09 October 2008

Si Nomor Sepuluh

Syaiful Sulum adalah pekerja salah satu kios koran di jalan Kalimantan, di dekat Universitas Jember. Saat ini, ia masuk dalam daftar calon anggota legislatif sementara untuk DPRD Jawa Timur.

Sulum berada di peringkat sepuluh daftar caleg Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), untuk Daerah Pemilihan Jatim IV (Jember - Lumajang). Partai Hanura dipimpin Wiranto, mantan panglima TNI masa Orde Baru, dan mendapat nomor urut satu dalam daftar partai peserta pemilu 2009.

Sulum bersemangat menunjukkan selembar kertas koran berisi pengumuman DCS DPRD Jatim yang memampang namanya kepada saya dan kawan-kawannya. "Aku optimis. Hanura persaingan bebas. Aku memang memilih nomor sepuluh. Aku yakin paling tidak dapat tujuh ribu suara," katanya.

Siang itu, Sulum tengah kongko-kongko bersama beberapa kawannya di kios koran Sony Media, tempatnya bekerja. Ia asyik mencabuti rambut uban dari kepala Heru Putranto, seorang fotografer Radar Jember. Heru sendiri asyik bermain kartu poker dengan tiga orang lainnya.

Kios itu dibangun di atas trotoar di seberang Campus Center Universitas Jember. Kios itu sering menjadi tempat kongko-kongko mahasiswa, dan dijaga bergantian oleh beberapa orang.

Untuk ukuran penjual koran, pekerja Sony Media tak bisa diremehkan. Mereka sangat sadar politik. Mereka suka membaca, tak hanya koran, tapi juga buku-buku filsafat. Terakhir, saya melihat buku tentang anarkisme (kalau tak salah judulnya In Defense of Anarchism) tergeletak di sana. Buku-buku itu mereka pinjam dari perpustakaan perguruan tinggi.

Sulum adalah lulusan jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jember tahun 2005. Ia sempat mendaftarkan diri menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum, tapi gagal karena telat.

Kini ia mencoba peruntungannya sebagai caleg. Sebuah upaya coba-coba yang ditertawakan kawan-kawannya sendiri. Bambang Heri, kawannya, tak percaya Sulum bakal memperoleh suara terbanyak dan terpilih sebagai legislator.

"Nggak mungkin jadi. Orang milih gambar partai (tidak memilih nama caleg). Aku juga akan ngomong sama anak-anak kampus. Jangan memilih Sulum, provokator. Kalau nyoblos Sulum, berarti bukan warga negara Indonesia," kata Bambang, disambut tawa kawan-kawannya.

"Sudahlah kamu pasti jadi. Jadi...koceng (kucing, dalam bahasa Madura)," sahut Heru, tertawa.

Sulum hanya tersenyum. Namun Robbach Fatani, kawannya satu pondok pesantren di Nurul Jaddid, Paiton, Pribolinggo, membesarkan hati Sulum. Sambil tetap berkonsentrasi memperhatikan permainan poker di depan matanya, Robbach mengatakan Sulum tetap bisa terpilih menjadi legislator kendati berada di nomor urut 10.

Hanura adalah salah satu partai yang menghilangkan keterwakilan berdasar nomor urut. Jadi, caleg yang mendapat suara terbanyaklah yang bakal mewakili partai itu di parlemen. Terlepas dari apakah caleg bersangkutan berada di nomor urut topi (nomor urut teratas) atau nomor urut sepatu (nomor urut terbawah).

"Semua calegnya sudah tanda tangan siap mundur dan memberi kesempatan pada caleg yang dapat suara terbanyak," kata Sulum.

Pertanyaannya: apakah caleg yang berada di peringkat satu hingga sembilan kelak benar-benar akan ikhlas memberikan jatah kursi kepada Sulum, jika mereka sudah keluar uang puluhan atau bahkan ratusan juta untuk pemenangan pemilu? Bukankah Undang-Undang Pemilu tidak memberikan ruang untuk kompetisi terbuka antar caleg?

Sulum tidak menyiapkan jawaban atas pertanyaan itu. Ia percaya kesepakatan partai tak akan diingkari. "Aku diberi penjelasan seperti itu sama Wilayah (pengurus Hanura Jawa Timur), bahwa suara terbanyak yang jadi, atau minimal 15 persen bilangan pembagi pemilih (BPP)," katanya.

Motivasi Syaiful Sulum mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif sederhana. "Tujuan utama saya untuk pekerjaan. Saya ingin mengubah nasib," katanya.

Kisah Sulum diawali saat ayahnya, Haji Ahmad Husein memanggilnya pulang ke Kabupaten Lumajang, sebuah kota yang tak jauh dari Jember. "Le, ambil bajumu, kamu saya daftarkan jadi caleg," kata Husein.

"Lho, biayanya?" tanya Sulum.

"Jual sepeda (motor)mu," kata Husein.

Sulum tak langsung menuruti nasehat ayahnya. Sepeda motor merek Shogun miliknya masih beberapa kali digunakan ke Surabaya. Namun, akhirnya, sepeda motor itu memang harus dilego, karena pencalonan juga butuh biaya tak sedikit untuk ukuran kantong Sulum. Ia berhasil meyakinkan pengurus Hanura agar mau merekrutnya sebagai caleg, dengan berlagak sebagai orang berduit.

Sulum mengklaim tak dibiayai sepeser pun dari orang tuanya. Husein, sang ayah, menurut Sulum, menjadi caleg untuk DPRD kabupaten dari Partai Kebangkitan Bangsa.

Sulum merasa anggota legislatif adalah pekerjaan yang cocok untuk gelar kesarjanaan yang diperolehnya dari jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jember. Ia juga terinspirasi dengan beberapa orang anggota parlemen yang pernah diajaknya ngobrol.

"Bapakku sopir anggota Dewan. Jadi haji karena hasil jual tanah. Bapakku kerja jadi makelar jual beli tanah, mobil," kata Sulum.

"Ah, tidak. Kamu bohong. Bapakmu kaya raya, punya usaha barang pecah belah," sahut Bambang Heri, kawannya, yang sembari bermain kartu poker sedari tadi mendengarkan Sulum bercerita soal hidupnya.

"Barang pecah belah apa?" Sulum berbalik ngotot membantah.

Belakangan, Bambang Heri bercerita, Sulum sebenarnya anak orang kaya. Namun ia memilih tak berkumpul dengan kedua orang tuanya, terutama setelah sang ayah bercerai.

"Dia sejak dulu memang sukanya begitu. Sumaker: sugih macak kere (kaya tapi berlagak miskin). Dia seperti anti kemapanan," kata Robbach Fatawi, kawannya yang lain.

Sulum bercerita, pernah berjualan sayur keliling. "Sekarang jadi penjual koran. Itu pun bukan pemilik kios koran, tapi pegawai," katanya.

Mengaku tak punya duit, Sulum yakin menang. Ia merasa punya basis pendukung, mulai dari kawan-kawannya sekampus, keluarga besarnya di Lumajang dan Jember, dan alumnus pondok pesantren Nurul Jaddid.

Posisi Hanura sebagai partai nomor urut pertama juga dinilainya mendukung. 'Tidak ruwet-ruwet. Cukup lihat pojok kiri atas (kertas suara), liat nomor sepuluh. Coblos," kata Sulum, enteng.

Untuk memperlancar urusan promosi diri, Sulum akan mencetak semacam kartu nama kampanye dengan foto, gambar partai, dan nomor urut pencalonannya. Ia mencontohkan kartu nama salah satu pasangan kandidat bupati-wakil bupati Lumajang.

"Saya juga kampanye door to door (pintu ke pintu). Bertahap, tak ada uang buat beli bensin. Ini saja sepeda motor pinjam teman," kata Sulum.

Pengurus anak cabang Senduro dan Pasrujambe, Lumajang, sudah disambanginya. Hasilnya, menurut dia, positif.

Sulum punya cita-cita, kelak akan membangun pabrik paving untuk menyuplai kebutuhan Jember dan Lumajang. Alasannya, kata dia, "karena masih banyak jalan yang belum beraspal. Jadi di-paving saja." (*)

No comments: