25 March 2009

Kasak-Kusuk Busuk

Di jagat politik Indonesia, tak afdol rasanya jika tak bicara tentang teori konspirasi: siapa sang dalang, siapa bersekongkol dengan siapa, siapa menjatuhkan siapa. Selama puluhan tahun, benak publik selalu dicekoki teori 'sang dalang' di balik berbagai peristiwa. Maka bertebaranlah isu tentang 'hijaunisasi', 'kristenisasi', 'kudeta', dan lain-lain.

Politik Indonesia memiliki tiga nama besar dalam pusaran teori konspirasi ini: Ali Moertopo, Leonardus Benedictus Moerdani, dan tentu saja Soeharto. Semuanya sudah almarhum. Namun jejak-jejak teori konspirasinya tercium hingga saat ini.

Ali Moertopo, orang kepercayaan Soeharto, diyakini menjadi ahli strategi dan taktik yang mendesain wajah politik rezim Orde Baru. Moertopolah yang mendefinisikan sekaligus menyingkirkan oposisi. Dialah otak pembungkaman politik selama bertahun-tahun. Peristiwa Malari dan isu Komando Jihad diduga kuat sebagai rekayasanya.

Dalam buku Reporting Indonesia, Bill Tarant menyebut jaringan intelijen Moertopo sebagai 'Kebun Bintang'. Ada cendekiawan kiri, pejuang jihad, anggota gang, dosen, ulama, jurnalis, kepala suku, pemimpin organisasi.

LB Moerdani, yang akrab disapa Benny, disebut-sebut sebagai otak pembantaian umat Islam. Kelompok Islam politik selalu menyebut Benny dan kelompoknya sebagai lawan ideologis. Benny dianggap bertanggungjawab atas serangkaian pembantaian umat Islam, terbesar adalah di Tanjung Priok. Ia juga dianggap sebagai bagian dari gerakan kristenisasi Indonesia.

Nama Benny kembali disebut-sebut dalam buku Sintong Panjaitan, mantan jenderal TNI. Awal dasawarsa 1980-an, Benny diisukan hendak menjatuhkan Presiden Suharto. Prabowo Subianto, menantu Suharto yang saat itu masih kapten, berniat menculik Benny.

Maha aktor teori konspirasi Indonesia, tentu saja, Suharto. Awal kemunculannya sebagai pemimpin Indonesia juga dipenuhi teori konspirasi seputar Surat Perintah 11 Maret. Saat ia lengser tahun 1998, sejumlah kerusuhan yang muncul di Indonesia juga disebut-sebut tak luput dari campur tangannya.

Tiga tokoh utama dalam teori konspirasi Indonesia itu sudah meninggal. Hingga saat ini, tidak ada bukti faktual yang bisa dijadikan dasar yuridis dan historis untuk membenarkan peran mereka dalam teori tersebut. Semuanya kasak-kusuk. Teori konspirasi tak ubahnya kentut: busuk tercium, namun siapa yang bikin tak ada yang mau mengaku.

Kendati tiga tokoh utama dalam 'perkonspirasian' sudah tiada, teori konspirasi masih diminati hingga saat ini sebagai dasar penjelasan gejala dan fakta politik. Yang terbaru tentu saja masalah daftar pemilih tetap. Sebagian kalangan menyebut ini konspirasi dan ada desainer yang sengaja memanipulasi DPT untuk kepentingan politik tertentu. Siapa yang jadi desainer, siapa yang diuntungkan, tak jelas juga. Semua narasumber politik media enggan buka suara.

Teori konspirasi DPT semakin terasa saat seorang jenderal polisi mengundurkan diri menjelang masa pensiunnya, dengan alasan kecewa terhadap intervensi Markas Besar Kepolisian RI. Jika diterus-teruskan teori konspirasi ini, sebenarnya sang mantan jenderal bisa kena juga, karena ia teman satu angkatan akademi militer dengan salah satu calon wakil gubernur yang merasa dicurangi oleh DPT pemilihan gubernur.

Lalu muncul pula pernyataan dari seorang mantan anggota KPU di Media Indonesia, bahwa dirinya melihat agenda pelemahan KPU. Ia menyebut tiadanya orang-orang yang mumpuni di bidang demografi di KPU.

Berpuluh-puluh tahun negeri ini hidup dalam ketertutupan informasi. Tidak ada transparansi. Tidak ada penjelasan. Pendapat yang berbeda diberangus. Ini membuat teori konspirasi tumbuh subur. Orang suka kasak-kusuk mencium bau busuk, karena tahu itu sulit dibuktikan. Berkasak-kusuk menuduh si A atau si B sebagai pelaku sama asyiknya dengan bergosip kehidupan artis dalam sebuah acara infotainment.

Pada akhirnya, teori konspirasi yang dibiarkan beranak-pinak hanya menyuburkan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah dan elite politik. Rakyat akhirnya mudah curiga bahwa suatu kejadian pasti didalangi oleh seseorang, atau berada dalam bagian desain yang lebih besar. Ini benar-benar tak menyehatkan bagi iklim demokrasi.

Apakah ini berarti kita menolak sama sekali teori konspirasi? Bukan begitu. Teori konspirasi sebaiknya dijadikan awal bagi dilakukannya reportase investigatif. Sebuah konspirasi pasti berujung pada sebuah kejahatan atas kepentingan publik. Di sinilah, media massa memiliki peran untuk mengungkapnya, sehingga tak sekadar jadi kasak-kusuk tanpa fakta.

Para elite politik juga sebaiknya berhenti melontarkan kata-kata yang tak jelas juntrungnya dalam suasana pemilu seperti saat ini, seperti 'ada desainer', 'ada dalang', 'agenda pelemahan', dan sebagainya. Kata-kata tak jelas yang bermaksud memojokkan salah satu pihak itu hanya akan membuat rakyat semakin bertanya-tanya, dan akhirnya apatis terhadap kelakuan para elite. [wir]

No comments: