08 July 2008

Tukiyat

Pernahkah aku bercerita soal Tukiyat kepadamu? Baiklah, mari aku ceritakan tentang Tukiyat. Aku biasa memanggilnya Pak Yat.

Tukiyat meninggal dunia sekitar dua pekan silam. Aku tidak tahu persis berapa umurnya. Aku perkirakan usianya kurang lebih 45 tahun.

Suatu hari, Tukiyat bersepeda motor menuruni jalanan yang tajam. Remnya blong. Ia panik, dan bersama sepeda motornya masuk ke sungai yang berisi air dangkal. Ia menghantam bebatuan.

Pak Yat dilarikan ke rumah sakit. Ia sempat bertahan sehari. Bapak dan Ibuku sempat mengunjunginya. Separuh tubuhnya lumpuh. Namun ia masih bisa bertanya tentang diriku: "Bagaimana kabar Mas Ryza sekarang, Bu?"

Lalu keesokan harinya, Ibu dan Bapak mendengar Pak Yat sudah meninggal. Ada yang sedih. Bapak merasa sayang tidak bisa mengantarkan jenasahnya hingga ke Trenggalek.

Namun, bukan dengan kesedihan itu Pak Yat dikenang. Aku tidak mau bercerita bagaimana ia mati. Aku akan ceritakan bagaimana Pak Yat hidup.

Bapak dan Ibu mengenal Pak Yat saat dia masih berusia dua puluhan awal. Dia adalah kuli bangunan yang ikut membangun apotek milik Ibu dan Bapak di jalan Kampung Malang, Surabaya. Ghozi Zien, rekanan kerja Ibu, yang memperkenalkannya.

Saat pembangunan itu selesai, Bapak mempekerjakan Pak Yat sebagai pegawai di apotek Rifatien. Nama apotek ini mengambil nama Ibuku, Siti Noer Rifatien. Bapak menyukai Pak Yat. "Dia utun (istikomah, konsisten, apapun kau boleh sebut)."

Pak Yat hanya jebolan kelas dua sekolah dasar. Bapak mengajarinya menulis dan membaca kembali dengan baik. Bapak juga mengajarinya cara bekerja yang efisien. Dan Pak yat adalah pekerja keras yang tekun dan mau belajar.

Suatu kali, Bapak mengajarinya cara memotong kertas untuk bungkus puyer (obat racik). Pak Yat memotongi satu demi satu puluhan kertas itu menjadi ukuran yang lebih kecil. Bapak mengambil setumpuk kertas itu dan memotongnya bersamaan dalam satu tarikan pisau potong. Kertas sudah terpotong banyak dalam ukuran lebih kecil.

Bapak tidak bercerita persis bagaimana ekspresi Pak Yat saat itu. Namun, Pak Yat cepat belajar untuk menjadi efisien dan efektif.

Aku mengingat Pak Yat karena dua hal: bantal dan sepeda pancal. Aku masih duduk di bangku sekolah dasar saat mengenal dia. Pak Yat selalu tidur di salah satu ruang praktik seorang dokter. Ruang praktik dokter ini satu atap dengan apotek kami.

Bantal Pak Yat berwarna putih. Aku pernah coba tidur di sana. Baunya apak. Mungkin terkena keringatnya.

Sepeda pancal. Setahuku, selama bekerja di apotek, Pak Yat tidak pernah naik sepeda motor. Ia mengantarkan obat pesanan pasien ke manapun dengan bersepeda pancal. Sepeda pancal, sepeda mini warna merah.

Aku keliru.

Bapak bilang, Pak Yat pernah disuruh berlatih naik sepeda motor oleh Bapak. Mulanya ia menolak. Tapi akhirnya ia mau juga, berlatih dengan sepeda motor Yamaha warna merah milik keluarga kami.

Suatu hari, Pak Yat mengalami celaka dengan sepeda motor itu. Mungkin karena tangannya tak biasa. Sepeda itu rusak, dan ia meminjam sejumlah uang kepada Mbak Meta, staf Ibu di apotek. Uang itu untuk memperbaiki sepeda kami, dan digantinya dengan potong gaji.

Bapakku tahu. Ia memanggil Pak Yat, dan melarangnya mengganti biaya perbaikan. Bapak mengibaratkan kerusakan itu sebagai biaya sekolah. "Asalkan biayanya tidak mahal, yaitu nyawamu, tidak masalah," kata Bapak.

Itu yang aku sukai dari Bapak. Bapak selalu menganggap kerusakan yang diperbuat karena proses belajar adalah biaya sekolah. Sekolah kehidupan. Suatu saat, adikku, Arif, pernah menabrakkan mobil kami ke bagian belakang mobil box. Mobil box itu tak rusak secuil pun. Lampu depan mobil kami hancur. Arif memang baru belajar menyetir.

Arif pulang dengan menangis. Ia takut dimarahi. Bapak mengira Arif menabrak pejalan kaki. Bapak baru lega setelah tahu Arif hanya merusakkan lampu sorot mobil. Itu biaya belajar, kata Bapak.

Lalu aku tumbuh dewasa. Apotek kami tergadaikan, karena kelicikan kawan Ibuku. Aku berpisah dengan Pak Yat. Kami baru bertemu belasan tahun kemudian, saat aku merayakan pesta pernikahan, Juni 2004.

Pak Yat lebih gemuk. Ia tersenyum saat menyalamiku. Sebelum pulang, ia memberi tiga adikku, Kiki, Arif, dan Pipit, uang.

"Tidak usah repot-repot Pak Yat," kata Ibu.

"Mboten napa-napa, Bu," jawabnya.

Tahun 2005, Pak Yat datang pada pesta pernikahan Kiki. Ia kembali memberikan uang, dan kali ini hanya untuk Arif dan Pipit.

Belasan bahkan puluhan tahun berlalu. Pak Yat masih bekerja di apotek yang sama. Ia tak pernah berpindah pekerjaan. Bapak benar. Ia orang yang istikomah dan ajeg.

Lalu, Pak Yat meninggal. Ia punya dua anak, dan menjadi gantungan hidup keluarga besarnya. Aku tidak tahu bagaimana perasaan keluarga Tukiyat. Sedih? Hancur? Putus asa? Andaipun aku tahu, aku tak akan bercerita kepadamu.

Aku lebih suka bercerita bagaimana dia hidup.

Sudahkah aku bercerita kepadamu tentang Tukiyat? Ia akan selalu dikenang. Selalu. (*)

1 comment:

Roli Maulidiansyah said...

Jurnalisme Sastrawinya sangat kental.