31 March 2009

Tiada Bendera Setengah Tiang untuk Situ Gintung

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode ini dibuka dan ditutup oleh bencana. Tahun 2004 diawali Tsunami Aceh. Tahun 2009 ditutup tragedi Situ Gintung.

Tragedi Situ Gintung mengingatkan masyarakat Jawa Timur pada tragedi banjir bandang Panti Jember, awal tahun 2006. Saat itu, ratusan orang tewas, ribuan rumah terkubur lumpur. Dahsyat.

Bencana memang bisa saja terjadi di mana-mana. Maut memang mengintip setiap saat. Tragedi yang memakan banyak korban jiwa bisa saja diabsahkan sebagai takdir. Namun bukan itu masalahnya. Sebagian bencana di Indonesia tak sekadar berurusan dengan takdir. Tapi juga kelalaian pemegang otoritas dalam menjalankan tugas.

Di Situ Gintung, ada cerita, warga sudah berkali-kali melapor soal rapuhnya waduk tersebut. Namun pemegang otoritas justru menganggap ringan laporan yang masuk. Di Panti, ada cerita, pohon-pohon dibabati, diubah menjadi kebun kopi. Bahkan, ada yang mengatakan, oknum pemangku kebijakan ikut bermain. Tak ada tindak lanjut.

Dari sini sudah terlihat, betapa pemerintah kita tidak memiliki daya antisipatif yang cukup. Pemerintah kita terbiasa bekerja dengan menggunakan buku teks, tanpa punya daya kreatif untuk menangani persoalan yang muncul di tengah jalan.

Sangat disesalkan, belum ada suara yang nyaring yang menyatakan diri bertanggungjawab atas apa yang terjadi di Situ Gintung. Berbeda sekali dengan kampanye di televisi, yang semuanya menyatakan diri bertanggungjawab atas keberhasilan program pemerintah yang populis, terlepas apakah program itu memang tepat atau tidak. Saya berharap, orang-orang pemerintahan yang bertanggungjawab atas tragedi ini harus diusut tuntas dan dibawa ke meja hukum.

Lebih disesalkan lagi, pemerintah kita tak punya sensitivitas. Di Australia, bencana kebakaran yang 'hanya' membunuh puluhan orang saja sudah membuat negara mengerek bendera setengah tiang. Di Jerman, kematian belasan korban penembakan diperingati sebagai hari berkabung nasional.

Bagaimana dengan di Indonesia? Situ Gintung tidak cukup membuat pemerintah mengeluarkan seruan berkabung nasional. Yang ada, partai-partai politik malah memanfaatkan tragedi itu sebagai kampanye terselubung. Orang-orang menjadikan Situ Gintung sebagai kawasan tontonan. Presiden kita dengan bajik mengeluarkan bantuan dengan menempelkan keterangan 'Bantuan dari Presiden RI', seolah-olah Presiden RI bukan satu bagian dari pemerintah RI yang seharusnya ikut bertanggungjawab terhadap tragedi ini.

Situ Gintung. Panti Jember. Semua tentang hikayat alam yang marah. Seperti kata Emha Ainun Najib, kematian bukanlah tragedi, kecuali kita mengambil hak Tuhan untuk melakukannya. Di Situ Gintung, pemangku otoritas sama saja mencuri hak Tuhan itu dengan melakukan kelalaian yang memakan korban jiwa dan harta. [wir]

No comments: