29 August 2008

Burung Besi Terbang dari Wirowongso

Jumat (29/8/2008) adalah hari bersejarah di Jember. Inilah hari perdana penerbangan komersial dari bandara Notohadinegoro. Untuk pertama kalinya saya bisa menikmati jalur transportasi Jember - Surabaya via angkasa. Naik pesawat tipe LET 410 buatan Cekoslowakia, perjalanan hanya butuh waktu setengah jam.

Bersama dua wartawan Radar Jember, seorang wartawan radio Prosalina, wartawan JTV, dan fotografer Kantor Berita Nasional Antara, saya memperoleh kesempatan mencicipi hari pertama penerbangan komersial bersama Kepala Dinas Perhubungan Sunarsono.

Penerbangan pertama dari Surabaya ke Jember pada pukul 07.30. Tidak ada penumpang bertiket. Hanya awak pesawat. Saya diberitahu ada penumpang dari Surabaya pada penerbangan pukul 10.30. Petugas tidak ada yang tahu nama penumpang pertama itu.

Ternyata, penumpang pertama itu adalah Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jember Haryanto. Begitu keluar dari pesawat, ia tersenyum lebar. "Mana kalungan bunganya?" katanya kepada wartawan yang mendatanginya, tertawa.

"Saya baru dari Surabaya mengikuti pertemuan. Begitu tahu sekarang ada penerbangan komersial perdana, saya manfaatkan untuk pulang. Hanya 30 menit Jember - Surabaya," kata Haryanto.

Ditanya soal rasanya naik pesawat perintis, Haryanto membenarkan ada perbedaan dengan pesawat besar atau tipe boeing. Namun ia mengaku bisa menikmati perjalanan. "Saya beli tiket lho," katanya, menunjukkan tiket di tangannya," katanya.

Saya bersama kawan-kawan dijadwalkan berangkat pada pukul 11.45. Sebelum naik pesawat, antar sesama wartawan sudah saling sindir. Heru Putranto, fotografer Radar Jember, berkali-kali menyindir saya yang mulanya tidak hendak ikut. "Ayo, ikut saja. Aku nanti mau memfoto Semeru dari udara," katanya.

Sementara itu, reporter radio Prosalina Mochammad Dawud nyeletuk, "Sudah bikin surat wasiat?"

Gurauan ini ditirukan oleh Sunarsono ke wartawan lainnya. "Sudah kirim SMS wasiat belum," katanya, tersenyum-senyum.

Gurauan itu muncul karena melihat sosok pesawat LET 410 yang jauh lebih kecil dan ramping, jika dibandingkan pesawat jenis Boeing. Bagi orang yang terbiasa naik pesawat komersial jenis Boeing, pesawat kecil penerbangan perintis memang bikin bertanya-tanya.

Rauwolfie Yudianto, penumpang pertama yang berangkat bersama kami dari Notohadinegoro, juga mengatakan bahwa bagaimanapun kedua tipe berbeda. "Orang yang senang naik Boeing akan merasakan perbedaannya," katanya.

Namun berbeda bukan berarti tak aman. Co-pilot Bambang Ontoseno mengatakan dalam suatu kesempatan, bahwa pesawat LET 410 digunakan untuk penerbangan perintis di Papua. Ia menjelaskan, pesawat tersebut aman dan layak.

Apalagi, jika dilihat dari rute penerbangan, Jember - Surabaya tak seberat di Papua. "Landai saja. Lain dengan di Papua. Kalau di sana ancur-ancuran," katanya, usai penerbangan ujicoba bandara 13 Agustus lalu.

Di dalam pesawat, saya memilih duduk di deretan kursi ketiga dari depan. Jumlah penumpang sembilan orang di luar kru pesawat. Para wartawan diizinkan tidak meletakkan ransel yang dibawa di bagasi.

"Pesawat kita, karena penumpang istimewa, muter dulu keliling Jember, lalu langsung tembak ke Surabaya. Selamat menikmati penerbangan Jember - Surabaya," kata Wakijan, konsultan dari PT Aero Express.

Pukul 11.45, baling-baling pesawat mulai berputar. Mulanya pesawat berputar dulu dari ujung landasan sebelah utara, dan mendadak memacu kecepatan...melesat...up up and away. Pesawat mengangkasa, meninggalkan landasan pacu bandara Notohadinegoro di desa Wirowongso kecamatan Ajung.

Dan, bagi saya, seorang warga kota kecil seperti Jember, menyaksikan kota saya dari angkasa merupakan impian yang terwujud. Inilah wajah Jember dari udara. Sebuah kota dengan rumah-rumah yang terkepung hijau sawah. Gumuk atau bukit kecil di sana-sini. Sementara nun di sana, pegunungan Argopuro menjulang bersama awan.

Di tengah gemuruh mesin pesawat LET 410 yang saya tumpangi, perlahan saya bisa memetakan bahwa pembangunan di Jember memang masih terlampau terpusat di tengah kota.

Sebelum pesawat mengudara, tubuh saya lengket oleh keringat. Pesawat ini tanpa air conditioner (pendingin udara), sehingga terasa panas. Namun begitu sudah mengangkasa dan rumah-rumah di sana tinggal titik-titik kecil, panas tak terasa. Udara justru terasa sejuk dalam pesawat.

Begitu pesawat mengangkasa, Sunarsono yang duduk di kursi depan saya mengacungkan jempol. "Sip, jangan ndredeg (gemetar ketakutan)," katanya.

Sebelumnya, Sunarsono berkali-kali menyindir wartawan. "Kok pucat sampeyan, Mas," katanya kepada Badrus Yudosuseno, fotografer Antara.

"Dawud iki gayane, asline ndredeg (Dawud ini lagaknya saja berani, sesungguhnya takut)," kata Sunarsono kepada Mochammad Dawud.

Tapi sesungguhnya Sunarsono agak takut juga. Saat pesawat menerjang awan, terasa getaran seperti bus yang melewati jalan berlubang. Mungkin saya berlebihan. Tapi Dwi Satriyo, Avia Karya Manager, mengatakan: "Ini (anggap saja) seperti naik (bus) patas Pasuruan. Kan goyang-goyang."

Namun, Dwi meyakinkan bahwa ini aman-aman saja. "Pesawat besar juga guncang kalau nabrak awan. Awan kan mengandung butiran air. Jadi pesawat menyesuaikan diri," katanya.

Pesawat bergetar saat menerjang awan di atas gunung Semeru dan Bromo. Setelah keluar dari awan di kawasan itu, pesawat kembali tenang. Saat di bandara Juanda beberapa waktu kemudian, pilot Bambang Ontoseno mengatakan, dirinya hanya bisa berupaya menghindari awan yang tebal. Namun guncangan memang tak terelakkan.

"Pilotnya tenang, aku sing nggregres (saya yang khawatir)," kata Sunarsono. Ia sempat mencengkram kursi di depannya erat-erat, saat guncangan terasa. Kata seorang kawan, mulut Sunarsono komat-kamit, seperti mengucap doa.

Rauwolfie Yudianto mengatakan, baru pertama kali naik pesawat kecil seperti LET 410. "Ini kan tekanannya rendah, guncangan lebih keras, telinga agak sakit," katanya.

Yudianto sebelum berangkat berkali-kali menelpon seseorang via ponsel. Ia duduk tepat di belakang saya. Saya tidak tahu persis, mungkin ia menelpon kerabatnya. Berkali-kali, ia tertawa. "Penumpange aku tok, lainnya wartawan," katanya.

Yudianto tinggal di Jakarta. Ia ke Jember karena ada kepentingan keluarga. "Saya memang pernah mendengar ada rencana penerbangan Jember - Surabaya. Tapi belum ada realisasi," katamua.

Mulanya, Jumat ini, ia berencana ke Surabaya naik bus patas atau kereta api. "Saya sudah beli tiket Surabaya - Jakarta untuk jadwal jam tiga sore. Begitu tahu dari koran kalau hari ini penerbangan komersial perdana, saya langsung memilih naik pesawat," katan Yudianto.

Yudianto mengaku lebih senang naik pesawat karena waktu perjalanan lebih singkat. Jika naik kereta api, Jember - Surabaya butuh waktu empat jam.

"Saya belum pernah naik pesawat kecil, tadi agak kurang pede (pecaya diri) juga," kata Yudianto. Namun, ia tak kapok.

Soal harga tiket Rp 300 ribu, Yudianto tidak berani berkomentar. "Saya yakin harga itu sudah dihitung benar," kata pria yang mengaku bekerja di sektor swasta ini.

Saya sendiri, jujur saja, banyak berdoa saat naik pesawat ini. Perut saya mual saat pesawat mulai terguncang. Lubang telinga saya terasa mampat, penuh oleh udara. Saya berdoa bukan takut pesawat jatuh, karena saya percaya pesawat ini tak akan jatuh. Saya hanya berdoa tidak muntah.

Nasib saya lebih bagus daripada Heru Putranto. Setelah memfoto Semeru, ia muntah-muntah. Wajahnya pucat, dan akhirnya memilih memejamkan mata hingga pesawat mendarat di bandara Juanda. Semangatnya untuk bikin foto bagus mendadak hilang entah ke mana.

"Aku habis makan mi kuah tadi. Coba aku tidak makan mi," katanya, menggerutu.

Rasanya tak lama perjalanan ini, lalu saya melihat laut. Selat Madura. Sunarsono pernah mengatakan, lega kalau sudah melihat laut. Tandanya pesawat tak lama lagi akan mendarat.

Pukul Sekitar pukul 12.25, pesawat mendarat di bandara internasional Juanda. Kami tidak bisa ke mana-mana dan hanya menanti di sekitar LET 410, sembari tidur-tiduran di bawah bayang-bayang bentangan sayap pesawat. Bukan apa-apa. Kalau pun kami hendak keluar bandara, kami mau ke mana. Toh, ini penerbangan promosi.

Di Juanda, kami dihampiri dua cewek dan satu cowok agak gemuk. Mereka mengaku reporter Arek TV. Kami berkenalan, berbincang-bincang. Sunarsono sempat diwawancarai dengan latar belakang pesawat, tepat di bagian logo Pemerintah Kabupaten Jember.

Tak ada kegiatan yang lebih menyenangkan di Juanda ketimbang 'menguliti' Heru Putranto. Muntah di pesawat sama sekali tidak gagah. Diejek habis-habisan, ia hanya bisa pasrah dan mengumpat-umpat khas anak Surabaya.
Belakangan, ia mengumpati saya beberapa kali, karena gara-gara berita yang online di beritajatim.com, Pemimpin Redaksi Radar Jember menertawakannya. Saya memang melaporkan penerbangan komersial perdana ini via ponsel ke redaksi tempat saya bekerja.

Pukul 13.40, burung besi Ceko itu meluncur kembali ke angkasa. Tiga reporter Arek TV ikut bersama kami. Begitu juga seorang perempuan cantik, petugas dari maskapai Tri MG.

Kru Arek TV, sebuah televisi lokal di Surabaya, mengambil gambar pilot dan penumpang yang kali ini lebih rileks. Tak lagi tegang.

Heru Putranto tak lagi mabuk udara. Ia sempat memejamkan mata sejenak. Namun, terbangun saat Badrus, fotografer Antara, mengatakan, "Her, Semeru." Kawan-kawan saya itu memang terobsesi benar mengabadikan gunung Semeru, sebuah gunung dengan ketinggian 3.676 meter.

Puncak Semeru dari angkasa tak ubahnya negeri di atas awan. Jika beruntung, cuaca cerah, penumpang pesawat bisa menyaksikan puncak gunung tertinggi di Jawa itu, lengkap dengan kepulan asapnya. Dari udara, puncak gunung itu dikelilingi awan putih, bak di surga.

Tidak bisa tidak. Pemandangan Semeru dari angkasa adalah bonus bagi penumpang pesawat rute Jember - Surabaya.

Penerbangan terasa nyaman. Saat melewati Semeru, pesawat kembali menerjang awan. Ada guncangan tapi tak sekeras waktu perjalanan Jember menuju Surabaya. Perut saya tak terlampau diaduk-aduk. Tapi telinga masih terasa mampat dan bising.

Dwi Satriyo mengatakan, ada cara mudah untuk tidak mabuk saat naik pesawat kecil: pilih tempat duduk penumpang di deretan depan. Guncangan lebih terasa di deretan belakang daripada deretan depan.

Tapi jika sudah kehabisan tempat di deretan depan, ada cara lain lagi. "Coba bawa minuman manis, seperti teh kotak. Kalau sudah terasa mual, diseruput saja," kata Dwi.

Kalau kuping terasa mampat? "Tinggal tekan hidung, keluarkan nafas lewat mulut," katanya.

Kru Arek TV mewawancarai Mochammad Dawud, soal rasanya menjadi penumpang pesawat kecil itu. Saya tak begitu mendengar Dawud mengatakan apa.

Tak terasa, pesawat sudah memasuki kawasan udara Jember. Saya menunjukkan sejumlah gumuk (bukit kecil) kepada salah satu wartawati Arek TV. "Itu gumuk. Jumlahnya 997 buah yang terdata, bahkan mungkin seribu lebih. Itulah kenapa kota ini disebut kota Seribu Gumuk," kata saya.

Wartawati itu mengatakan sesuatu. Tapi saya tak begitu mendengar. Sementara, pesawat sudah mendarat di atas landasan pacu Notohadinegoro dengan selamat.

Sepuluh menit setelah pesawat mendarat, Kiai Haji Khotib Umar datang bersama istri dan seorang cucunya. Pemimpin pondok pesantren Raudlatul Ulum ini langsung disambut sejumlah petugas Dinas Perhubungan. Beberapa orang mencium tangannya. Berkali-kali ia mengucapkan, "alhamdulillah."

Sunarsono juga menyempatkan diri menemuinya. Kebetulan Khotib Umar datang saat pesawat dari Surabaya yang ditumpangi wartawan baru saja mendarat.

Khotib Umar juga sempat berbincang dengan dua pilot pesawat LET 410, Wahyudi Kurniawan dan Bambang Ontoseno. Ia sempat menanyakan jadwal penerbangan. "Kita berharap bisa ramai. Insya Allah berkah," kata Wahyudi.

Khotib Umar lantas dipersilakan masuk ke dalam pesawat dan mencoba tempat duduk di sana, dengan dituntun oleh pegawai Dishub Jember. Ia baru pulang, setelah melihat pesawat LET 410 mengangkasa dari dalam mobilnya.

Kepada wartawan, Khotib Umar mengaku datang karena ingin meninjau dan mensyukuri dibukanya bandara Notohadinegoro. "Saya tiap hari terus memantau (berita perkembangan bandara)," katanya.

Menurut Khotib Umar, bandara adalah amanat ayahnya, KH Umar, salah satu tokoh NU terpandang di Jawa Timur. "Katanya Abah, 'Saya ingin sekali di Jember ada lapangan terbang'. Waktu itu masih zaman (Bupati) Pak Abdul Hadi," katanya.

Khotib Umar menginginkan agar bandara Notohadinegoro bisa dijalankan dengan baik. Ia berharap kelak pembangunannya bisa lebih berkembang, dan memuji Bupati Muhammad Zainal Abidin Djalal sebagai yang akhirnya mewujudkan bandara di Jember.

Sunarsono memang menginginkan bandara itu berkembang. Jadwal sudah diatur, pesawat tipe LET 410 bertolak dari bandara Juanda menuju bandara Notohadinegoro pukul 07.30, 10.30, dan 13.30. Perjalanan dari Juanda ke Notohadinegoro membutuhkan waktu 32 menit.

Sementara dari bandara Notohadinegoro, pesawat berangkat pukul 08.45, 11.45, dan 14.45. Perjalanan dari Jember ke Surabaya butuh waktu sekitar 37 menit.

Penerbangan dilakukan setiap hari, kecuali hari Rabu. "Dari Jember ke Surabaya butuh waktu lebih lama lima menit, karena pesawat harus berputar lebih dulu," kata Dwi Satriyo.

Selama tiga bulan ke depan sejak hari ini, Pemerintah Kabupaten Jember memberlakukan tiket Rp 300 ribu per seat (tempat duduk). Pesawat itu memiliki kapasitas 18 seat.

Tiket hanya bisa dibeli di bandara Notohadinegoro, kantor Perusahaan Daerah Perkebunan Jember, dan ticket box di bandara Juanda. Pemesanan tiket di Jember bisa menghubungi nomor 0331 335534. Sementara untuk pemesanan tiket di Surabaya bisa menghubungi 031 72209863.

Wakijan mengatakan bahwa saat ini pembelian tiket belum perlu melalui sistem online. "Kalau penerbangan reguler memang persyaratannya ada penjualan tiket online. Kalau yang di Jember berbeda dengan penerbangan reguler," katanya. (*)

1 comment:

Eko Rusdianto said...

Perjalanan yang mendebarkan...
Terasa lama ya, saya tak mengunjungi bilik Mas Oryza. Ayo semangat.