16 March 2009

Politik Mengubur Sepakbola

Yakinlah, prestasi sepakbola Indonesia tak akan pernah beranjak membaik. Premis ini tetap akan berlaku selama politik masih bersenyawa dengan olahraga yang paling populer di negeri ini.

Dihentikannya sementara kompetisi sepakbola profesional karena berbarengan dengan jadwal kampanye pemilu, menunjukkan bagaimana politik mengubur sepakbola. Sepakbola diposisikan sebagai yang terkalahkan.

Asumsinya: kerumunan massa penonton sepakbola berpotensi rusuh. Apalagi jika bertemu dengan kerumunan massa partai politik. Belum lagi ada provokator yang masuk ke tengah penonton sepakbola.

Jika melihat rekam jejak penonton Indonesia, asumsi itu bisa diterima. Walaupun, belum ada rekam jejak yang bisa memastikan suporter sepakbola pernah bentrok dengan pendukung partai politik.

Namun, asumsi itu sebenarnya juga menandakan kelemahan aparat keamanan Indonesia. Sedikit banyak ini menunjukkan aparat keamanan kita tak mampu menangani dua peristiwa penting sekaligus yang melibatkan massa. Sepakbola dijadikan tumbal, dan akhirnya dianggap kurang penting dibandingkan pemilu.

Asumsi yang mengandaikan sepakbola tidak lebih penting daripada pemilu sebenarnya juga lemah. Rekam jejak menunjukkan kerusuhan gawat dan meluas dalam sepakbola terakhir terjadi Januari 2008 di Kediri, saat Aremania mengamuk. Selebihnya, pertandingan sepakbola di sebuah wilayah memutar roda ekonomi rakyat kecil: bakul lumpia, penjual air mineral, penjual nasi, calo tiket, penjual pakaian suporter. Sepakbola juga menyangkut hajat hidup orang banyak.

Semakin banyak tiket yang terjual, maka bisa menghidupi sekian orang yang menggantungkan hidup sebagai pemain sepakbola. Belum lagi sponsor yang sudah mengeluarkan ongkos banyak agar bisa memejeng produk mereka di kaos tim maupun di televisi.

Politik? Saya sampai saat ini belum punya data bahwa pengerahan massa bisa membina hajat hidup orang banyak. Malah yang saya tahu, pengerahan massa politik lebih berpotensi 'membinasakan' hajat hidup orang banyak. Kerumunan massa politik lebih mudah berbenturan dan bikin orang khawatir.

Sebagian massa politik juga digerakkan dengan duit oleh politisi. Bandingkan dengan massa suporter sepakbola yang justru mengeluarkan duit agar datang ke stadion. Dalam konteks ini, pembentukan massa politik justru menunjukkan adanya praktik tak elok dan tak patut: money politics.

Kepentingan politik juga banyak menunggangi sepakbola. Tak sedikit pengurus sepakbola di negeri ini yang menjadi politisi dan mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau kepala daerah. Ujung-ujungnya, nama dan reputasi sebuah tim sepakbola ikut dibawa-bawa. Keberhasilan membawa sebuah tim sepakbola menjadi juara, dijadikan modal kampanye sang politisi.

Haramkah politik bercampur dengan sepakbola?

Di sejumlah negara maju sekalipun, memang sulit melepas motif politik dalam sepakbola. Piala Dunia sendiri diadakan untuk meredam nafsu politik perang sejumlah negara, dan diwujudkan dalam pertandingan sepakbola. Tak heran, secara emosional pertandingan sepakbola Piala Dunia acap panas.

Simak saja bagaimana pertemuan Jerman dan Inggris selalu dipenuhi retorika Perang Dunia II hingga saat ini. Simak pula bagaimana panasnya pertemuan Argentina dengan Inggris, dua negara yang berperang gara-gara berebut Pulau Malvinas.

Ryszard Kapuscinsky, reporter Polandia, pernah menulis dalam buku The Soccer War, bagaimana El Salvador dan Honduras berperang gara-gara sepakbola.

Silvio Berlusconi, bos AC Milan, pernah mulus menjadi perdana menteri Italia dengan mengibarkan panji-panji Partai Forza Italia. Kata 'Forza' banyak diteriakkan pendukung Ac Milan saat mendukung kesebelasannya.

Lazio, klub asal Roma itu, dulu dikenal sebagai klub yang dicintai Bennito Mussolini, pemimpin fasis Italia. Mussolini menggunakan bermacam cara agar Lazio bisa memenangkan liga Italia.

Klub sepakbola juga menjadi ekspresi identitas perlawanan nasional. Warga Catalan yang sudah lama ingin bercerai dengan Spanyol, menjadikan tim Barcelona sebagai identitas dan harapan perlawanan terhadap pemerintah. Barcelona boleh kalah dengan siapapun asal tidak dengan Real Madrid, klub yang dulu begitu didukung rezim pemerintahan Franco.

Di Skotlandia, persaingan sepakbola bisa menjadi simbol persaingan antar agama. Polisi selalu bersiaga penuh jika Glasgow Rangers yang didukung warga Protestan berhadapan dengan Glasgow Celtics yang didukung warga Katolik.

Namun, di negara-negara tadi, kendati motif politik sulit dilepas dari sepakbola, tidak kemudian politik menggusur sepakbola. Pertandingan sepakbola tidak dihentikan hanya karena berbarengan dengan masa kampanye pemilu. Pemilu dan kompetisi sepakbola adalah dua hal yang berbeda.

Menghentikan kompetisi sepakbola walau sementara karena alasan politik, berarti mematikan sebuah industri bernilai miliaran dollar. Masuknya dalih politik untuk menghentikan kompetisi akan merontokkan kepercayaan investor dan mereka yang telah membuang banyak uang untuk menegakkan sepakbola sebagai sektor yang menguntungkan.

Di Indonesia, tergusurnya sepakbola oleh kegiatan politik, menunjukkan bahwa sepakbola belum menjadi industri di negeri ini. Sepakbola disamakan dengan cabang olahraga lain, dandianggap tidak mampu menggerakkan roda ekonomi serta tak berpotensi mendatangkan duit.

PSSI sudah saatnya serius membenahi sepakbola Indonesia agar menjadi industri yang menguntungkan. Hal pertama yang dilakukan adalah mengubah statuta PSSI dan menetapkan agar politisi dan pejabat negara tidak boleh ikut campur sebagai pengurus atau pucuk pimpinan klub sepakbola.

Hal lainnya adalah setiap klub sepakbola harus memiliki sponsor yang siap membiayai hingga akhir kompetisi. Jika tidak, lebih baik tidak mengikuti kompetisi profesional dan diubah statusnya menjadi klub amatir. Dengan demikian kesebelasan sepakbola dan suporternya memiliki kebanggaan.

Untuk saat ini, karena kompetisi sudah berlangsung, maka pemerintah sebaiknya tidak menghentikan pertandingan yang sudah dijadwalkan. Kalau aparat keamanan merasa tak mampu mengamankan momentum kampanye dan sepakbola sekaligus, ada baiknya semua pertandingan yang sudah dijadwalkan dilangsungkan tanpa penonton. Dengan demikian klub dan sponsor tidak dirugikan.

Terakhir, sudah saatnya pemerintah berhenti memanjakan partai politik. Dana politik bagi partai, baik resmi maupun tak resmi, tak perlu lagi dikucurkan. Pemberian dana politik, apapun bentuknya, bagi parpol, hanya memunculkan kemanjaan, ketidakmandirian politik, dan penghinaan kepada partai itu sendiri. Kalau klub sepakbola tidak boleh mendapat dana negara, kenapa partai politik boleh? [wir]

No comments: