17 February 2009

Catatan dari Training Peliputan Investigatif (3)
Wartawan Boleh Mencuri...

Bolehkah wartawan mencuri dokumen? Pertanyaan itu disinggung dalam training reportase investigatif yang digelar Aliansi Jurnalis Independen dan Yayasan Tifa, di Hotel Santika, 13 - 15 Februari lalu.

Training ini diikuti 15 wartawan dari seluruh Indonesia, termasuk wartawan beritajatim.com. Lima narasumber hadir dalam acara itu: Pemimpin Kantor Berita 68 H Heru Hendratmoko, Redaktur Majalah Tempo Arif Adi Kuswardono dan Dwi Setyo, Ketua Umum AJI Indonesia Nezar Patria, dan Bayu Wicaksono dari LBH Pers.

Kode etik memang menyatakan bahwa wartawan harus menempuh cara-cara yang layak, antara lain tidak mencuri dan menyuap. Namun, persoalannya, dalam reportase investigasi, data-data penting tak selamanya bisa didapatkan melalui jalan normal. Pihak resmi yang diduga melakukan kejahatan seringkali mencegah dokumen penting diketahui publik.

Nezar Patria mengatakan, masalah etik memang selalu berkembang. Pertanyaan etik tentang bolehkah wartawan mencuri atau membeli dokumen, sebenarnya bisa dijawab dengan etika utilitarianisme. Dalam etika ini, yang mendatangkan manfaat terbesar adalah yang benar.

Dalam konteks utilitarianisme, selama wartawan mencuri atau membeli dokumen untuk kepentingan pemberitaan dan kemaslahatan masyarakat, maka hal itu diperkenankan. "Kata orang itu Pandaisme," kata Patria.

Pandaisme mengacu pada cara investigatif Panda Nababan, seorang wartawan senior yang kini menjadi anggota DPR RI. Nababan pernah mencuri dokumen di meja seorang pejabat, setelah permintaannya untuk melakukan konfirmasi ditolak.

Sementara itu, Bayu Wicaksono mengatakan, kode etik sebenarnya melindungi upaya-upaya investigatif dengan jalan yang tak lazim. Namun lagi-lagi semua memang diniatkan untuk mengungkapkan sesuatu yang patut diketahui publik.

Bayu menyarankan kepada wartawan untuk mematuhi kode etik. "Jika Anda patuh, maka 80 persen Anda sudah selamat," katanya.

Terkait upaya wartawan membeli dokumen, Bayu tidak setuju jika itu disebut menyuap. Wartawan baru dikatakan menyuap, jika kemudian uang yang diberikan kepada narasumber adalah agar sang narasumber memberikan keterangan atau dokumen palsu. (*/Habis)

No comments: