27 May 2009

Gajah Global Berperang, Penyelamatnya Ekonomi Kerakyatan

Pemerintah memang tak perlu anti investasi asing. Namun dengan ekonomi kerakyatan, pemerintah justru memperkuat potensi ekonomi lokal agar bisa bersaing dengan modal asing dan tak tergilas perang gajah ekonomi global.

Demikian pendapat yang disampaikan secara terpisah oleh dua ekonom, Ahmad Erani Yustika dan pengamat Ichasanudin Noorsy, Rabu (27/5/2009). Mereka menilai, selama lima tahun belakangan ini, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono lebih pro kepada neoliberalisme dan tidak berpihak kepada kekuatan ekonomi lokal.

Erani menegaskan, pemerintah lebih permisif terhadap investasi asing. Ia mencontohkan pertumbuhan hipermart dan retail mencapai 30 persen per tahun. Sementara, pasar tradisional justru tumbuh minus 8 persen per tahun.

"Ini artinya, sektor ekonomi besar tumbuh dengan jalan mengguncang ekonomi tradisional. Rakyat kecil semakin tergusur," kata Erani.

Pemerintah tentu saja tak perlu reaktif dengan melarang investasi asing. Justru tugas pemerintah adalah memperkuat posisi dan potensi ekonomi domestik. Komoditas domestik harus bisa berkompetisi dalam persaingan global.

Dengan semakin kompetitif dan tumbuhnya kekuatan ekonomi lokal, maka secara otomatis akan mengurangi ketergantungan terhadap investor asing. Inilah substansi dari sistem ekonomi kerakyatan.

Noorsy satu kata denga Erani. "Era global adalah era peperangan ekonomi, seperti perang ekonomi antara RRC dengan AS. Maka setiap capres yg sok ikutan perang ekonomi tanpa meperkuat domestik, sama dengan menyediakan perekonomian nasional digilas oleh salah satu pihak yg berperang," katanya.

Noorsy melihat, ekonomi kerakyatan dan sistem ekonomi liberal tidak akan sejalan. Ekonomi kerakyatan mengutamakan kesejahteraan dan kemakmuran secara menyeluruh. Neoliberalisme mengutamakan akumulasi modal pada individu melalui korporasi.

"Sejarah di Indonesia membuktikan, modal asing menggerus surplus ekonomi nasional. Kajian menunjukkan, modal asing yg ditanam 1 USD, yg dibawa keluar USD 10," kata Noorsy.

Noorsy mengingatkan, pengutamaan kepentingan nasional adalah pelaksanaan amanah konstitusi, bahwa negara melindungi segenap tumpah darah dan membebaskan diri dari penjajahan, termasuk pnjajahan ekonomi. "Ruang usaha dan modal asing terbuka luas, selama tujuannya tidak mendikte dan mendominasi seperti sekarang," katanya.

Sayangnya, substansi ini tidak dipahami dan dipelintir menjadi wacana 'ekonomi kerakyatan versus modal asing'. "Saya melihat ini dikarenakan ketidakmatangan dalam menyampaikan konsep ekonomi kerakyatan, atau ada juga pihak yang mencoba mempolitisasi," kata Erani.

Ditanya soal kebijakan ekonomi selama masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, Erani mengatakan, keberpihakan terhadap ekonomi kerakyatan masih lemah.

"Pertama, sebagian regulasi (yang berpihak) implementasinya lemah. Seperti aturan zoning, yang membatasi minimarket harus sekian kilometer dari pasar tradisional masih dilanggar. Kedua, memang regulasi tidak memihak ke ekonomi domestik," kata Erani.

Erani menunjuk platform ekonomi Presiden SBY yang kurang berpihak kepada ekonomi domestik. "Yang paling utama ideologi (adalah) penyebabnya," katanya.

Noorsy menyebut lima indikator bagaimana investasi asing berkuasa selama masa pemerintahan SBY. Pertama, neraca pembayaran (Capital Account). Selama bayar utang lebih besar daripada penarikan utang, selama itu neraca pembayaran negatif. "Itulah yg terjadi pada APBN di Indonesia, sejak kita tergantung padd utang luar negeri," katanya.

Kedua, modal asing pada pasar modal, SBI, obligasi. Selama modal mereka lebih besar porsinya, maka ekonomi Indonesia terancam fluktuatif. Ketiga, penguasaan dan pemilikan bank oleh asing seperti sekarang. Keempat, nilai tukar bebas dan lalu lintas devisa bebas. Kelima, pasar barang domestik dikuasai asing.

Soal konsep ekonomi tiga calon presiden, Erani memandang Jusuf Kalla paling rasional dan realistis. "Masalahnya, apakah jika Pak JK sudah jadi presiden, akan benar-benar mengimplemetasikannya," katanya.

Sementara, konsep Megawati dinilai bagus namun tak realistis. Pasalnya, Mega menargetkan pertumbuhan ekonomi dua digit di tengah kondisi saat ini. "SBY-Boediono fotokopi pemerintahan sekarang," kata Erani. [wir]

No comments: