27 May 2009

5 Tahun SBY, Petani Tak Mandiri

Susilo Bambang Yudhoyono selalu mengampanyekan keberhasilannya berswasembada pangan. Namun kalangan petani justru menilai, selama SBY memerintah, kemandirian tidak tercipta.

Ketua Asosiasi Petani Pangan Indonesia Jawa Timur Jumantoro mengatakan, swasembada pangan tak lepas dari iklim yang memang bersahabat. "Lima tahun terakhir ini, iklim basah. Tapi program-program pertanian tidak dikonsultasikan kepada petani dan dibuat di belakang meja," katanya, Rabu (27/5/2009).

Jumantoro mengkritik program pertanian pemerintahan Yudhoyono cenderung tak mendidik. "Bantuan pupuk dan bantuan benih cenderung membunuh kreativitas petani. Kita melihat, dalam model begitu, petani hanya menjadi objek, bukan subjek," kata pria yang juga dikenal sebagai fungsionaris Partai Keadilan Sejahtera itu.

Petani sesungguhnya mengharapkan subsidi hasil pertanian, bukan subsidi pupuk. Dengan demikian, akan berdampak langsung kepada petani. Kritik serupa soal subsidi ini pernah dikemukakan oleh seorang petani dalam acara temu wicara di Bondowoso dengan Menteri Pertanian Anton Apriantono.

Saat itu, Anton mengatakan, sebagian anggaran pertanan diarahkan untuk subsidi. Ia menyatakan, petani menikmati harga urea Rp 1.200 per kilogram, sementara harga sesungguhnya tanpa subsidi mencapai Rp 5.000 - 7.000 per kilo. Subsisi pupuk mencapai Rp 17 triliun.

Petani menilai, subsidi pupuk hanya dinikmati pengusaha, dan sebaiknya dialihkanuntuk menyubsidi hasil. Pemerintah seharusnya mengalihkan subsidi itu bagi petani, agar bisa dan mau membuat pupuk organik. Selama ini, petani terlalu bergantung kepada pupuk anorganik.

Subsidi pupuk anorganik tak menyelesaikan persoalan. Pasalnya, selama ini kelangkaan pupuk selalu terjadi, mengingat kebutuhan dan persediaan yang tak seimbang. Di lain pihak, penggunaan pupuk anorganik selama bertahun-tahun, telah menipiskan unsur hara di tanah. Pemerintah selalu menggembar-gemborkan penggunaan pupuk organik, tapi tidak diikuti tindakan kongret dan tegas.

Jumantoro mengecam anggaran triliunan bagi sektor pertanian yang justru menciptakan pemain-peman baru. Ada bantuan yang dinilai tak tepat sasaran, kualitas tak sebagaimana diharapkan, dan tidak dikontrol dengan baik. Anggaran pertanian cenderung tanpa perencanaan baik.

Kritik lain yang mengemuka adalah tumpang tindihnya fungsi Departemen Pertanian dengan pemberdayaan masyarakat melalui lembaga keuangan mikro (LKM). Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Jember Mirfano mengritik Deptan yang membuat program LKM bagi petani.

Deptan mengucurkan Rp 100 juta per desa untuk gabungan kelompok tani agar bisa membentuk semacam LKM. Keberadaan LKM justru akan semakin menipiskan potensi koperasi tani yang selama ini sudah ada. Pemerintah seharusnya menumbuhkan niat berkoperasi bagi petani. (wir)

No comments: