05 October 2008

Tak Ada Rotan, Banban pun Jadi...

Dusun Sumberjeding Desa Seputih Kecamatan Mayang. Di tengah alunan lagu pop Banyuwangi yang berasal dari televisi 14 inci merek Matsunichi, Miskalam dan Mardiyah tak berhenti menganyam rotan.

Keduanya adalah perajin mebel dari bahan baku rotan. Siang itu mereka tengah menyelesaikan satu set meja dan kursi di ruang tamu yang juga ruang kerja. Anak mereka bermain-main dengan sebuah pesawat kecil dari kayu.

Tahun ini adalah masa yang berat bagi Miskalam. Saat ini, perajin sepertinya mengalami krisis bahan baku. Rotan tak bisa lagi diperoleh, karena ada larangan mengambilnya dari hutan. Biasanya, ia membeli rotan yang berasal dari hutan Curahnongko dan Sanenrejo.

Mulanya ada sekitar 30 keluarga yang menggantungkan hidup dari industri rumah tangga ini. Namun, saat ini tinggal enam keluarga yang tersisa.

"Rotan dilarang keluar hutan lindung. Empat orang pernah ditahan karena bawa keluar rotan. Kalau beli rotan dari luar daerah, saya tidak mampu," kata Muhayan, ketua kelompok perajin mebel rotan.

Akhirnya, para perajin pun memilih bahan baku banban. Ini sejenis tumbuhan yang mirip rotan, namun lebih halus. Saat ini industri rumah tangga banban sudah mempekerjakan 300 orang. Banban digunakan untuk membuat sejumlah peralatan rumah tangga, seperti tempat sampah dan tempat tutup nasi.

Modal untuk banban pun lebih kecil. "Banban modal Rp 1 juta sudah bisa. Kalau rotan harus modal Rp 10 juta," kata Muhayan.

Harga rotan pun beragam. Rotan berkualitas A dihargai Rp 4.000 per empat meter, kualitas B dihargai Rp 3.000 per empat meter, dan kualitas C dihargai Rp 1.500 per empat meter.

Biasanya, hasil kerajinannya dijual ke Bali. Bahkan sempat dipasarkan ke Jakarta. Namun, Miskalam tak menjualnya langsung. Ada pengepul dari kabupaten Bondowoso yang membeli hasil kerajinannya. Satu set mebel yang terdiri atas satu meja dan empat kursi rotan dihargai Rp 300 ribu. Satu unit pembatas ruangan dihargai Rp 160 ribu.

Miskalam tidak mau berpindah ke banban karena alasan teknis. "Saya tidak telaten," katanya. Selain itu banban tidak sekuat rotan.

Konsekuensinya, Miskalam harus bergelut dengan persoalan bahan baku. Kadang ia harus berebut dengan perajin lain, jika ada bahan baku rotan yang dijual ke kampungnya. Belum lagi kenaikan harga bahan bakar minyak yang mempengaruhi harga barang-barang kebutuhan hidup.

Miskalam membandingkan dengan masa rezim Suharto. "Dulu waktu zamannya Pak Harto mudah, bahan baku bisa didatangkan dari Situbondo dan Banyuwangi," katanya.

Muhayan mengatakan, para perajin membutuhkan perhatian pemerintah. Selama ini para perajin ini memodali diri sendiri dengan mencari hutangan kanan kiri. "Dulu waktu jamannya Pak Harto Perhutani dan Perindustrian (Dinas Perindustrian dan Perdagangan) bekerja sama untuk membina kami," katanya.

Muhayan mulai mengupayakan kerajinan rotan tahun 1956. Ia menjadi pelopor kerajinan ini. Tahun 1970, ia mulai banyak memiliki kawan perajin. Namun, kini, setelah krisis bahan baku, kawannya menghilang satu per satu. (*)

No comments: