25 December 2008

Jika Percaya Sinterklas, Jangan Baca Artikel Ini!

Peringatan: Jika Anda mengharapkan kunjungan dari Sinterklas (Santa Claus) tahun ini -- pria riang yang tinggal di Kutub Utara -- berhentilah membaca artikel ini sekarang. Sungguh. Artikel ini berisi sebuah rahasia yang dihargai sepanjang zaman.

Demikian awal dari artikel berjudul 'Mommy, is there a Santa Claus?' yang ditulis reporter Chicago Tribune pekan ini, Julie Deardoff. Artikel ini bercerita tentang upaya Deardorff dan suaminya untuk mencari jalan agar bisa menceritakan tentang sosok Sinterklas atau Santa Claus.

Ini artikel ringan dengan panjang 749 kata. Tapi Chicago Tribune mencekalnya untuk tampil di edisi cetak, dan lebih memilih untuk menampilkannya di edisi online.

Apa alasannya?

Al Tompkins dari Poynter Institute, sebuah lembaga jurnalisme di Amerika Serikat, mewawancarai Deardorff via surat elektronik. Kepada Tompkins, Deardorff menjelaskan, bahwa anak-anak para pembaca Tribune juga membaca edisi cetak koran tersebut.

"Redaktur menginginkan agar koran ini tetap bersahabat dengan keluarga (family-friendly). Kendati, item blog tahun lalu mengenai topik yang sama, memunculkan kemarahan yang lebih dibandingkan tahun ini," kata Deardorff.

Dalama artikel tersebut diceritakan, Sinterklas berasal dari seorang laki-laki bernama St. Nicholas of Myra (sekarang Turki). Dia melambangkan kepolosan kanak-kanak dan kepedulian. Sinterklas selalu hadir sebagai bagian dari perayaan natal.

Kehadiran Sinterklas ini memunculkan perdebatan etis, karena hikayat ini dianggap lebih banyak diwarnai khayali dan kebohongan. Sebut saja bagaimana Sinterklas masuk rumah tanpa mengetuk pintu hingga berkendara dengan kecepatan tiga ribu kali kecepatan cahaya.

Saat orang tua memakan kue yang dikhususkan anak mereka untuk Sinterklas, agar sang anak yakin bahwa Sinterklas telah datang, kesan yang muncul: anak-anak tidak boleh berbohong kepada orang tua, tapi orang tua boleh melakukannya kepada anak-anak mereka.

Perdebatan sederhana ini menjadi benang merah artikel Deardorff. Sebagian orang tidak mempersoalkan cerita mitos macam Sinterklas atau Peri Gigi. Namun hikayat Sinterklas melampaui sebuah cerita, karena ini dimanfaatkan dan dikembangkan oleh industri komersialisme. Akankah orang tua rela berbohong agar tak menyakiti anak-anak mereka, atau justru menceritakan sebenarnya?

"Ini problem yang sangat nyata yang dihadapi banyak orang tua dalam budaya saat ini. Artikel saya ini bukan soal Sinterklas semata; tapi soal penghormatan terhadap dua tradisi berbeda dalam sebuah keluarga," kata Deardorff.

Deardorff berpikir itu hal sepadan karena Sinterklas memiliki dampak pada semua orang, terlepas kita percaya atau tidak. "Jika Anda tidak percaya pada Sinterklas, ada aturan tak tertulis bahwa Anda tidak mengungkapkannya kepada orang lain. Banyak orang tua yang tidak merayakan tradisi yang terkait Sinterklas terpaksa menceritakan pria ini kepada anak-anak mereka agar anak-anak mereka tidak merasa ketinggalan," katanya.

Yang mengejutkan, mitos Sinterklas begitu kuat dan persuasif sehingga anak-anak tidak mempercayai kebenaran yang diceritakan orang tua mereka. Anak-anak cenderung mempercayai televisi, bahwa Sinterklas datang untuk memberi mereka hadiah. "Anak-anak lebih mendengarkan media dan kawan-kawan mereka," kata Deardorff.

Tak semua sepakat dengan isu etika yang disodorkan Deardorff. Gregory Favre dari Poynter Institute memandang isu yang ditulis Deardorff menarik. "Saya setuju para orang tua perlu memberitahukan hal sebenarnya kepada anak-anak mereka, tapi perlukah menghancurkan semua mitos masa muda kita? Dan perlukah jurnalis terlibat sebagai bagian dalam proses itu? Saya pikir tidak," jelasnya.

Beberapa pekan lalu, setelah salju pertama turun, Deardorff menulis, bahwa putranya bertanya apakah Santa membawakannya hadiah. Deardorff bimbang. "Saya berpikir soal apa yang saya ingin berikan untuk putra saya. Sebuah hadiah yang dia akan lupakan dalam beberapa hari? Atau sebuah momen yang menggetarkan yang akan dia kenang selama bertahun-tahun."

Deardorff akhirnya mengatakan kepada sang suami: mereka harus tetap menjaga semangat Sinterklas hidup menurut cara mereka sendiri. "Kita bisa membacakan dongeng 'The Night Before Christmas' dan 'The Wonderful Adventured of Nils'."

Menurut Deardorff, kelurga mereka bisa menitikberatkan pada makna 'memberi' ketimbang 'menerima'. Dengan kata lain: tangan di atas memang selalu lebih baik daripada tangan di bawah. (*)

No comments: