ini, syahwat bisnis tentara tak hanya menjadi urusan personil di Angkatan Darat, tapi juga dua angkatan lainnya yang juga ingin cari untung. Celakanya, lagi-lagi, syahwat bisnis lebih banyak menguntungkan mereka yang berpangkat tinggi.

George Junus Aditjondro, mantan wartawan yang aktif menginvestigasi persoalan militer, pernah menulis bahwa rakyat di Papua 'menyubsidi bisnis TNI/AU, yang mengomersialisasikan pesawat-pesawat Hercules'. Tiket dijual bagi siapa saja yang ingin terbang ke Jawa setiap pekan pertama dan ketiga. Harganya lebih murah daripada pesawat milik maskapai penerbangan komersial. Tahun 2000, harga tiket dari Sentani ke pangkalan udara Iswahyudi di Madiun hanya Rp 900 ribu.

"Hasil penjualan tiket-tiket Hercules itu dibagi antara komandan pangkalan TNI/AU Merauke, komandan TNI/AU Papua Barat, pilot Hercules, dan komandan pangkalan TNI/AU di Madiun," tulis Aditjondro lima tahun silam.

Hercules mengungkap kembali wajah lain tentara Indonesia. Di satu sisi, naiknya tiga jenderal ke pentas pemilihan presiden dan wakil presiden menghadirkan wajah politik. Di sisi lain, tentara Indonesia masih belum bisa lepas dari tabiatnya untuk berbisnis dengan memanfaatkan peralatan perang yang sudah uzur.

Saatnya, pemerintah untuk jujur. Itu langkah pertama yang penting. Ini tak ada kaitannya dengan politisasi menjelang pemilihan presiden untuk menohok rezim Susilo Bambang Yudhoyono. Lagipula, siapa yang bisa mengatur langit bakal runtuh atau tidak sekalipun di ujung masa pemerintahan SBY.

Kejujuran akan membuka langkah berikutnya untuk mengambil langkah-langkah antisipasi, agar hal serupa tak terjadi lagi. Kita tentu tak ingin para serdadu kita selalu mati bukan di medan tempur, dan membawa serta korban sipil pula, bukan? (*)

No comments: