23 September 2008

Kisah Mbah Muchit...

Saya beruntung bisa berkenalan dengan Muchit Muzadi, kakak kandung Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi. Dengan usia 83 tahun, tak pelak, ia adalah politisi tiga zaman, dan mewakili sosok romantis politisi masa demokrasi parlementer yang santun.

Di ruang tamunya yang sederhana, Mbah Muchit tertawa saat membaca berita markas sebuah partai politik diserbu kader sendiri karena urusan pencalonan legislator. Kata-kata Mbah Muchit yang menusuk: saat ini orang mengorbankan partai dan bukan berkorban untuk partai.

Alkisah, suatu hari di Tuban pada tahun 1955. Muchit Muzadi muda dan sejumlah kader NU berniat menggelar kampanye. NU saat itu baru memisahkan diri dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Kampanye politik dibutuhkan untuk menarik massa.

Tapi apa nak mau dikata, uang tak ada barang segobang. Tokoh yang bakal diundang sebagai juru kampanye pun cukup kondang. Putar-putar otak, Muchit dan para kader NU pun nekat menyewa aula pabrik rokok untuk tempat kampanye.

Untuk membiayai pengeluaran, mereka meminta para simpatisan dan pendukung NU yang ingin mengikuti kampanye untuk membayar tiket masuk.

Alamak. Ini bukan tontonan artis Benyamin S. atau Elvi Sukaesih. Tapi tiket hari itu tandas. Massa NU berdatangan dari seluruh penjuru Tuban dan sekitarnya. Mereka rela berjalan belasan bahkan puluhan kilometer untuk bisa berpartisipasi dalam kampanye.

Tahun 1971. Orde Baru baru saja berkuasa. NU kembali ikut pemilu dan menggelar kampanye. Ini masa yang berbeda, dan militer berkuasa. Para simpatisan dan kader NU yang ingin mendatangi tempat kampanye dihadang di mana-mana. Mereka harus main petak umpet. Namun mereka jalan terus.

Tahun 1955, tahun 1971. Dua zaman, satu semangat. Apa yang membuat masa-masa itu berbeda dengan sekarang adalah etos partai dan kepercayaan rakyat. Partai dibangun di atas kepercayaan. Bahwa rakyat butuh orang-orang yang mampu mengelola kehidupan bernegara untuk mereka.

Para politisi, ibarat para filsuf di masa Yunani Kuno, adalah orang-orang terhormat. Ya, mereka mungkin hanya berbicara dan bekerja dengan mulut. Namun bukankah mereka dibayar untuk berbicara tentang nasib rakyat dan memperjuangkannya?

Kepercayaan ini dibangun tidak di atas janji, tapi di atas suri tauladan. Saya melihat Mbah Muchit. Ia pernah menjadi tokoh parlemen semasa NU berjaya. Namun hari ini, Anda tidak akan menemukan kemewahan di rumahnya. Hanya sebuah rumah bersahaja yang berdampingan dengan sebuah masjid. Pesantren sebagai salah satu penanda status kiai, Mbah Muchit tak punya.

Seorang politisi salah satu partai pernah berkata kepada saya, bahwa rakyat sekarang pragmatis. Ia tidak menjabarkan lebih lanjut, dan lebih suka membungkusnya dengan retorika. Namun jelas terbaca, pragmatisme yang dimaksudnya adalah uang. Tiada politik tanpa uang.

Uang, dan bukan ideologi, yang menjadi panglima politik partai. Akibatnya, kita dengan mudah menyaksikan para calon anggota legislatif lebih memilih jalan gampang daripada jalan panjang: keluar duit asal masuk daftar calon ketimbang berproses lama-lama dan tak dapat apa-apa. Ideologi partai boleh jadi tertulis, tapi tak dipahami. Perilaku para politisi kita segaris dalam urusan duit, apapun partainya. Maka daftar koruptor pun lintas partai.

Dapatkah kita menyalahkan rakyat? Jangan tunjuk hidung rakyat, karena para politisi kita di parlemen memberikan suri tauladan tak elok di mata. Mereka dipilih untuk bersuara, bukan mengatur suara. Sayang, yang terakhir ini jadi laku para politisi kita.

Mendengar cerita Mbah Muchit, saya teringat pemilihan presiden di Amerika Serikat. Barack Obama mampu mengumpulkan donasi jutaan dolar dari para pendukungnya, hanya dengan meniupkan harapan: Kepada Perubahan Kami Percaya, Change We Can Believe In.

Tahun 1955, 1971, para politisi seperti Mbah Muchit mampu meniupkan harapan serupa kepada rakyat. Bagaimana dengan politisi kita? Saat daftar sasaran tembak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di parlemen semakin panjang, percayakah kita mereka akan berubah? (*)

No comments: