16 September 2008

Catatan Kerusuhan Sepak Bola
Kanjuruhan, Dekadensi, Revolusi Basi

Edan. Hanya satu kata itu yang bisa mengungkapkan apa yang terjadi di stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (13/9/2008) lalu. Manajer pukul wasit. Aremania mengamuk. Wartawan diancam. Ofisial Pupuk Kaltim terpaksa dievakuasi. Peristiwanya di bulan Ramadan, saat orang harus menahan diri. Komplit.

Ini kerusuhan kedua yang dilakukan suporter Arema tahun ini. Sebelumnya kerusuhan dengan skala lebih luas terjadi di stadion Brawijaya, Kediri. Namun kerusuhan di Kanjuruhan terasa lebih lengkap, karena ofisial Arema yang seharusnya memberikan teladan juga ikut andil menciptakan kerusuhan.

Saya sangat menyesalkan ancaman yang dilontarkan manajer Arema terhadap wartawan Jawa Pos, yang hendak meminta konfirmasi kejadian malam itu. Apa yang dilakukan manajer Arema sangat tidak layak. Apalagi jika mengingat peristiwa Kediri, pemberitaan di rubrik olahraga Jawa Pos cenderung 'bersahabat' dengan Arema dan Aremania, dengan menghindari semaksimal mungkin penggunaan kata Aremania sebagai pelaku kerusuhan. Jawa Pos lebih suka melekatkan kata 'oknum' pada laku rusuh yang dilakukan para suporter Malang.

Sebagaimana kerusuhan di Kediri, wasit lagi-lagi menjadi kambing hitam. Beda di Eropa dengan Indonesia memang. Di Eropa, manajer sejumlah tim besar juga sering bersikap 'cari kambing hitam' dengan menyalahkan wasit. Namun, tidak ada wasit di Eropa, setidaknya dalam event resmi, yang kena bogem atau harus dievakuasi seperti layaknya di Indonesia.

Peristiwa Kanjuruhan menandai apa yang disebut sebagai memuncaknya dekadensi sepakbola Indonesia. Sepakbola Indonesia sudah harus segera dibenahi di semua sektor, mulai dari organisasi PSSI, klub, hingga suporter. Banyaknya klub yang mengalami kesulitan keuangan menandakan bahwa sebenarnya Indonesia belum siap benar menggelar liga dalam arti profesional sesungguhnya. Belum lagi jika bicara sumber daya perangkat pertandingan dan suporter.

Saat ini kampanye jargon revolusi sudah didengungkan oleh Aremania dan sejumlah kelompok suporter. Sasarannya: PSSI sebagai otoritas sepakbola tertinggi di Indonesia. Sebagai sebuah inovasi, ini sekilas menarik perhatian.

Namun jargon revolusi yang didengungkan Aremania itu terasa sangat basi, setelah peristiwa Brawijaya dan Kanjuruhan terjadi. Pertama, mengamuk gara-gara tim kalah dengan dalih wasit sungguh sebuah laku di luar sportivitas. Mengapa harus repot-repot merevolusi PSSI, jika merevolusi diri sendiri saja belum mampu?

Jika 'wasit sang kambing hitam' selalu digunakan sebagai permakluman atas ngamuknya suporter, hendak dikemanakan sepakbola kita. Lagipula, kalau dilihat dari perspektif tim yang lain, Arema juga bisa dinilai 'menikmati keberpihakan' wasit saat bertanding di Malang. Tentu kita masih ingat bagaimana gol Persiba Balikpapan dianulir oleh wasit saat pertandingan Liga Super melawan Arema beberapa waktu lalu.

Kedua, jargon 'Revolusi PSSI' yang didengungkan terasa tendensius, karena justru dimunculkan setelah kerusuhan diledakkan oleh Aremania di Kediri. Kesannya, gerakan revolusi dikampanyekan untuk merasionalisasi dalih wasit sebagai kambing hitam, dan langkah reaksioner atas sanksi yang diberikan terhadap Aremania.

Mengapa kampanye revolusi tidak didengungkan saat Arema menjadi juara Copa Indonesia dan Aremania dinobatkan sebagai suporter terbaik? Terakhir, Aremania dinobatkan sebagai suporter terbaik untuk kedua kalinya justru di masa rezim PSSI Nurdin Halid yang saat ini dihujat.

Saya pribadi setuju perlu adanya revolusi sepakbola Indonesia. Namun revolusi ini harus berawal dari diri sendiri, dan disebut sebagai Revolusi Pemahaman Sportivitas. Revolusi di sini berarti revolusi perilaku.

Revolusi ini bukan hanya menyangkut PSSI, tapi juga klub, perangkat pertandingan, dan suporter. Selama pemahaman sportivitas kita belum direvolusi, rasanya sia-sia jika mendengungkan revolusi struktural, yakni mendongkel PSSI saat ini.

Bukankah sejarah sepakbola Indonesia telah tergurat jelas: dari masa ke masa, kendati ketua dan pengurus PSSI berganti, rusuh dengan dalih wasit selalu terjadi. Artinya, selama paradigma sportivitas belum tertanam, sia-sialah semua.

Catatan: Senin malam (15/9/2008), di Makassar, kerusuhan juga terjadi. Pendukung tuan rumah PSM mengamuk setelah timnya kalah 1 - 3 dari Persela Lamongan.

Jadi, berani merevolusi diri sendiri?(*)

No comments: