05 August 2008

Iklan BBJ, Kampanye Bapak Bupati Djalal?

Bulan Berkunjung ke Jember (BBJ) datang lagi. Selama Agustus ini, serangkaian hiburan dan tontonan digelar: Mulai dari pameran produk hingga karnaval mode, dari pawai becak hingga gerak jalan 30 kilometer.

BBJ adalah agenda tahunan wisata di Jember. Kira-kira kalau mau dijadikan padanannya, seperti konsep Indonesia Visiting Year. Filosofinya: tak kenal maka tak sayang.

Wisata menjadi pintu masuk memperkenalkan Jember ke tingkat nasional dan kalau bisa internasional. Harapannya, setelah mengenal Jember, orang luar masuk dan menanamkan duit di kota ini.

Konsep yang bagus. Ini pelaksanaan BBJ tahun kedua. Sebagaimana tahun lalu, untuk memperluas gaungnya di publik, Pemkab Jember memancang iklan di mana-mana: papan reklame di tepi jalan hingga iklan di koran. Untuk even sebesar BBJ, iklan adalah ujung tombak komunikasi dan kehumasan.

Hakikat iklan adalah membujuk, melakukan persuasi, dan memberikan informasi agar publik terpikat kepada BBJ sebagai sebuah komoditas. Karena unsur bujukan, persuasi, dan informasi inilah, maka sebuah iklan dengan menggunakan medium apapun, harus eye catching (memikat dan mengikat mata), sehingga mudah diingat dan menggerakkan hati yang melihat.

Dua kali BBJ, dua kali pula Pemkab Jember melakukan kesalahan dalam urusan periklanan. Hakikat iklan itu agaknya yang luput atau tak dipahami. Alih-alih membuat iklan yang variatif dan eye catching, iklan BBJ di ruang publik (tepi jalan) dan media massa justru monoton dan membosankan. Tidak indah sama sekali.

Iklan yang dipampang pemkab sama sekali tidak bisa memberikan gambaran tentang apa itu BBJ. Memang ada informasi tentang agenda dan jadwal pelaksanaan. Namun informasi itu tak disampaikan dengan cara indah.

Bagaimana mau bisa indah dan eye catching, jika yang dipampang di setiap iklan adalah sosok Bupati MZA Djalal dalam berbagai pose dan beberapa petinggi birokrasi yang mendampinginya.

Alhasil, dalam berbagai iklan tersebut, MZA Djalal menjadi 'pemain utama' ketimbang komoditas yang hendak diiklankan. Orang jadi bertanya, ini iklan BBJ: Bulan Berkunjung Jember atau Bapak Bupati Jalal.

Seorang kawan saya, mahasiswa dari Sumatra Utara, sempat menanyakan dominannya gambar pejabat dalam iklan ini kepada saya. "Di Surabaya ada iklan reklame BBJ. Tapi gambarnya juga Bupati Djalal,"katanya.

Saya tidak menjawab jelas. Saya hanya katakan, inilah kelemahan birokrasi kita. Kesannya, semua iklan itu berbau ABS, asal bupati senang. Atau memang ada hasrat bagi pejabat mengampanyekan dirinya seperti sejumlah politisi dan cendekiawan menjelang pemilu 2009?

Saya khawatir, BBJ tidak memberi hasil maksimal karena kesalahan mendasar ini. Bagaimana bisa membuat tusukan tajam, jika iklan sebagai ujung tombaknya saja tumpul? Alangkah sayangnya, duit ratusan juta atau bahkan mungkin miliaran rupiah hanya digunakan untuk sekadar bikin bapak senang. (*)

2 comments:

Dzikri said...

Ryz.... itulah kejeniusan bupati kita, bagaimana mengemas sebuah iklan yang mempunyai keuntungan ganda, menjual daerah serta menjual diri..
Dengan menanamkan image ke masyarakat sejak awal, beliau gak perlu susah-susah lagi kampanye untuk maju pilkada berikutnya. Ya toh..?

Dzikri said...

Tapi ya gitu, kok kebangeteeeeen buanget sih... ha..ha..ha...
Aku sempat bertanya-tanya, kalau iklan ucapan kematian, yang dipasang fotonya itu orang yang dipasangi iklan (orang yang meninggal) atau orang yang masang iklan.
Nah, di Jember, saking kemaruknya orang pingin masuk ke koran atau media massa, yang masang iklan yang dipasang. Jadinya orang bingung, yang mati ini yang masang iklan atau yang dipasangi iklan... Bingung kan???