26 September 2008

Sing ikhlas Lo Yo....Anake Mama Sik Akeh...

Jumat (26/9/2008), pukul tiga dinihari. Beberapa mobil diikuti bus putih milik Bagus Abadi menerabas masuk halaman gedung persemayaman PRK Panca Budi di jalan Melati.

Bus ini mengangkut empat jenasah anggota keluarga korban pembunuhan di jalan Ngagel Jaya Surabaya: Yanuar Stevanus, Seniwati, Jonathan Jansen Sutanto, dan Christephen Kevin Sutanto.

Tegang. Sedih. Sekitar dua belas orang kerabat Yanuar menatap satu persatu peti dikeluarkan dari bus jenasah. Mereka duduk di kursi lipat yang disediakan pemilik rumah persemayaman.

Mieke Indrawati, ibunda Seniwati, mencucurkan air mata. Ia terisak, namun tak menangis keras.

"Wis ikhlas lo yo. Anake Mama sik akeh," seorang perempuan berkacamata menenangkan Mieke. Beberapa perempuan lainnya memijat pundak perempuan tua itu. Sebuah minyak kayu putih ada di meja di depannya. Belum disentuh.

Di kursi yang lain, Ido, keponakan Seniwati dan Yanuar, menangis terisak. Lebih keras dari Mieke. Kepalanya bersandar di bahu seorang lelaki gagah berbaju merah. Lelaki gagah itu bernama Fendi, kakak ipar Seniwati. Tak jelas apa yang dikatakan Fendi kepada Ido.

Ido mungkin baru berusia 17 tahun. Ia tampak terpukul. Tangisnya tak bisa dihentikan. Bicaranya tak jelas, karena campur isak. Perempuan berkacamata yang tadi menenangkan Mieke kini memeluk Ido. Perempuan berkacamata itu mengaku kakak Seniwati, tanpa mau menyebut nama.

Kakak Seniwati menyodorkan cokelat berbungkus kuning keemasan kepada Ido. Dalam isak, Ido masih menyempatkan diri menyantap cokelat itu. Cokelat untuk menenangkan dirinya.

Seorang berkacamata memotret empat jenasah yang terbaring dalam peti. Penutup peti itu kini sudah dibuka. "Ayo, cepetan biar tidak terlalu lama di sini," kata Fendi. Ia agaknya tak ingin keluarganya terlalu lama larut dalam kesedihan.

Mieke berjalan dengan dipapah beberapa anak dan menantunya. Pelan. Pelan. "Wis ikhlas lo yo. Anake Mama sik akeh," kakak Seniwati kembali mengingatkan sang bunda.

Mieke memang akhirnya hanya terisak kecil saat melihat wajah empat orang yang dicintainya itu untuk terakhir kali. Ido justru terisak lebih keras, dan kembali memeluk Fendi. Isak Ido semakin keras saat melihat jenasah Christephen Kevin Sutanto.

Misa penghormatan digelar keesokan paginya. Puluhan kerabat dan anggota keluarga tenggelam dalam kedukaan. Usai misa, Fendi Kurniawan, kakak ipar Seniwati, bersedia saya wawancarai. Ia menolak dugaan bahwa Yanuar terlibat hutang atau kalah bermain valas, sehingga nekat membantai istri dan dua anak kandungnya.

"Sepengetahuan saya, anak itu baik. Suami-istri, keluarga harmonis. Sama-sama baik. Karyawannya saja pada nangis semua tadi. Tidak benar terbelit hutang," kata Fendi.

Keimanan Yanuar juga cukup bagus. Karyawan PT Kapal Api ini rajin pergi ke gereja sebelum mengantar anak-anaknya ke sekolah setiap pagi.

Fendi dan keluarga besar Seniwati tak mau menduga-duga penyebab kematian Yanuar dan keluarganya. Mereka percaya dengan hasil penyelidikan kepolisian.

"Allah sudah mengatur ini semua. Menduga-duga justru bertentangan dengan iman saya. (Ibaratnya) awakmu gak weruh ae mentaok (kamu tidak tahu tapi sok tahu)," kata Fendi.

Keluarga baik-baik saja, hal itu juga diungkapkan karyawan Sari Roti. Tidak pernah diketahui Yanuar Stevanus, juragan mereka, bermasalah dalam keluarga. Bahkan, Yanuar dikenal sebagai sosok yang pendiam.

"Orang itu pendiam tak banyak omong. Jarang bicara sama kita. Pulang kerja malam, langsung masuk kamar tidur," kata Afen, salah satu karyawan Sari Roti yang turut mengantarkan jenasah keluarga Yanuar ke Jember.

Aven belum pernah mendengar ada pertengkaran begitu keras antara Yanuar dengan sang istri Seniwati. Ia sendiri terkejut tragedi tersebut bisa menimpa keluarga majikannya itu.

Aven menceritakan tragedi Kamis pagi itu. saat itu, para karyawan Sari Roti hendak masuk kantor untuk berkeliling menjual produk mereka. Namun saat itu, sekitar pukul enam pagi, pagar masih terkunci.

Pagar tak juga dibuka, sementara matahari makin tinggi, para karyawan akhirnya nekat membongkarnya. "Kunci pagar biasanya dimasukkan kamar bos," kata Aven.

Beres, para karyawan yang berjumlah delapan orang ini lantas mulai keluar kantor untuk berjualan. Namun belum lagi jauh dari lokasi kantor di jalan Ngagel Jaya, tiba-tiba pembantu rumah tangga keluarga Yanuar menjerit dan berteriak panik.

"Saat membongkar kaca kamar (Yanuar), disenter, kelihatan ada darah. Dalam satu ranjang semuanya (satu keluarga Yanuar) meninggal," kata Aven.

Manusia berasal dari tanah dan kembali menjadi tanah. Kalimat itu dilontarkan Romo Kristianto dari Ordo Karmel dalam pemakaman keluarga Januar Stefanus, di tempat pemakaman Kristen di Jalan Teratai, Senin (29/9/2008) siang.

Januar dimakamkan satu liang lahat dengan istrinya Priska Gabriela Seniwati. Sementara jenasah dua anak mereka, Jonathan Jansen Sutanto dan Christopher Kevin Sutanto, dimakamkan di satu liang lahat lainnya. Mereka korban bunuh diri berantai di Jalan Ngagel Jaya Surabaya.

Empat jenasah tersebut diantarkan dari gedung persemayaman PRK Panca Budi oleh sekitar 50 orang anggota keluarga. Jarak gedung itu dengan tempat pemakaman sekitar 200 meter.

Tidak ada tangis berlebihan. Nisan berbentuk salib milik Januar dan Seniwati dibawa Benjamin Jupir dan nisan salib dua anak mereka dibawa Alfentinus Rama. Keduanya adalah pegawai Januar di perusahaan distributor Sari Roti.

Mieke Indrawati, ibunda Seniwati, duduk di kursi lipat. Kepalanya terus menunduk dalam-dalam, saat doa-doa dibacakan bersama. Air matanya bercucuran. Ia memakai pakaian gelap bergaris horisontal putih, sama dengan yang dikenakannya waktu menyambut kedatangan 4 jenasah anggota keluarga Januar Jumat (26/9/2008) dini hari.

Fendi Kurniawan, kakak ipar Seniwati mengatakan, pemakaman sengaja dilakukan di Jember agar lebih dekat. Januar sendiri memang berasal dari Bondowoso. Namun pegawai perusahaan kopi Kapal Api ini sudah yatim piatu. (*)

No comments: