21 March 2009

Negeri yang Melecehkan Statistik

Sejumlah politisi dan partai politik mewacanakan kemungkinan penundaan pemilihan umum. Alasan pokoknya adalah kekhawatiran pemilu tidak akan berlangsung jujur dan adil. Mereka menengarai adanya kecurangan tersistematis yang dilakukan melalui manipulasi daftar pemilih tetap (DPT).

Kasus pemilihan gubernur Jawa Timur menjadi acuan. Khofifah Indar Parawansa - Mudjiono yang kalah tipis dari lawannya, Soekarwo - Saifullah Yusuf, merasa dicurangi melalui DPT. Sinyal kecurangan DPT semakin kuat, setelah mantan Kepolisian Daerah Jatim Herman Surjadi Sumawiredja mengundurkan diri menjelang masa pensiunnya, dengan alasan kecewa atas intervensi Markas Besar Polri dalam kasus dugaan kecurangan DPT.

Jujur saja, keruwetan yang dimunculkan DPT sebenarnya adalah cerita yang berulang tentang negeri yang meremehkan statistik. Dari pemerintahan ke pemerintahan, kita cenderung mengabaikan pendataan penduduk dan baru melakukan politisasi saat membutuhkan.

Pemerintah kita dari masa ke masa tidak pernah memperlakukan data kependudukan sebagai mother of our development system (ibunda sistem pembangunan). Dalam sebuah pembangunan yang berkelanjutan, data kependudukan adalah segalanya. Sebaik apapun program pembangunan, tidak akan bisa berlangsung baik, jika data kependudukan amburadul.

Kegagalan dan tidak tepatnya sasaran program pembangunan karena pemerintah gagal mengidentifikasi rakyat yang menjadi sasaran. Sebutlah program pemberantasan kemiskinan melalui berbagai bantuan yang ternyata tak semuanya diterima warga miskin. Bahkan ada bantuan yang tak tepat sasaran. Ini semua karena data kependudukan kita yang tidak cukup valid.

Selain meremehkan data kependudukan, ada kecenderungan sebagian unsur birokrasi kita mempolitisasi data itu. Untuk mendongkrak pamor politik, statistik warga miskin dilaporkan lebih rendah. Sementara di lain waktu, saat banyak duit bantuan hendak mengalir ke kocek pemerintah, angka warga miskin mendadak meningkat.

Di Jember, untuk menyebut salah satu contoh, pemerintah daerah tidak memenuhi kuota warga miskin yang berhak memperoleh asuransi kesehatan dari pemerintah pusat. Alasannya, saat pendataan, jumlah warga miskin yang berhak memperoleh bantuan tak sebesar kuota. Ujung-ujungnya, pemerintah Jember harus merogoh kocek APBD untuk memberi subsidi kesehatan, karena ternyata masih banyak warga miskin yang belum terdata.

Kegagalan pendataan penduduk dikarenakan pemerintah tidak serius menyiapkan infrastuktur mulai dari atas hingga bawah. Secara aturan, negara mengamanatkan adanya sistem informasi kependudukan (SIAK) yang terintegrasi. Namun realitasnya, tak semua daerah mampu membangun jaringan database secara online.

Boleh dibilang tak ada daerah yang memiliki perangkat khusus bernama petugas registran, yang bergerak di tingkat desa, hanya untuk mencatat pergerakan warga: lahir, pindah, meninggal. Padahal undang-undang mengamanatkan perlunya petugas khusus itu.

Dalam konteks DPT, boleh jadi tengara sebagian politisi bahwa ada manipulasi memang benar. Namun tidak adil juga jika mengatakan ketidakberesan DPT seluruhnya disebabkan oleh faktor kesengajaan. Saya sendiri cenderung beranggapan, sebagian besar persoalan DPT disebabkan ketidakmampuan pemerintah selama ini menjalankan pendataan penduduk yang benar.

Saat pilgub lalu, beberapa kali beritajatim.com menulis tentang adanya data penduduk yang ganda karena faktor pendataan yang tak beres. Saya juga pernah menulis di beritajatim.com, bahwa saya terpaksa membuat data golput semakin besar, karena saya terdata di dua daerah dan tak satupun hak pilih yang saya gunakan.

Dengan semua persoalan yang berurat akar dari pendataan warga oleh negara itu, maka saya memandang, ketidakberesan DPT tidak perlu dijadikan alasan untuk menunda atau memundurkan jadwal pemilu. Penundaan hanya akan membuat ongkos politik kita semakin besar. Ini pemilu sudah mahal, jangan makin dibikin mahal.

Penundaan juga akan membuat rakyat semakin kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi dan para politisi. Jika ini benar-benar terjadi, maka jangan terkejut jika angka partisipasi politik semakin anjlok.

Lebih baik, semua elemen masyarakat menyuarakan desakan, siapapun yang terpilih sebagai presiden dan wakil rakyat dalam pemilu nanti, hendaknya mulai memberi perhatian pada pendataan penduduk. Anggarkan uang yang sangat besar untuk membangun database kependudukan, membangun semua infrastruktur data kependudukan. Lebih baik mengeluarkan anggaran berlebih di awal namun ringan di kemudian hari, daripada masalah data kependudukan selalu dijadikan komoditas politik yang bikin rakyat mual dan muak.

Kedua, berikan peran lebih besar kepada Badan Pusat Statistik. Jangan sampai BPS digunakan sebagai 'lembaga tukang' yang hanya melayani kepentingan politik penguasa dan menjadi stempel kebijakan melalui data. [wir]

No comments: