26 May 2009

Boediono Coba Hindari 'Neolib', PKS-PAN Kerepotan

Pemilihan Boediono sebagai pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan mendatang membuat partai pendukungnya perlu bekerja keras. Dua partai utama pendukung SBY-Boediono (SBY-No), PKS dan PAN, harus bisa menjelaskan rasionalisasi pemilihan Boediono sebagai calon wakil presiden.

Pemilihan Boediono memang mengandung kontroversi. Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera sempat maju-mundur untuk memberikan dukungan ke SBY-No. Boediono dipandang sebagai sosok yang kurang ideal, terutama karena identik dengan simbol neoliberalisme.

Memang, saat deklarasi duet SBY-No di Bandung pada Jumat malam, 16 Mei lalu, petinggi PKS dan PAN hadir. Namun perkembangan berikutnya, kenyataan di lapangan, masih belum semua konstituen dan kader kedua partai yang bisa menyetujui keputusan partai mereka.

Dosen politik Universitas Jember lulusan Flinders University Australia, Himawan Bayu Patriadi mengatakan, tantangan bagi PKS dan PAN adalah menjelaskan kepada akar rumput mengenai sosok Boediono. Ia melihat, perbedaan karakter konstituen kedua partai juga berpengaruh.

Massa PKS adalah massa terdidik, kelas menengah, dan cenderung patuh. "Penting bagi PKS memberikan penjelasan kepada kader dan konstituennya. Boediono orang baru. Masa kampanye presiden satu bulan perlu digunakan untuk memberi penjelasan itu," kata Bayu, Selasa (26/5/2009).

Di mata Bayu, tantangan yang dihadapi PAN lebih besar daripada yang dihadapi PKS dalam memberi penjelasan kepada konstituen. Pasalnya, hubungan antara PAN dengan konstituennya relatif lebih rasional dan cair. Apa yang diputuskan pengurus PAN tak selamanya bakal dipatuhi oleh konstituennya.

Sementara itu, di satu sisi, Boediono sedang mencoba menghindari istilah neoliberalisme yang dilekatkan kepadanya. "Istilah neolib itu istilah akademis. Boediono ingin menghindar itu, karena pemahaman konsep neolib ditangkap orang berbeda-beda," kata Bayu.

Bagaimanakah prospek pasangan SBY-No? Belajar dari pemilu presiden 2004, apapun partainya, banyak konstituen yang memilih SBY-JK, yang tak didukung koalisi partai besar saat itu.

Kini, pemilihan presiden 2009, giliran SBY-No didukung koalisi besar elite partai politik. Apakah ini bakal sebanding dengan perolehan suara partai-partai pendukung?

Bayu mengatakan, hasil pemilihan legislatif tak selamanya sebanding dengan pemilihan presiden. Sejatinya, perolehan suara SBY bisa dilihat dari perolehan suara Partai Demokrat saat pemilu legislatif lalu yang mencapai sekitar 20,85 persen dari suara sah. Berarti ada 80 persen yang belum menentukan pilihan ke SBY.

"Ikatan emosional pemilih pada pemilu legislatif lalu lebih kuat daripada saat pemilihan presiden, karena caleg yang dipilih memiliki kedekatan," kata Bayu mengingatkan. (wir/bj0)

No comments: