01 December 2008

Tim Weiner: Pemerintah RI Bukan Sasaran CIA

Membaca buku Legacy of Ashes, pada 1950 - 1960, tampak jelas operasi Badan Intelijen Pusat (CIA) dilakukan terhadap Pemerintah Indonesia. Namun, hari-hari ini, menurut penulis buku itu Tim Weiner, Pemerintah Indonesia bukanlah target operasi CIA.

Dalam surat keduanya kepada reporter beritajatim.com, Oryza A. Wirawan, Tim Weiner mengatakan bahwa target CIA adalah gerakan jihad radikal, termasuk di Indonesia.

"The government of Indonesia is not a target of CIA operations. Radical jihadists throughout the world are; if such groups are in Indonesia they would be targets," kata Weiner.

Sayang, Weiner tidak memperinci jawabannya tersebut. Di era perang melawan terorisme saat ini, orientasi CIA memang berubah. Osama Bin Laden adalah target utama, dan CIA mengejar gerakan Islam radikal di seluruh dunia.

Pada halaman 612, disebutkan, bersama-sama dengan tentara pasukan operasi khusus Amerika, mereka (CIA) memburu, menangkap, dan membunuh para pembantu serta prajurit Bin Laden di Afganistan, Pakistan, Arab Saudi, Yaman, dan Indonesia.

Boleh jadi, jika melihat apa yang dipaparkan Weiner di bukunya, daripada bermusuhan dengan Pemerintah RI, Amerika Serikat lebih berkepentingan menggandeng sebagai sekutu untuk memerangi kelompok Islam radikal.

Ini tentu berbeda dengan masa perang dingin, di mana Pemerintah RI condong ke komunis. Membaca Legacy of Ashes, operasi besar CIA terhadap Pemerintah RI terjadi dua kali, yakni tahun 1958 dan 1965. Publik Indonesia saat ini diributkan oleh operasi CIA tahun 1965, karena adanya paparan tentang keterlibatan Adam Malik, dan luput memperbincangkan operasi sebelumnya.

Tahun 1950-an, Weiner menuliskan upaya penggulingan Sukarno, termasuk melalui jalan pemilu. Pada halaman 182 buku itu disebutkan, CIA memompakan sekitar $1 juta ke kantong musuh politik paling kuat Sukarno, Partai Masjumi, pada pemilu 1955. Tapi Sukarno dan Partai Nasional Indonesia tetap memenangkan pemilu.

Tanggal 25 September 1957, Presiden Eisenhower memerintahkan CIA untuk menggulingkan Pemerintah Indonesia. Ada tiga misi. Pertama, menyediakan senjata dan bantuan militer lainnya untuk para komandan militer anti-Sukarno di seluruh Indonesia.

Kedua, memperkuat determinasi, kemauan, dan kepaduan perwira-perwira pemberontak angkatan darat di pulau Sumatra dan Sulawesi. Ketiga, mendukung dan mendorong agar bertindak, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, elemen-elemen nonkomunis dan antikomunis di kalangan partai-partai politik di Pulau Jawa.

Kita mengenal gerakan perlawanan para kelompok militer dan antikomunis tersebut sebagai gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Permesta.

Menteri luar negeri pemerintah revolusioner itu adalah Kolonel Maludin Simbolon, yang menurut Weiner pada halaman 188, diangkat dan dibayar oleh CIA.

Namun gerakan PRRI berantakan. Bantuan militer dari Pemerintah Amerika Serikat terhadap gerakan itu pun tak banyak berarti. Gerakan itu justru dipadamkan oleh perwira militer Indonesia anti komunis didikan Amerika Serikat sendiri, dan dengan bantuan atase militer AS di Jakarta, Mayor Gerorge Benson, yang tidak tahu mengenai operasi CIA itu.

Jenderal Nasution dan Kolonel Ahmad Yani adalah alumnus Kursus Komando dan Staf Umum Angkatan Darat Amerika Serikat di Port Leavenworth, dan teman baik Mayor Benson. Yani minta bantuan peta-peta kepada Benson sebelum melancarkan serangan ke Sumatra, dan Benson dengan senang hati membantunya.

Direktur CIA Alen Dulles menyebut gerakan perlawanan PRRI di Sumatra sebagai gerakan yang aneh. "Tampaknya tidak ada kemauan berperang di pihak pasukan pembangkang di pulau itu," katanya kepada Presiden Eisenhower.

"Para pemimpin pemberontak tidak mampu memberikan ide dan penjelasan kepada tentara mereka mengapa mereka harus berperang. Ini memang perang yang sangat aneh." (*)

No comments: