09 April 2009

Sinyal Bahaya dari Ponorogo

Jelang masa pencotrengan, publik dibuat terperangah oleh kabar dari Ponorogo, Jawa Timur. Suhu politik di Daerah Pemilihan VII untuk DPR dan DPRD Provinsi ini mendadak panas, setelah sejumlah orang melaporkan dugaan money politics.

Ini bukan urusan politik uang biasa. Nama Edhie Baskoro Yudhoyono ikut tersangkut, karena uang Rp 10 ribu dibagikan bersama brosur yang mempromosikan nama putra Presiden SBY itu. Ibas, sapaan akrab Edhie, memang dicalonkan Partai Demokrat di nomor urut ketiga untuk calon legislator DPR RI.

Di berbagai daerah, termasuk di Jawa Timur, modus pembagian uang dengan disertai brosur, stiker, atau ajakan langsung untuk memilih salah satu calon legislator mudah ditemui. Panitia Pengawas Pemilu pun tak segan mengusut pelakunya dan menyeretnya ke pengadilan. Belum pernah terdengar kasus ini kemudian melebar ke mana-mana.

Namun tidak demikian dengan kasus yang membuat nama Ibas terseret. Menanggapi berita yang muncul dari Ponorogo, Ibas dan orang-orang Demokrat terkesan reaksional dan emosional. Ibas langsung melaporkan ke Markas Besar Kepolisian RI, karena merasa nama baiknya dicemarkan.

Reaksi polisi di luar kebiasaan pula. Polisi langsung menetapkan pelapor dugaan politik uang itu sebagai tersangka. Bahkan, tiga pimpinan media massa yakni The Jakarta Globe, Harian Bangsa, dan Okezone.com ikut-ikut jadi tersangka karena dianggap memuat berita palsu. Yang tak biasa pula, polisi langsung menganulir status tersangka tiga pimpinan media tak lama dari masa penetapan. Sementara, orang yang diduga melakukan politik yang justru tak terdengar kabar penanganannya.

Dari kasus di Ponorogo ini, ada sinyal bahaya yang bisa ditangkap publik. Pertama, bagaimana persoalan dugaan politik uang yang seharusnya menjadi musuh bersama dalam kehidupan demokrasi kita, ternyata tak mudah diusut begitu saja jika menyebut nama orang yang dekat dengan kekuasaan di sana.

Kedua, 'kepanikan' polisi menjadikan tersangka tiga pimpinan media menunjukkan bahwa aparat masih belum mampu memahami fungsi pers. Sangkaan awal bahwa tiga media itu membuat berita palsu, menunjukkan betapa aparat tidak mengerti apa yang disebut berita dan bukan.

Selama peristiwa pembagian uang itu faktual, maka memberitakannya bukan membikin berita palsu. Selama pers melakukan tugasnya dengan disiplin yang benar dalam memberitakan, maka tugas pers telah tunai. Tugas aparat hukumlah yang kemudian menindaklanjuti peristiwa itu, dan mencari tahu kebenarannya di mata hukum positif.

Dalam kasus ini, persoalan politik uang yang seharusnya diselesaikan di ranah hukum murni, justru menjadi bias dan teropini di ranah politik. Dijadikannya pelapor praktik politik uang sebagai tersangka adalah preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Ini menunjukkan bagaimana negara tidak mampu melindungi warganya yang berupaya aktif membantu aparat untuk memberantas perilaku jahat. Jika ditarik lebih jauh, bagaimana pula negara nanti bisa menjamin keselamatan warganya yang melaporkan tindak kejahatan yang lebih rumit seperti korupsi, misalnya. Orang akan segan menjadi 'peniup peluit', jika kemudian hanya akan dijadikan kambing hitam dan dijerat pasal pencemaran nama baik.

Seharusnya, kepolisian, Ibas, dan Partai Demokrat bersabar mengikuti aturan main yang sudah disepakati bersama. Biarkanlah kasus dugaan politik uang ini diusut tuntas dulu hingga ke pengadilan. Pelaku penyebaran uang ditangani dan diadili. Jika memang tidak terbukti bersalah, maka bisa diambil jalan penuntutan balik terhadap sang pelapor dengan pasal pencemaran nama baik.

Mengacu penanganan kasus politik uang pemilu di sejumlah daerah, sebagian tersangka dinyatakan bersalah dan dihukum badan maupun denda. Namun mayoritas para terhukum itu adalah operator di lapangan yang membagikan uang langsung. Bukannya sang caleg yang namanya dipromosikan bersamaan dengan uang yang dibagikan. Pasalnya, hukum kita membutuhkan bukti material yang bisa menghubungkan satu perbuatan seseorang dengan perbuatan orang lain.

Artinya, Ibas maupun Demokrat tak perlu kebakaran jenggot ketika ada laporan politik uang yang menyeret mereka. Jika memang merasa tidak bersalah, cukuplah sampaikan kepada publik melalui media, bahwa pembagian politik uang tak terkait dengan mereka. Dengan begitu, nama Ibas dan Demokrat tetap terjaga, dan proses hukum tetap dihormati tanpa ada praduga intervensi penguasa.

Media massa yang memberitakan secara kritis kebobrokan perilaku berpolitik tak perlu dimusuhi. Jika memang tidak puas, negara kita sudah menyediakan mekanisme penyelesaian elegan. Kriminalisasi kepada media massa dengan dalih berita hanya akan mematikan demokrasi yang telah kita semai bersama.

Maka mari kita dukung terus Panwaslu dan aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus politik uang di Ponorogo secara adil. Hanya ada satu kata bagi mereka: Lanjutkan! [wir]

No comments: