02 December 2008

Pelajaran Tim Weiner

Selama sepekan terakhir, kita dihebohkan oleh buku Legacy of Ashes: History of CIA karya Tim Weiner, yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Membongkar Kegagalan CIA.

Pangkal kehebohan adalah isi buku yang menerangkan bahwa Adam Malik direkrut oleh perwira CIA Clyde McAvoy, sebagai bagian dari operasi tahun 1965. Penjelasan tentang peran Adam Malik diperkuat oleh telegram Duta Besar Amerika Serikat saat itu, Marshall Green.

Buku karya Weiner ini sebenarnya sudah diterbitkan Gramedia sejak September 2008. Namun praktis kehebohan baru terjadi paruh terakhir November, setelah resensi tentang buku ini terbit di harian Kompas. Mendadak semua orang, mulai dari sejarawan, pengamat politik, hingga wakil presiden angkat bicara dan ramai-ramai menolak isi buku Weiner itu.

Keluarga Adam Malik menuntut permintaan maaf dan revisi isi buku. Kejaksaan Agung mempelajari Legacy of Ashes, dan tak tertutup kemungkinan bisa menerbitkan keputusan untuk memberangus buku tersebut. Seorang sejarawan bahkan mengusulkan agar buku tak dilarang, namun bagian tentang Adam Malik dihitamkan alias disensor.

Reaksi masyarakat muncul karena Adam Malik adalah pahlawan dan mantan wakil presiden Indonesia. Namun reaksi itu menunjukkan betapa kita ternyata masih reaktif dan mudah 'berang' oleh hal-hal yang dipaparkan secara rasional sekalipun. Kita ternyata bangsa yang gamang dalam menghadapi sebuah kemungkinan kebenaran.

Buku Weiner memang pahit. Di situ dijelaskan, tak hanya Adam Malik yang menerima duit CIA. Tapi juga Masyumi, Majelis Syuro Muslimin Indonesia, partai tempat pahlawan kita Mohammad Natsir bernaung. Bagi warga eks Masyumi, atau partai yang mengaku sebagai pewaris Masyumi, ini jelas penghinaan.

Namun, sepahit-pahitnya fakta yang disodorkan Weiner tak seharusnya membuat kita jadi gelap mata, dan berniat menyensor atau membredelnya. Apalagi Legacy of Ashes bisa dipertanggungjawabkan. Weiner, sang wartawan The New York Times itu, sudah menjalankan prosedur jurnalisme yang paling penting: verifikasi.

Bahkan, Weiner tak mengutip sumber anonim atau tanpa identitas. Ini suatu hal yang langka bagi karya jurnalisme sekelas Legacy of Ashes. Weiner seolah mengajarkan kepada kita, bahwa karya investigatif tak selamanya didasarkan keterangan sumber anonim yang kadang bisa memicu persoalan dan gugatan terhadap wartawan.

Weiner memang tidak mewawancarai Adam Malik, karena sang tokoh sudah meninggal dunia. Namun, ia mengecek keterangan McAvoy kembali dengan dokumen CIA yang sudah dideklasifikasi. Satu hal lagi, Weiner tidak menuduh Adam Malik menjadi mata-mata CIA. Ia hanya memaparkan fakta sejarah dari perspektif CIA, badan intelijen Amerika Serikat yang memang suka ikut campur urusan dalam negeri orang lain.

Kami justru memandang karya Weiner bisa memperkaya pengetahuan sejarah tentang Peristiwa 1965 yang hingga saat ini masih kontroversial. Tak perlu marah-marah, karena boleh jadi apa yang ditulis Weiner justru benar. Tak perlu berang, karena bisa saja Weiner memang keliru. Siapa yang bisa menjamin kebenaran mutlak sebuah reportase? Weiner sendiri menyatakan berusaha keras agar karyanya mendekati kebenaran, bukan menjadi kebenaran.

Karya Weiner harus diperlakukan sama dengan karya-karya lain intelektual lainnya. Masih terbuka peluang apa yang ditulisnya dibantah oleh karya lain dengan didukung data dan fakta yang lebih kuat dan akurat.

Persoalannya, mampukah kita melakukannya?

Terus terang, selama ini, pengetahuan dan acuan kita tentang peristiwa 1965 lebih didasarkan pada sumber dan hasil kajian ilmuwan luar negeri. Sebut saja Cornell Paper yang begitu 'diagung-agungkan'.

Kita kesulitan menulis sejarah dari perspektif sendiri karena sulitnya data orisinal dari dalam negeri. Kita tak seberuntung warga Amerika Serikat, di mana dokumen negara secara berkala bisa dideklasifikasi dan dibuka untuk publik. Kita hanya bisa menyusun sejarah berdasarkan versi orang per orang. Akhirnya sejarah kita sebatas sejarah oral, dan jarang didukung dengan data dokumen yang kuat.

Jadi, seperti kata Tim Weiner dalam suratnya kepada reporter beritajatim.com, publik perlu diberi kesempatan untuk membaca buku yang tidak didasarkan pada sumber anonim dan didasarkan pada dokumen. Saat ini, itu yang paling mungkin kita lakukan untuk menunjukkan bahwa kita masih merdeka belajar dari siapapun. [wir]

No comments: