28 May 2009

Final Liga Champions 2009
11 Pria Dewasa Menaklukkan 11 Bayi

Pelajaran apa yang bisa diambil dari Final Liga Champions di Roma, Kamis (28/5/2009) dinihari? Inilah kemenangan 11 pria dewasa atas 11 bayi. Kemenangan sepakbola indah yang konsisten.

Saat menekuk Arsenal 3-1 pada leg kedua semifinal Liga Champions, seorang pemain MU dengan pongahnya mengatakan: "Ini seperti 11 orang dewasa melawan 11 bayi." Ia seperti ingin menegaskan dominasi Setan Merah atas anak-anak muda London. MU seperti lupa, bahwa permainan mereka tak sesempurna itu.

Di Liga Inggris, kemenangan MU tak pernah impresif. Sebagian besar kemenangan mereka diraih dengan skor tipis, dan gol-gol di menit terakhir.

Dalam urusan produktivitas di liga domestik, mereka kalah impresif dibandingkan The Reds Liverpool yang mampu menyarangkan 77 gol dalam 38 laga. MU setali tiga uang dengan Chelsea dan 'para bayi' Arsenal, mencetak 68 gol.

MU hanya menempatkan dua pemainnya dalam daftar 11 besar top skor, yakni Cristiano Ronaldo (18 gol) dan Wayne Rooney (12 gol). Bandingkan dengan Liverpool yang menempatkan tiga pemainnya: Steven Gerrard (16 gol), Fernando Torres (14 gol), dan Dirk Kuyt (12 gol). Namun di sisi pertahanan, MU sama baiknya dengan Chelsea yang hanya kebobolan 24 gol di liga Inggris.

Statistik liga domestik yang diraih MU ini bak bumi dan langit, jika dihadap-hadapkan dengan Barcelona. Hingga laga ke 37, Barcelona sudah mengemas 104 gol dan hanya kebobolan 34 gol. Barca merupakan tim terproduktif sekaligus tertangguh di sektor pertahanan. Tiga pemainnya pun menduduki 10 pencetak gol terbanyak di liga Spanyol: Samuel Eto'o (29 gol), Lionel Messi (23 gol), dan Thierry Henry (19 gol).

Sementara di Liga Champions, sejak fase penyisihan grup hingga semifinal, Barca telah mengemas 30 gol dan kebobolan 13 gol. Sementara MU mengemas 17 gol dan kebobolan 6 gol.

Tak pelak. Pertahanan Barcelona sulit dijajah lawan, karena lawan terlalu sibuk menghadapi gempuran trisula Cataluna. Barca tangguh karena meyakini dalil 'menyerang adalah pertahanan terbaik'. Sementara MU, jika mengacu di Liga Inggris, lebih meyakini sepakbola efektif. Tak perlu terlampau indah dan super atraktif dengan banyak gol, asal menang.

Apa yang terjadi dalam final di Roma, ternyata tak jauh-jauh amat dari gambaran statistik di atas. Barca benar-benar menunjukkan bagaimana sebuah tim yang baik seharusnya menyerang dan terus menyerang. Mereka kuasai bola selama mungkin, dan tak gentar berhadap-hadapan dengan para pemain MU yang merangsek pertahanan mereka.

Sedikit-banyak, apa yang dilakukan Barca sama dengan yang dilakukan Liverpool. The Reds boleh saja gagal meraih gelar liga Inggris. Namun, ia menjadi satu-satunya tim yang bisa menumbangkan MU dua kali dalam musim ini. Kemenangan terbesar justru terjadi di Old Trafford: 4-1. Saat itu 11 orang dewasa dari Merseyside seperti memberi pelajaran 11 anak-anak Manchester.

Malam yang indah di Roma. Roma telah memberi pelajaran berharga kepada MU, bahwa Setan Merah tak sehebat yang dikira banyak orang. Para pemain MU yang frustasi dan seperti kehilangan kepala menyadarkan semua orang, bahwa sang manajer Alex Ferguson butuh pemain sekaliber skipper Liverpool, Steven Gerrard.

Gerrard menjadi mahal karena karismanya mampu membangkitkan semangat kawan-kawannya di Liverpool, saat tertinggal. Determinasinya kuat dan tak mudah dibakar emosi. Di Istanbul pada Final Liga Champions 2005, ia memimpin kawan-kawannya merebut juara setelah sempat tertinggal 0-3 dari AC Milan di babak pertama. Ia juga yang memompa motivasi, saat Liverpool tertinggal 0-1 dari MU di Old Trafford dan berhasil membalik keadaan, menang 4-1.

Di Roma, Ferguson hanya mempunyai Cristiano Ronaldo yang emosinya mudah pasang, setelah berkali-kali gagal melewati Puyol. Ronaldo yang mudah terprovokasi sehingga kena kartu kuning. Untunglah Wayne Rooney yang biasanya meledak-ledak bermain sangat tenang, sehingga mampu menghidupkan serangan Setan Merah. Namun itu tak cukup.

Roma juga mengajarkan kepada MU, bahwa mereka membutuhkan suporter sehebat dan segarang Liverpudlian. Suporter yang tak loyo, saat timnya tertinggal angka sekali pun. Di Istanbul, saat Liverpool tertinggal 0-3 dari AC Milan, seluruh suporter Liverpool berdiri di masa jeda: menyanyikan You'll Never Walk Alone. Sejumlah pengamat dan jurnalis berpendapat, nyanyian itu mampu membuat pemain-pemain Liverpool bangkit dan bertarung lagi bak singa terluka.

Terakhir, Roma mengajarkan kepada para pemain dan penggemar MU agar tak percaya dengan takhayul: jika berkostum putih bakal juara. Mungkin mereka lupa, bahwa Real Madrid yang ditekuk Barcelona di Liga Spanyol juga berkostum putih-putih.

Selamat kepada Barcelona. Selamat kepada pelatih Pep Guardiola. Kemenangan Barca atas MU semakin mengukuhkan fenomena musim ini: Alex Ferguson tak pernah menang berhadapan head to head dengan pelatih asal Spanyol. Di Liga Inggris, ia takluk dua kali dari pelatih Liverpool Rafael Benitez. Kebetulan sekali, Rafa dan Pep sama-sama berambut tipis di ubun-ubun alias botgun (botak dan gundul).

Barca yang sempurna. MU yang bukan segalanya seperti yang dikira. Malam yang indah di Roma. [wir]

No comments: