23 December 2008

Anjing dalam Unjukrasa Mahasiswa

Aksi mahasiswa Universitas Jember untuk menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, Selasa (23/12/2008), lebih banyak diwarnai makian kasar dan pemaksaan, tanpa keinginan berdialog.

Begitu tiba di halaman kantor Rektorat Universitas Jember, mahasiswa meminta Rektor Tarcisius Sutikto turun. Tidak segera hadirnya petinggi universitas membuat mahasiswa marah, dan melontarkan sumpah serapah. Salah satu mahasiswa meneriakkan kata 'anjing', yang membuat petugas pengamanan dan staf pegawai Unej terperanjat.

"Aksi mahasiswa sekarang berbeda dengan aksi mahasiswa dulu. Apa karena sudah tidak ada pendidikan moral di sekolah. Saya banyak yang tidak mengenal mereka," kata seorang pegawai Humas Unej, menyayangkan munculnya lontaran kasar dari mulut mahasiswa.

Pembantu Rektor III Andang Subaharijanto menilai mahasiswa tidak siap untuk berdialog. Ada kesan memaksakan keinginan sendiri, tanpa menghormati pendapat orang lain. "Saya kira teman-teman mahasiswa tidak membaca Undang-Undang tersebut," katanya.

semasa muda, Andang adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Ia jelas terbiasa dengan aksi demonstrasi. Namun tak urung, ia kewalahan juga menghadapi mahasiswa. Saat menemui mahasiswa yang berunjukrasa, ia mencoba melakukan dialog. Upaya ini gagal, karena mahasiswa selalu memangkas ucapannya.

Berkali-kali, Andang meminta agar mahasiswa memberinya kesempatan bicara, namun permintaan itu sia-sia. Mahasiswa tidak mau mendengar pernyataan apapun, kecuali persetujuan aspirasi menolak UU BHP. Saat keinginan mereka menemui jalan buntu, mereka langsung merebut megafon dari tangan Andang, tanpa permisi.

Dalam sejarah aksi unjukrasa di kampus Unej, tak ada kekerasan yang terjadi melebihi aksi menentang pelantikan Rektor Tarcisius Sutikto tahun 2003. Saat itu, mahasiswa dan wartawan menjadi korban kekerasan petugas satuan pengamanan dan kepolisian. Berdarah-darah.

Aksi mahasiswa saat itu cukup radikal dengan mencoba menghentikan mobil yang ditumpangi Menteri Pendidikan. Namun tidak sekalipun terdengar lontaran makian kasar macam 'anjing' untuk birokrat kampus. Makian yang paling sering terdengar saat itu adalah 'birokrat pengecut'.

Ada apakah dengan gerakan mahasiswa? Barangkali naif, mengharapkan sopan santun dan etika berbicara dalam sebuah aksi unjuk rasa yang emosional. Namun, agaknya inilah yang perlu direnungkan oleh gerakan mahasiswa.

Aksi unjuk rasa menolak UU BHP di sejumlah tempat juga diwarnai kekerasan, bahkan diwarnai bentrokan antara aparat dengan mahasiswa. Terlepas dari siapa memprovokasi siapa, aksi mahasiswa ternyata tak selamanya mendapat simpati masyarakat. Di Jogja, warga juga ikut melempari mahasiswa, karena merasa terganggu dengan aksi yang mengarah pada tindak kekerasan.

Gerakan mahasiswa agaknya perlu menata diri kembali. Orientasi unjukrasa pun perlu dipikirkan: apakah memang jalan kekerasan dan meninggalkan etika merupakan cara terbaik. Jalan kekerasan dalam aksi unjukrasa memang berpotensi menarik perhatian masyarakat, apalagi jika ditayangkan oleh televisi.

Namun kekerasan dan ketiadaan etika yang dipertontonkan berlebihan juga akan memunculkan efek balik berupa kemuakan dan ketidaksimpatian.

Lebih jauh lagi, mahasiswa harus siap ditantang untuk berdialog. Dialog merupakan jalan beradab bagi dua pihak yang bersilang pendapat untuk menemukan titik kompromi.

Ketidakmauan berdialog sebagaimana yang ditunjukkan mahasiswa Unej, Selasa (23/12/2008) ini, bisa berarti dua hal: dangkalnya pemahaman mahasiswa atas persoalan yang disuarakan, atau keteguhan sikap dan tekad.

Namun keteguhan sikap dan tekad pun tentu tak ada artinya, jika ternyata mahasiswa gagal meyakinkan publik untuk menyetujui sikap tersebut.

Jangan-jangan ketiadaan etika dan aksi kekerasan adalah cerminan kegagalan mahasiswa untuk meyakinkan publik secara cerdas? (*)

No comments: