29 September 2008

Tiga Ahmad Kecil di Tikungan Gumitir

Ini kisah tentang tiga bocah yang memiliki nama depan yang sama: Ahmad. Mereka bermain bersama maut di tikungan yang sama, di sebuah tempat yang disebut gunung Gumitir.

Mereka bersaudara. Bukan saudara kandung. Rumah mereka berdekatan, satu kampung, di Garahan. Garahan adalah sebuah daerah di kabupaten Jember yang berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Ayah mereka sama-sama bekerja sebagai buruh di kebun kopi. Mereka saling bicara dengan bahasa Madura. Hari itu mereka bermain-main di tepi hutan Garahan yang tak jauh dari jalan raya.

Yang termuda adalah Ahmad Junaidi. Ia dipanggil Jun. Baru duduk di kelas dua di Sekolah Dasar Sidomulyo 5. Dua gigi depannya besar. Hari itu ia memakai kemeja bermotif batik berdebu dengan tiga kancing yang robek. Bercelana pendek biru.

Bocah kedua adalah Ahmad Zainuri. Nama panggilannya Zai. Kelas lima di Sekolah Dasar Sidomulyo 9. Wajahnya paling tampan di antara mereka bertiga. Celana jins birunya sama kumuhnya dengan bajunya.

Yang terbesar adalah Ahmad Taufik. Ia lebih pendiam dibanding dua Ahmad lainnya. Ia baru duduk di bangku kelas satu SMP Negeri 3 Garahan. Ia tidak memakai alas kaki. Taufik tinggal bersama ayahnya. Ibunya sudah meninggal dunia.

Mereka punya cita-cita yang nyaris sama. Junaidi dan Zainuri sama-sama ingin jadi dokter. "Kalau Jun ingin jadi dokter kamar mayit (mayat)," kata Zainuri tertawa keras.

"Jaga di kamar mayit," Junaidi tertawa juga.

Zainuri mengejar Junaidi yang menggodanya dengan melempari kerikil-kerikil dari pecahan tanah liat padat. Zainuri menindih kawannya itu. Mereka tertawa. Junaidi berhasil meloloskan diri.

"Eh, Jun, kenapa kamu ingin jadi dokter?" teriak Zainuri.

Taufik tersenyum melihat ulah dua kawannya itu. Ia membalas lemparan Junaidi. Ia juga tidak tahu ingin jadi apa persisnya kelak dewasa. Ia bilang hanya ingin menjadi orang sukses. "Biar tidak ngawe-awe tok," katanya nyengir.

Ngawe-awe adalah kosakata bahasa Jawa yang artinya 'melambaikan tangan'. Hari-hari ini, saat lebaran semakin dekat, 'melambaikan tangan' berarti mencari rezeki, barang seratus dua ratus perak dari jalanan.

Tiga Ahmad kecil itu adalah bagian dari komunitas tukang ngawe-awe. Ini sebutan lain untuk pengemis yang duduk-duduk dan berdiri di sepanjang jalur Jember - Banyuwangi yang melalui Gunung Gumitir.

Jumlah mereka ratusan, melambaikan tangan dan berteriak meminta agar pengemudi kendaraan melemparkan barang satu dua uang recehan. Kepala Kepolisian Sektor Sempolan Inspektur Satu Mochammad Zainuri menghitung ada 125 tukang ngawe-awe di jalur tersebut.

Sepanjang musim lebaran, jalur yang berkelok-kelok curam dan naik-turun ini banyak dilintasi kendaraan berbagai jenis, mulai dari sepeda motor hingga truk besar. Jalur ini memang paling dekat menghubungkan Banyuwangi dengan Jember, daripada jalur utara yang harus berputar melewati Kabupaten Situbondo dan Bondowoso lebih dulu.

Ini jalur yang menantang. Banyak tikungan. Badan jalan tak terlalu lebar. Sulit bagi kendaraan satu mendahului kendaraan di depannya, jika tak yakin tak ada kendaraan lain dari arah berlawanan. Sepeda motor yang berbadan kecil pun tak bisa melaju kencang.

Di satu tepi jalan adalah dinding batu cadas gunung dan pepohonan lebat. Di tepi jalan lainnya adalah jurang yang lumayan dalam. Jika Anda berdiri di sisi jalan yang berdinding batu cadas, hanya ada sedikit tempat untuk berdiri, menjauh dari lalu lalang kendaraan Jalur ini menjadi salah satu jalur yang diwaspadai rawan kecelakaan oleh kepolisian.

"Kapan hari ada mobil tangki ngguling (terguling). Ada (truk) Fuso ngguling," kata Junaidi.

"Ngantuk (sopirnya)," kata Taufik, sok tahu.

Siang itu, tiga Ahmad kecil berada di salah satu tikungan bersama empat anak lainnya. Tak jauh dari mereka ada seorang perempuan paruh baya tengah duduk-duduk di tepi jalan, sembari melambaikan tangan setiap ada kendaraan lewat. Namanya Holiyah. Tiga Ahmad kecil memanggilnya Bu Edi.

Ahmad Junaidi berteriak keras saat sebuah truk lewat. "Leeeeekkkk..." Huruf 'e' dibaca seperti membaca kata 'sore'. Yang dimaksud Junaidi adalah 'Pak Lik', 'bapak cilik', atau 'paman', sebuah sebutan hormat anak-anak Jawa Timur untuk orang yang lebih tua.

Seorang anak perempuan kawan Junaidi menjerit lebih keras. "Leeeekkkk..." Tangannya melambai. Nihil. Tak ada uang receh yang dilemparkan dari dalam mobil. Hanya kepulan asap tebal dan debu jalanan yang tersisa.

Mereka kemudian tak menghiraukan mobil yang lewat berikutnya. Ahmad Junaidi dan Ahmad Zainuri mengerubungi Ahmad Taufik yang sedang berbicara dengan Sugik, bocah lain sebaya Taufik. Tangan Taufik memegang beberapa lembar uang seribuan rupiah, dan diberikannya kepada Zainuri dan Junaidi.

Junaidi duduk berselonjor. Dari saku kanannya, ia mengeluarkan sebuah plastik berisi beberapa lembar uang seribu rupiah. Ia masukkan uang yang diberikan Taufik ke dalam plastik tanpa menghitung lagi.

Holiyah berjalan mendekati tempat anak-anak itu berdiri. "Di sini sepi. Di atas sana lebih banyak. Anak-anak banyak yang ke sana," katanya menunjuk arah Watu Gudang, sebuah tempat di jalur Gumitir.

Seolah menuruti kata Holiyah, Taufik bersama Sugik berlalu meninggalkan kawan-kawannya. Sekilas di tangan Taufik ada kacamata gaul. Entah dapat dari mana. Mereka berjalan tanpa menengok ke belakang. Slamet, adik kandung Taufik, ada di Watu Gudang.

"Tadi ada yang menemukan dompet?" tanya Holiyah kepada anak-anak yang masih tinggal, dengan bahasa Madura. Tak ada jawaban jelas.

Setelah bercakap-cakap sejenak, Holiyah lalu duduk lagi dan berkonsentrasi memperhatikan kendaraan-kendaraan yang lewat. Anak-anak bermain lagi. Sebuah mobil keluarga melaju lambat, dan beberapa receh uang logam dilemparkan dari balik jendela. Anak-anak itu tidak terburu berebut. Mereka menanti beberapa kendaraan berlalu, sebelum memunguti uang-uang yang berserak di jalanan.

Tiba-tiba Holiyah dikejutkan oleh Zainuri yang melompat dari pintu bak belakang sebuah truk yang berjalan lambat karena jalur menanjak.

"Biasa ini!" tukas Holiyah, dengan nada marah.

Zainuri nyengir tanpa dosa. Ia menunjuk Junaidi yang sudah berlari mengejar truk yang berjalan lambat.

Zainuri bukan anak kandung Holiyah. Tapi Holiyah merasa bertanggungjawab pada keselamatan bocah itu. Zainuri diperbolehkan menjadi tukang ngawe-awe oleh Jumali, sang ayah, asalkan ikut dengan Holiyah. "Kalau tidak sama Bu Edi takut ditabrak mobil," kata Zainuri.

Ditabrak mobil adalah risiko yang paling mungkin bagi seorang tukang ngawe-awe. Tapi, Holiyah memilih untuk menepis rasa takut itu agar tak kelaparan. "E tembheng ngecok," katanya dalam bahasa Madura yang berarti 'daripada mencuri'.

Bagi tiga Ahmad kecil, menjadi tukang ngawe-awe adalah cara tercepat untuk dapat duit buat berlebaran. "Buat beli sandal, Lik," kata Taufik. Zainuri dan Junaidi ingin membeli baju baru.

Maka bekerjalah mereka di tepi jalan sejak libur sekolah dimulai empat hari sebelumnya. Terserah mau mulai jam berapa, asal tak terlalu siang, karena mereka harus pulang pukul tiga sore. Berapapun hasilnya selalu dibagi bertiga. Selama empat hari, mereka baru memperoleh Rp 20 ribu. "Hari ini sejak jam delapan hanya dapat Rp 2.000," kata Taufik.

Hanya Taufik yang minta izin kepada orang tuanya untuk menjadi tukang ngawe-awe. Pesan orang tuanya pun sederhana: "Hati-hati kalau menyeberang jalan."

Sejauh ini Taufik berhati-hati. Ia dan dua kawan kecilnya tak pernah celaka. Mereka pernah menyaksikan Pak Asun dan Tin, tetangga mereka, tertimpa pohon yang tumbang sebagian karena angin besar. Tidak ada yang meninggal. "Tapi Pak Asun kena gegar otak," kata Taufik yakin.

Matahari semakin tinggi. Namun di Gumitir panasnya tak terasa, karena terhalang pepohonan rimbun dan tinggi. Junaidi tidak berpuasa. Ia membawa bekal satu tepak berisi nasi dan sayur pakis. Isi tepak itu sudah kosong. Bersama sebuah botol Mizone berisi air putih, bekal itu diletakkan di antara akar pepohonan di tepi jalan.

Di situ juga ada sebungkus wafer UBM milik Taufik yang isinya tinggal beberapa batang. Taufik mengaku berpuasa. Entah benar atau tidak. Ia sudah berjalan agak jauh menuju Watu Gudang.

Kebosanan menyergap Junaidi dan Zainuri. Mereka kini berjalan menjauh dari tikungan dan bermain-main di gapura penanda perbatasan Kabupaten Jember. Junaidi mengayun-ayunkan sebatang galah bambu kecil. Ia membakar plastik bungkus sebuah merek minuman energi.

Junaidi menatap sebuah umbul-umbul promosi merek rokok. Ia membaca tulisan di umbul-umbul itu seperti ingin memamerkan betapa suksesnya pelajaran membacanya di sekolah: "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin."

Tak ada yang mampu menghalangi hasrat anak-anak ini untuk bermain dan mencari uang di tikungan. Tidak juga seorang polisi. Mereka pernah diminta pulang oleh seorang petugas kepolisian, saat menonton kecelakaan lalu lintas di Garahan. "Eh, balik ae. Nek gak balik digowo nang kantor polisi," kata Junaidi menirukan ucapan sang polisi. "Kembali saja. Kalau tidak, dibawa ke kantor polisi."

Mereka tidak mau kembali. Kepala Polisi Sektor Sempolan Inspektur Satu Mochammad Zainuri membenarkan kesulitan aparat menertibkan para tukang ngawe-awe. "Rasa kemanusiaan juga. Selain itu pemakai jalan sendiri mau memberikan uang recehan kepada mereka, sehingga jumlah mereka semakin banyak," katanya.

Taufik mengatakan, mereka hanya akan menjadi tukang ngawe-awe di masa libur lebaran. "Kalau sudah masuk sekolah, ya tidak, Lik," jelasnya. (*)

4 comments:

Anonymous said...

mampir ya mas,,

gimana kabar?

Eko Rusdianto said...

Saya suka tulisan ini keren euy...

eLFiRa aRisanti said...

wow...

Ribut Wijoto said...

tulisan apik banget.